Senin, 13 September 2010

Dumbata Lewoingu Sarabiti Waihali

 

Setelah menulis tentang “Dungtana Pota Wato Pota Ile Hone Woka,” saya sebenarnya ingin menulis tentang “Dumbata Lewoingu Sarabiti Waihali.” Tetapi keinginan itu tidak langsung direaliasasikan setelah saya memposting tulisan tersebut ke http://atamaran2.blogspot.com. Baru sekarang ini tulisan tentang “Dumbata Lewoingu Sarabiti Waihali” itu dapat saya susun dan saya posting ke alamat situs tersebut. Istilah Dumbata sama artinya dengan istilah Dungbata.

Susunan kata: Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali seringkali menjadi kebanggaan orang-orang Eputobi-Lewoingu. Rangkaian kata-kata itu tertera di tugu Selamat Datang di kampung Eputobi, tugu yang berhiaskan pula dengan patung dua ular. (Patung ular yang satu menghadap ke utara, yang satu lagi menghadap ke selatan. Kedua patung ular itu melambangkan kekuatan jahat. Kehadiran dua patung ular itu tidak cocok dengan rangkaian kata-kata tertera di atas. Setelah mengetahui adanya dua patung ular yang dipajang di tugu Selamat Datang itu, banyak orang baru menyadari bahwa dengan dibangunnya tugu tersebut, kampung Eputobi pada dasarnya telah diserahkan kepada kekuatan jahat). 

Perangkai kata-kata tersebut berusaha menekankan bahwa termasuk pula dalam komunitas Dungbata di Lewoingu adalah kelompok Sarabiti dan Waihali. Rangkaian kata-kata itu mengikuti pola kata-kata yang sering digunakan oleh raja Larantuka yang berbunyi, Kota Sarabiti Gege Waihali. Siapa perangkai Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali? Hingga kini tak ada sumber yang dapat memberikan jawaban yang akurat atas pertanyaan tersebut. Yang jelas istilah Lewoingu dan istilah Dumbata berasal dari Gresituli. Tetapi Gresituli tidak menempa rangkaian kata-kata Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali. Kata-kata itu dirangkai oleh orang lain setelah mereka mengetahui adanya rangkaian kata-kata Dungtana Pota Wato Pota Ile Hone Woka.

Dari fakta bahwa Sarabiti adalah nama tempat tinggal kelompok Wungung Kweng, kita dapat memperoleh sedikit petunjuk bahwa rangkaian kata-kata tersebut rupanya berkaitan dengan suku tersebut. Tetapi tidak dapat dipastikan bahwa suku tersebut yang menempa rangkaian kata-kata tersebut. Sementara itu Waihali adalah nama suatu tempat yang letaknya berhadapan dengan Mada (Pintu Gerbang) Lewowerang. Waihali adalah nama yang berbau Timor. Tetapi tidak jelas bagi saya, apakah di Waihali pernah tinggal keluarga tertentu. Dari sumber tertentu saya memperoleh informasi bahwa di situ pernah terdapat sumber air.

Perlu diperhatikan bahwa ketika Gresituli dan beberapa suku pendukungnya bermukim di Lewoingu tepatnya di Dungtana, dan ketika komunitas Dungbata mulai terbentuk, Werong Hegong dan keluarganya tinggal di Waiua. Werong dan Hegong adalah nama dua orang kembar siam. Di kala senggang, Gresituli bertandang ke rumah Werong Hegong di Waiua. Dalam menyikapi masalah yang berkategori pelanggaran adat istiadat, mereka sering saling berkoordinasi untuk mengambil langkah yang dianggap tepat untuk mengatasi masalah yang timbul. Gresituli dan Werong Hegong antara lain bersepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi orang yang mengganggu isteri orang. Dalam urusan semacam itu Gresituli pun dapat bekerja sama dengan orang-orang dari kelompok Paji yang tidak memusuhinya. Tampak di sini bahwa tidak semua orang dari kelompok Paji diperangi oleh Gresituli. Yang diperanginya adalah orang-orang Paji yang mengancam keselamatan keluarganya dan keselamatan kelompok-kelompok sosial yang bersekutu dengannya. Dalam perang melawan Paji, Werong Hegong memainkan peranan penting. Karena memiliki tali persahabatan yang baik dengan Gresituli, maka Werong Hegong dan keluarga mereka pun bergabung dengan komunitas Dungbata (Lewowerang). Keturunan Werong Hegong adalah Hokeng Kweng dan Geroda Kweng (Geroda Keneeng) dan anak-anak mereka. Karena mengetahui sejarah, maka Hokeng Kweng pada tahun 2006 dan Geroda Kweng pada tahun 2007 pernah mengatakan kepada saya bahwa mereka tidak mau ikut-ikutan dalam kelompok yang melakukan pelanggaran adat pada tahun 2006 itu. Tetapi setelah itu, saya sendiri tidak tahu lagi seperti apa sikap mereka, terutama terhadap kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran.

Lantas dari mana nama Sarabiti berasal? Sarabiti adalah nama yang dipakai oleh suku Wungung Kweng di luar keturunan Werong Hegong. Dengan ini saya mau mengatakan bahwa suku Wungung Kweng di Eputobi itu berasal usul berbeda. Jika Hokeng Kweng dan Geroda Kweng dan anak-anak mereka berasal dari Werong Hegong, anak-anak dari almarhum Geroda Beleeng dan anak-anak almarhum Lalang Kweng berasal dari daerah sebelah timur kota Larantuka. Sebelum bergabung dengan komunitas Dungbata di Lewoingu, keluarga Wungung Kweng di luar keluarga Werong Hegong itu tinggal di tempat yang diberi nama Sarabiti. Tetapi tidak jelas apakah nama Sarabiti ini berkaitan dengan nama Sarabiti yang terungkap dalam rangkaian kata-kata Kota Sarabiti Gege Waihali tertera di atas. Dan hingga kini belum ada sumber yang dapat menjelaskan apakah kelompok tersebut yang merangkai kata-kata Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali atau bukan. Seandainya rangkaian kata-kata itu berasal dari kelompok tersebut, maka dengan kata-kata itu mereka berusaha menegaskan bahwa kelompok Sarabiti adalah bagian yang tak terpisahkan dari Dungbata yang di Lewoingu itu. Penegasan ini penting artinya bagi kelompok ini terutama dalam menyikapi situasi yang tidak aman akibat perang Demong melawan Paji. Kata Waihali dalam rangkaian kata-kata tersebut tampaknya hanya ditambahkan saja. Kebetulan letak Waihali berhadapan dengan Mada Lewowerang. Sebelum menginjakkan kaki di gerbang Dungbata, mereka melewati Waihali. Kata Waihali mengingatkan kita pada kata Waihali dalam rangkaian kata-kata Kota Sarabiti Gege Waihali.

Tampak jelas bahwa rangkaian kata-kata itu tidak mencakup persatuan semua kelompok yang membentuk komunitas Dungbata-Lewoingu. Mungkin karena itu, maka beberapa pakar sejarah lisan Lewoingu merasa tidak terlalu sreg dengan penggunaan rangkaian kata-kata tersebut. Dengan merangkai kata-kata Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali, si perangkai berusaha memasangkannya dengan rangkaian Dungtana Pota Wato Pota Ile Hone Woka. Tetapi arti simbolik dari rangkaian Dungtana Pota Wato Pota Ile Hone Woka jauh lebih mendalam ketimbang arti rangkaian Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali. ***

Rabu, 10 Februari 2010

Jejak Santo Fransiskus Xaverius di Lewolaga, Lewoingu, Flores Timur

Oleh Rafael Raga Maran

 

Di Lewolaga, Lewoingu, di Flores Timur terdapat suatu mata air yang disebut Wai Beta. Kata “wai” berasal dari bahasa Lamaholot yang berarti air. Kata “beta” berasal dari bahasa Maluku berarti saya. Jadi “Wai Beta” berarti “Air Saya” atau “Airku.”

Mengapa kata “beta” yang berasal dari bahasa Maluku itu dipakai untuk menamai air yang sumbernya terletak di dekat pantai Lewolaga di daerah Lewoingu di Flores Timur? Apakah karena ada orang dari Maluku yang memberi nama untuk air dimaksud? Jawabannya: tidak; bukan orang Maluku yang memberi nama untuk air itu.

Di balik nama itu terdapat suatu kisah tentang perjalanan misioner Santo Fransiskus Xaverius ke Maluku. Santo Fransiskus Xaverius dijuluki sebagai penginjil terbesar setelah Santo Paulus. Pada tahun 1540, misionaris Yesuit itu ditugaskan oleh Santo Ignatius Loyola, berdasarkan permintaan Raja Portugal, untuk menjadi Pewarta Injil di daerah jajahan Portugis di Asia. Pada tanggal 7 April 1541, dia bertolak dari Lisbon, Portugal, dengan kapal Santiago. Dari Agustus 1541 hingga Maret 1542, dia tinggal di Mosambik Afrika. Pada tanggal 6 Mei 1542, dia tiba di Goa, India. Setelah tiga tahun menyebarkan Injil di India, Santo Fransiskus Xaverius melanjutkan perjalanan ke Malaka. Dalam rencananya, dari Malaka dia akan berlayar ke Makasar. Pada akhir September 1545, dia tiba di Malaka di Semenanjung Malaya. Makasar dijadikan tujuan, karena ketika berada di Goa, dia mendengar kabar bahwa Makasar membutuhkan seorang imam.

Tetapi sewaktu di Malaka Santo Fransiskus Xaverius mendengar kabar yang tidak baik dari Makasar, maka rencana ke Makasar dibatalkan. Pada tanggal 1 Januari 1546 Santo Fransiskus Xaverius bertolak dari Malaka menuju Ambon dengan kapal dagang. Pelayarannya ke Ambon ditempuh melalui rute selatan, yaitu melalui pesisir Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores. Dari Flores Timur, kapal berbelok arah menuju kepulauan Maluku. Pada pertengahan tahun 1546 Santo Fransiskus Xaverius tiba di pulau Banda. Dari situ dia berlayar ke Ambon.

Di Ambon terdapat tujuh desa yang penduduknya beragama Katolik. Santo Fransiskus Xaverius mempermandikan kurang lebih 1.000 orang Ambon dan mempersiapkan kedatangan imam-imam baru. Pada bulan Juli 1546, dia berangkat ke Ternate. Selain berkarya di Ternate, Santo Fransiskus Xaverius juga berkarya di Halmahera dan Morotai. Sekembalinya dari Morotai dan Halmahera, dia masih berkarya di Ternate hingga sesudah Paskah tahun 1547. Dari Ternate dia kembali ke Ambon. Di Ambon dia mendirikan sebuah gereja kecil dan menobatkan banyak orang berdosa. Dari Ambon dia kembali ke Malaka.

Dalam perjalanan pulang ke Malaka, Santo Fransiskus Xaverius singgah di Lewolaga, Flores Timur. Di Lewolaga tepatnya di tempat yang kemudian disebut Wai Beta, Santo Fransiskus Xaverius mewartakan Kabar Gembira (Injil) dan membaptis sejumlah orang. Tradisi lisan di Lewoingu menuturkan bahwa Wai Beta adalah nama yang diberikan oleh Santo Fransiskus Xaverius untuk air yang digunakannya untuk membaptis orang-orang yang bersedia dibaptis. Sebelum kedatangan Santo Fransiskus Xaverius, di situ belum ditemukan sumber air tawar. Untuk kepentingan pembaptisan, Santo Fransiskus menggunakan tangannya untuk mengorek sedikit tanah di situ, lalu keluarlah air tawar. Setelah muncul air, dia memberinya nama Wai Beta yang berarti Air Saya atau Airku.

Kata “beta” itu berasal dari bahasa Maluku. Bahasa itu yang digunakan oleh Santo Fransiskus Xaverius selama dia berkarya di Ambon, Ternate, Halmahera, dan Morotai. Maka tak heran bila dia pun menggunakan kata Wai Beta untuk air tersebut di atas. 

Perlu dicatat pula di sini bahwa sebelum kedatangan Santo Fransiskus Xaverius di Lewolaga, kampung Lewoingu sudah terbentuk. Pada waktu itu nama Lewolaga belum dikenal. Lewolaga yang berarti kampung besar itu baru dikenal di zaman penjajahan Belanda. Tetapi jelas bahwa tempat yang disinggahi oleh Santo Fransiskus Xaverius pada tahun 1547 itu termasuk wilayah Lewoingu. Dengan kata lain bumi Lewoingu pernah menerima kedatangan seorang misionaris Yesuit yang dijuluki sebagai penginjil terbesar setelah Rasul Paulus. Dan Wai Beta adalah saksi kedatangannya. ***

Sumber tentang perjalanan Santo Fransiskus ke Maluku:

Da França, Antonio Pinto, Pengaruh Portugis di Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 2000.

Heuken, A, SJ dkk, Sejarah Gereja Katolik di Indonesia, Jakarta: CLC, 1971.

http://en.wikipedia.org/wiki/Francis_Xavier

Sumber tentang asal usul Wai Beta:

Tradisi lisan masyarakat Lewoingu.

Sabtu, 12 Desember 2009

Wato Sina Yawa di Lewoingu, Flores Timur


Oleh Rafael Raga Maran

Di Lewoingu terdapat sebuah barang berupa batu yang diberi nama Wato Sina Yawa. Kata “wato” berarti batu. Kata “Sina” berarti Cina. Kata “Yawa” berarti Jawa. Istilah Sina Yawa yang digunakan orang Lamaholot pada masa itu mengacu pada orang Jawa dan Cina. Selain itu istilah Sina Yawa juga dipakai untuk mengacu pada pulau Jawa.

Sejak era pra-Lewoingu, para pedagang kelontong dari pulau Jawa sudah berdagang di Lewokoli’ dan sekitarnya. Mereka terdiri dari orang Jawa dan orang Cina. Mereka menjual barang-barang yang dibutuhkan oleh penduduk setempat antara lain pigang (piring) dan mako (mangkuk). Aktivitas perdagangan di daerah itu sempat terhenti di masa perang penumpasan Paji. Seusai perang dan setelah Lewoingu terbentuk denyut nadi perdagangan kembali berdetak. Barang-barang tersebut dan barang-barang lain kembali diperjualbelikan. Dan keberadaan barang-barang seperti pigang dan mako pun direkam dalam marang mukeng (doa) Lewoerang-Lewoingu. Dalam marang mukeng tertentu disebutkan kata-kata pigang Sina mako Yawa (piring Cina mangkuk Jawa).

Tetapi Wato Sina Yawa adalah istilah yang tidak berkaitan dengan orang Jawa dan Cina. Wato Sina Yawa itu berkaitan dengan kedatangan beberapa orang Portugis di Lewoingu pada penghuyung abad ke-17. Wato Sina Yawa adalah nama sebuah batu yang terletak di tepi barat pelataran (namang) yang membentang antara Koke Lewoleing dan Koke Bale Lewowerang. Pada batu itu terpahat tulisan yang menunjukkan tanggal kedatangan beberapa orang Portugis di Lewoingu. Itulah Prasasti Lewoingu, yang bertahunkan 1699. Prasasti itu dibuat oleh Monteiro. Sebelum kedatangan Monteiro dkk, batu itu tak punya nama.

Tidak ada informasi yang sangat jelas tentang siapa sesungguhnya Monteiro dan kawan-kawan dan untuk apa mereka datang ke Lewoingu. Tetapi dari tradisi lisan yang berbicara tentang fungsi Wato Sina Yawa, kita dapat menemukan sedikit petunjuk yang memungkinkan kita dapat menduga bahwa di antara mereka terdapat imam Katolik. Tradisi lisan dimaksud bekaitan dengan persiapan perang.

Jika Lewoingu hendak berperang melawan musuhnya, para pemuka adat tidak hanya membuat upacara yang dimaksudkan untuk mencari alasan yang benar untuk berperang. Mereka juga mengingatkan kepada para prajurit Lewoingu bahwa perang yang akan dikobarkan itu adalah perang demi kebenaran. Karena itu siapa pun yang hendak maju ke medan perang haruslah bersih hatinya. Prajurit yang selama ini melakukan kesalahan perlu membersihkan diri terlebih dahulu sebelum ikut maju ke medan perang. Untuk itu para pemuka adat menyuruh orang yang bersangkutan pergi ke Wato Sina Yawa. Di situ dia mengakui segala dosanya dan memohon pengampunan dari Lera Wulang.

Seseorang yang bersalah tetapi nekad maju ke medan perang tanpa melalui proses penyucian diri terlebih dahulu akan menjadi korban pertama keganasan musuh. Sejarah perang berbicara seperti itu. Karena itu ritus penyucian diri menjadi salah satu bagian penting dalam rangkaian ritus persiapan menghadapi perang demi kebenaran dan keadilan. Dalam hal ini Wato Sina Yawa dijadikan tempat penyucian diri.

Yang jadi pertanyaan ialah mengapa Wato Sina Yawa dijadikan tempat penyucian diri? Penggunaan Wato Sina Yawa sebagai tempat penyucian diri rupanya dimulai sejak kedatangan Monteiro dkk ke Lewoingu. Imam Portugis yang datang ke situ menggunakan batu di pinggir barat pelataran itu sebagai tempat pengakuan dosa. Dugaan tentang kedatangan imam Portugis itu diperkuat oleh kenyataan adanya selembar kain piala yang dipakai dalam perayaan ekaristi. Kain yang menjadi salah satu perlengkapan misa itu tentu dibawa oleh seorang imam. Selama beberapa abad kain itu disimpan di rumah suku Lewoleing. Kain itu ikut terbakar ketika rumah suku Lewoleing terbakar beberapa dekade lalu.

Berdasarkan dugaan di atas kita pun dapat membuat dugaan lain, yaitu bahwa tujuan kedatangan Monteiro dkk ke Lewoingu adalah untuk menyebarkan agama Katolik. Dan batu yang kemudian diberi nama Wato Sina Yawa itu dijadikan tempat pengakuan dosa. Imam itu termasuk di antara lima belas misionaris yang bekerja di daerah Flores Timur sejak tahun 1679. Pada tahun terakhir dari masa tugasnya di Flores Timur, yaitu pada tahun 1699, imam itu mampir di Lewoingu.

Siapakah nama imam itu? Apakah imam itu bernama Monteiro? Kita tidak memiliki informasi yang jelas tentang nama imam itu. Yang jelas setelah Monteiro dkk meninggalkan Lewoingu Wato Sina Yawa dijadikan tempat “pengakuan dosa” oleh masyarakat Lewoingu ketika mereka mempersiapkan diri menghadapi perang.

Selain Wato Sina Yawa, di Lewoingu pun terdapat suatu prasasti lain yang juga dipahat oleh orang Portugis. Tetapi prasasti itu sudah tertimbun tanah. ***

Minggu, 22 November 2009

Knutu Knata tentang asal usul Gresituli

Oleh Rafael Raga Maran

 

Dari mana kita bisa mengetahui bahwa Gresituli berasal dari Jawa? Jawabannya jelas, yaitu dari Gresituli sendiri. Tentang asal usulnya, Gresituli sendiri menuturkan dalam bentuk knutu knata (penuturan dengan bahasa yang indah) sebagai berikut,

Lewo goeng niang Yawa pukeng, tanah goeng niang Sina nimung

Ile goeng niang brusung tana tawa, woka goeng niang kerebo manu gere

Lewo goeng Gresik tana Yawa, tana goeng kesiang ekang boyang

Knutu knata tertera di atas secara jelas menceriterakan bahwa Gresituli itu berasal dari Yawa Sina (Sina Jawa). Kata pukeng dan nimung yang digunakan dalam knutu knata itu menegaskan bahwa dia sungguh-sungguh berasal dari Jawa, yang oleh orang Lamaholot biasa disebut Sina Yawa. Dalam knutu knata itu disebut pula nama ile (gunung) woka (bukit)nya, yaitu brusung tana tawa dan kerebo manu gere. Lalu secara eksplisit disebutkan nama kampungnya, yaitu Gresik di tanah Jawa.

Isi knutu knata tersebut bertentangan dengan isi dongeng Tana Beto. Kalau anda mempelajari knutu knata dan marang mukeng (doa menurut agama asli), anda tidak menemukan adanya bait-bait yang bertutur bahwa Gresituli itu lahir di Tana Beto dan ditemukan serta dipelihara oleh Bota Bewa dan Nuho Rehing. Meskipun terdapat upaya untuk merangkai kata-kata yang dapat dijadikan knutu knata yang disebut juga gata guna membenarkan dongeng tersebut, tetapi upaya itu mengalami kegagalan. Upaya itu nampak dalam susunan kata-kata seperti ini,

Go betok prae koting bala pukeng, bura rae wato tonu lolong

Susunan kata-kata ini tidak berasal dari Gresituli, tetapi dari si pendongeng. Dengan kata-kata tersebut, si pendongeng ingin meyakinkan para pendengarnya, bahwa tokoh bernama Gresituli itu lahir di bawah sebuah pohon beringin yang disebut koting bala atau dia muncul dan berada pada wato tonu (batu padi). Tetapi si pendongeng lupa bahwa yang dia tuturkan itu hanyalah suatu ceritera rekaan imajinasinya. Ceritera itu sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan tentang asal usul Gresituli.

Dongeng yang berceritera bahwa Gresituli lahir di Tana Beto dan dipelihara oleh Bota Bewa dan Nuho Rehing itu baru dirangkai setelah Gresituli tampil sebagai pemimpin tersohor di Lewoingu. Jelas bahwa dongeng itu tidak berasal dari lingkungan keluarga Gresituli, tetapi dari luar lingkungan keluarganya. Dongeng itu dirancang untuk dijadikan mitos tentang asal usul tokoh yang menjadi pemimpin Lewoingu itu, tetapi rancangan itu mengalami kegagalan. Dongeng itu dibuat oleh orang yang tidak mengenal Gresituli.

Dongeng Tana Beto itu tidak berbicara tentang asal usul Gresituli. Dongeng itu mengekspresikan keinginan pendongeng untuk menampilkan diri sebagai pemimpin dan penguasa Lewoingu. Dengan dongeng itu si pendongeng berusaha menyembunyikan kenyataan yang berkaitan dengan asal usul Gresituli. Selain itu dia pun berusaha mengecilkan peran sentral Gresituli dalam pembangunan Lewoingu. Tetapi, karena asal usul Gresituli dan peran sentralnya dalam pembangunan Lewoingu merupakan kenyataan-kenyataan yang tak terbantahkan, maka upaya itu pun mengalami kegagalan.***

Jumat, 06 November 2009

Komentar-komentar itu menyesatkan dan menjijikkan

Oleh Rafael Raga Maran

 

Apakah anda sudah membaca komentar-komentar atas tulisan-tulisan anda tentang sejarah Lewoingu? Komentarnya ramai lho…

Jelas sudah, meskipun terlambat saya membacanya. Maklum, saya tidak sering berkunjung ke alamat situs internet yang memuat komentar-komentar itu? Oh ya, yang anda maksud adalah komentar-komentar yang ditulis oleh Boli Kelen Pankras itu ‘kan?

Iya! Bagaimana sikap anda sendiri atas komentar-komentar semacam itu? Si komentator mensinyalir bahwa orang lain sudah bosan dengan ceritera anda. Katanya, semakin banyak anda menulis semakin banyak orang yang tidak bersimpati kepada anda?

Ya, komentar-komentar semacam itu ditulis oleh orang yang secara pribadi merasa alergi kalau realitas-realitas sejarah tertentu diungkapkan secara apa adanya. Padahal kalau kita berbicara tentang sejarah, kita perlu kemukakan fakta-fakta terkait. Sejarah tak dapat dibicarakan secara kompromistis guna memenuhi selera pribadi atau selera pihak tertentu. Jika seseorang tidak suka dengan isi catatan-catatan sejarah yang saya buat, itu urusan pribadi dia. Menjadi lucu, kalau ketidaksukaan subjektifnya itu lalu digeneralisasi seakan-akan banyak orang lain pun menjadi bosan dengan isi tulisan-tulisan termaksud dan mereka menjadi tidak bersimpati kepada penulisnya. Catatan sejarah itu dibuat bukan untuk menarik simpati.

Yang penting bagi saya ialah bahwa melalui tulisan-tulisan itu para pembaca dapat belajar sesuatu. Di dalam kenyataan kolom Diskusi Sejarah Lewoingu (atamaran2.blogspot.com) diakses oleh banyak orang. Dengan membaca artikel-artikel yang saya tulis itu, para pembaca yang netral dapat melihat siapa yang memutarbalikkan sejarah Lewoingu, siapa yang mengemukakan kebenaran sejarah Lewoingu. Suka atau tidak suka, blog atamaran sudah menjadi salah satu blog yang populer.  Di dalam kenyataan, si komentator itu sendiri tetap membaca tulisan-tulisan saya tentang sejarah Lewoingu itu. Artinya, dia tidak bosan membaca tulisan-tulisan saya tentang sejarah Lewoingu. Kalau dia tidak membacanya, dia tentu tidak bisa membuat komentar-komentar atas tulisan-tulisan saya.

Oke! Tapi komentar-komentar itu mengandung tuduhan yang cukup serius terhadap anda. Anda dituduh memperlebar permusuhan di lewotana (kampung halaman). Anda dinasihati untuk tidak menjadikan masa lalu sebagai alat penghancur lewotana. Apa tanggapan anda?

Baik! Tuduhan semacam itu merupakan salah satu bentuk pengkambinghitaman. Saya sendiri tidak heran dengan penggunaan cara semacam itu. Selama ini, cara semacam itu telah digunakan oleh komplotan yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan serta kehancuran di lewotana sana. Mereka yang menyebabkan kerusakan serta kehancuran di lewotana, tetapi orang lain yang dituduh sebagai pelakunya. Mereka yang membunuh orang, tetapi orang lain yang dituduh sebagai pelakunya. Mereka yang memecahbelah persatuan dan kesatuan lewotana, tetapi orang lain yang dituduh sebagai pelakunya. Mereka yang membunuh orang, tetapi orang-orang lain yang dituduh sebagai pelakunya.

Yang mereka kambinghitamkan adalah orang-orang yang dipandang sebagai musuh mereka. Jika mereka menganggap anda sebagai lawan atau musuh, maka mereka pun bisa mengkambinghitamkan anda kapan saja. Karena membela upaya pemutarbalikkan fakta-fakta sejarah Lewoingu yang dilakukan oleh saudara sepupunya, si komentator itu pun melancarkan tuduhan palsu, bahwa saya menginjak-injak harga diri sukunya dan memperlebar permusuhan di kampung halaman. Si komentator itu lupa bahwa dengan komentar-komentarnya itu dia telah menjadi bagian dari orang-orang yang menyebarkan kebohongan publik. Hal ini menjadi jelas ketika dia itu sewot setelah membaca tulisan saya yang antara lain mengatakan bahwa Ling Pati itu rumah induk suku Ata Maran dan Manu Jagong adalah rumah induk suku Kebele’eng Keleng. Sikap penolakannya terhadap kata “pemberian” yang saya gunakan dalam konteks pembicaraan tentang Rie Limang Wanang Koke Bale Lewowerang-Lewoingu merupakan suatu keanehan besar.

Si komentator itu pun lupa bahwa masa lalu telah dimanupulasi sedemikian rupa  oleh saudara sepupunya untuk menciptakan permusuhan dengan pihak kami di kampung. Sekarang setelah kenyataan-kenyataan tertentu yang berkaitan dengan sejarah mereka diungkapkan secara apa adanya, dia pun berusaha melawan dengan cara mengkambinghitamkan saya.

Tetapi jelas bahwa, cara semacam itu tak akan berhasil. Masyarakat di seluruh kawasan Lewoingu dan sekitarnya tahu siapa saja yang menghancurkan kampung Eputobi dan siapa saja yang berusaha menjaga serta merawat kelestarian dan kedamaian kampung tersebut. Anda lihat sendiri ‘kan mereka mendramatisasi dan mempolitisasi isi tulisan-tulisan saya sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesan seakan-akan saya yang memulai permusuhan dengan mereka. Padahal oknum-oknum dari sukunyalah yang memulainya. Kebohongan-kebohongan yang mereka sebarluaskan itu tidak boleh didiamkan. Membiarkan kebohongan-kebohongan semacam itu terus berbicara berarti membiarkan apa-apa yang selama berabad-abad terbukti baik dirusak dan dihancurkan. Ya, karena mengemukakan dimensi-dimensi tertentu dari sejarah Lewoingu yang sudah diketahui oleh masyarakat Lewoingu, mereka menuduh saya memperlebar permusuhan. Dengan cara itu, mereka berusaha mempertahankan pendapat-pendapat mereka yang bertentangan dengan sejarah Lewoingu yang sedang didiskusikan itu.

Coba tunjukkan kata-kata mana yang saya pakai untuk menginjak-injak suku si komentator itu. Bukankah isi komentar-komentarnya itu yang justeru menimbulkan permusuhan dengan pihak kami?

Selain menyesatkan, isi komentar-komentarnya itu pun menjijikkan. Saya kira anda tahu sendiri mengapa dikatakan menyesatkan dan menjijikkan. Dengan kata-kata yang menjijikkan itu dia telah menggunakan buku tamu eputobi.net sebagai media untuk mempropagandakan kepentingan pribadinya berdasarkan kebohongan-kebohongan yang disebarluaskan oleh saudara sepupunya. Penulisan komentar-komentarnya di buku tamu eputobi.net itu dimotivasi oleh kepentingan primordialistik, bukan dimotivasi oleh kebutuhan akan persatuan dan kesatuan di lewotana. Kalau dia secara tulus ikhlas memperjuangkan persatuan kesatuan di lewotana, dia tidak perlu memberikan komentar-komentar dengan menggunakan kata-kata yang norak semacam itu. Kami sama sekali tidak membutuhkan simpati dari orang semacam itu. Dalam perjalanan sejarahnya sejak masa kuno hingga kini, suku Ata Maran tidak pernah mengalami kekurangan simpati dan dukungan real dari berbagai pihak.

Ya. Komentar-komentar itu disertai pula dengan kata-kata keras yang ditujukan kepada anda. Apa tanggapan anda?

Bagi saya, barang yang keras itu mudah patah, mudah hancur, mudah remuk. Orang yang mengeluarkan kata-kata yang keras pun mudah hancur juga. Dan pada waktunya nanti, orang yang menuduh tanpa dasar itu akan kena batunya juga. Kita akan terus menyaksikan sampai di mana kemampuan dia dan mereka untuk melancarkan tuduhan semacam itu, sampai di mana pula kekerasan kata-kata dia dan mereka itu kuat bertahan. Biarlah mereka itu patah dan hancur oleh tuduhan palsu dan kekerasan kata-kata mereka sendiri. 

Oke! Sebenarnya masih ada beberapa pertanyaan lain yang ingin saya ajukan kepada anda. Tetapi apa yang telah anda katakan sudah cukup bagi saya. Sebelum pamit dari hadapan anda, saya ingin berpesan, Maju terus pantang mundur demi kebenaran dan keadilan. Jangan takut! ***

Jumat, 30 Oktober 2009

Dong Rumah Panggung di Lewoingu Tempo Doeloe

Oleh Rafael Raga Maran

 

Dalam diskusi tentang Ling Pati di Lewoingu, Flores Timur, istilah dong rua sempat digunakan. Dong adalah istilah Lamaholot yang berarti bale-bale. Rua adalah istilah Lamaholot yang berarti dua. Istilah dong rua mengacu pada dua bagian dari suatu bale-bale. Yang dimaksud di sini adalah bale-bale di suatu rumah panggung yang dikenal di Lewoingu tempo doeloe.

Setiap rumah panggung memiliki satu dong, tempat anggota-anggota suatu keluarga melakukan aktivitas kerumahtanggaan mereka. Di situ, dipasang tungku tempat menanak makanan. Di situ makanan yang sudah ditanak dihidangkan untuk disantap bersama. Di situ pada malam hari mereka tidur untuk melepaskan lelah setelah seharian bekerja. Di situ kerajinan tangan seperti memintal benang dengan suatu perkakas yang disebut mute dikerjakan. Dan masih ada pula kegiatan-kegiatan lain yang dapat dikerjakan di situ.

Orang tua yang memiliki anak gadis yang sudah menjadi pemudi membagi dong di rumahnya menjadi dua bagian. Bagian depan untuk orang tua, dan bagian belakang untuk anak gadisnya. Dengan demikian si gadis tidur terpisah dari kedua orang tuannya. Pada malam hari sebelum tidur, si gadis biasanya memintal benang sebagai bahan untuk membuat sarung. Kadang-kadang pekerjaan itu dilakukan hingga larut malam.

Jika di rumah itu terdapat anak laki-laki yang sudah tumbuh menjadi pemuda, maka si pemuda pun diberi tempat untuk tidur di bagian belakang, tetapi terpisah dari tempat tidur saudarinya. Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa dong bagian belakang itu diperuntukan bagi anak-anak yang sudah tumbuh menjadi pemuda dan pemudi. 

Dapat terjadi bahwa suatu dong memiliki dua (lika lurang) tungku. Satu tungku untuk orang tua, satu lagi tungku untuk anak laki-lakinya yang sudah menikah dan tinggal bersama orang tuanya. Anak laki-laki sulung menjadi pewaris rumah orang tuanya. Jika si sulung mempunyai adik laki-laki, untuk sementara mereka bisa tinggal bersama-sama dalam satu rumah. Setelah menikah, adiknya itu pun akan memilih hidup mandiri. Jika di rumah itu terdapat anak perempuan, maka setelah menikah dia akan keluar dari rumah orang tuanya untuk mengikuti suaminya.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dengan mudah dapat membayangkan adanya pembagian dong di Ling Pati, setelah dua anak laki-laki Sani tumbuh menjadi pemuda dan dua anak perempuannya tumbuh menjadi pemudi. Dengan hadirnya dua pemuda dan dua pemudi, maka dong di rumah Ling Pati pun dibagi menjadi dua bagian. Bagian depan untuk Sani dan Kene, dan bagian belakang untuk kedua anak gadisnya, dengan catatan sebagian dong belakang diperuntukan bagi kedua anak laki-lakinya.

Ketentuan pembagian dong semacam itu perlu diperhatikan agar tidak terjadi asal bunyi ketika kita terlibat dalam pembicaraan tentang dong di Ling Pati. Pembagian dong semacam itu tidak hanya terjadi di rumah Sani, tetapi juga di rumah keluarga-keluarga lain yang memiliki anak gadis dan anak laki-laki yang telah tumbuh menjadi pemudi dan pemuda. 

Kiranya menjadi jelas bahwa pembagian dong di Ling Pati pada era Sani dilakukan berdasarkan alasan tradisional seperti telah dipaparkan di atas. Maka keliru jika ada yang mengatakan bahwa pembagian dong Ling Pati dilakukan berdasarkan  alasan bahwa Raga dan Boli itu berayahkan dua orang yang berbeda. Oleh lawan polemik saya, istilah dong rua telah dipolitisasi sedemikian rupa sehingga bisa mengacaukan pandangan orang tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Ling Pati pada masa itu.

Sebagai anak laki-laki sulung dan sesuai dengan tradisi adat setempat, Raga menempati Ling Pati, sehingga Ling Pati menjadi Rumah Induk Suku Ata Maran (Atamarang). Raga inilah yang meneruskan kepemimpinan Sani di Lewowerang-Lewoingu. Sehingga Ulu Wai’ pun diserahkan kepadanya oleh Sani. Seperti halnya Gresituli mempercayakan Ulu Wai’ kepada Dalu dan Sani, Sani pun mempercayakan Ulu Wai’ kepada Raga. Mustahil kekuatan semacam itu dialirkan dari bawah ke atas. Maka terjadi kekeliruan besar, jika penulis “Lango Limpati” mengatakan bahwa Ulu Wai’ itu diberikan oleh Boli kepada Raga.  

Setelah menikah dan setelah menjadi Kebele’eng Keleng, Boli membangun Manu Jagong sebagai Rumah Induk Suku Kebele’eng Keleng. Di kemudian hari, setelah terjadi kasus ketihe’, keturunan Boli memilih kembali ke Ling Pati. Sejak saat itu, dong di Ling Pati dibagi menjadi dua bagian, sebagian untuk Ata Maran dan sebagian lagi untuk Kebele’eng Keleng. Pembagian itu dilakukan berdasarkan alasan praktis, yaitu menyangkut pelaksanaan tugas dan peranan suku mereka dalam tatanan adat Lewowerang-Lewoingu. Sejak mereka kembali ke Ling Pati, Ling Pati dihuni oleh dua suku, dengan hak, tugas dan tanggung jawab masing-masing. Tetapi pembagian dong itu sama sekali tidak menghapus keberadaan Manu Jagong sebagai rumah induk suku mereka dan keberadaan Ling Pati sebagai rumah induk suku Ata Maran.

Tetapi lantaran Manu Jagong tidak lagi direkonstruksi, maka tak mengherankan bila di antara anak-anak muda mereka pun ada yang tidak mengetahui bahwa Manu Jagong sebagai rumah induk suku mereka. Secara sepihak ada di antara mereka yang mengkleim bahwa Ling Pati adalah hak milik eksklusif mereka. Tetapi kleim seperti yang dilakukan oleh Marsel Sani Kelen itu didasari alasan-alasan semu. ***

Rabu, 28 Oktober 2009

Seuntai kata yang menyesatkan

Oleh Rafael Raga Maran

 

Masih ingat untaian kata-kata ini, Nuhung teme tewong alo boleng boto, bukan?

Jelas masih ingat. Itu adalah ayat kesukaan dari si pendongeng itu ‘kan?

Ya, itu adalah ayat kesukaannya. Sebelumnya dia pernah menggunakan rangkaian kata-kata seperti ini, Nuhung teme tewong alo boleng bola.

Seorang pembaca eputobi.net pernah berkesan bahwa orang yang memunculkan kata-kata tersebut dan knutu knata lain dalam polemik sejarah Lewoingu terbilang orang yang punya pengetahuan yang cukup memadai tentang sejarah Lewoingu. Tetapi setelah mengetahui bahwa untaian kata-kata itu ternyata tidak cocok dengan realitas sejarah yang dengan mudah dapat direkonstruksi, dia baru menyadari bahwa penilaiannya terhadap pengguna ayat tersebut keliru.

Telah saya katakan bahwa nuhung teme tewong alo boleng boto adalah penyingkatan secara keliru oleh penulis “Lango Limpati” atas kata-kata Gresituli dalam menyikapi kasus Plating Lela. Yang dikatakan oleh Gresituli adalah kata-kata berikut ini,

Nuhung teme ka’ ke’ teme ka’, alo boleng boto ka’ ke’ boto ka’. Ile nele tawa keseka’ woka nele gere lere ka’. Opa huleng di burak bubuk, gowayeng di taki’ toloreng.

Rangkaian kata-kata tertera di atas menggambarkan keadaan Ile Hingang dan sekitarnya yang buruk, yang perlu diperbaiki dan dibarui. Keadaan tersebut menjadi buruk karena kenakalan Plating Lela. Plating Lela itu menikah dengan puteri Gresituli bernama Golu Waleng. Kenakalan Plating Lela, yaitu mengganggu isteri orang, jelas membuat Gresituli perlu mengambil sikap yang tegas terhadapnya.

Secara bebas kita dapat menerjemahkan rangkaian kata-kata itu sebagai berikut,

Mau tenggelam ya tenggelam, mau melayang ya melayang, supaya dia jangan menjadi besar (sombong), karena pagi dan petang ia menyemburkan malapetaka.

Malapetaka yang disemburkan oleh Plating Lela selama itu ialah kerusakan kehidupan rumah tangga, baik rumah tangganya sendiri maupun rumah tangga orang lain. Agar kehidupan rumah tangga orang lain lagi tidak dirusak, maka pelakunya perlu dihukum menurut hukum adat yang berlaku pada masa itu. Hendaklah diingat bahwa mengganggu isteri orang merupakan suatu kejahatan besar yang perlu diganjari dengan hukuman mati.

Dari Nuhung teme ka’ ke’ teme ka’ kita bisa mengetahui bahwa Gresituli pun menyadari bahwa pelaksanaan hukuman mati itu akan membawa penderitaan bagi Golu Waleng, puterinya yang diperisteri oleh Plating Lela. Tapi karena Plating Lela telah berulang kali melakukan kesalahan besar, maka hukuman mati itu mau tidak mau diterapkan, dan karena itu penderitaan itu pun mau tidak mau ditanggung oleh puterinya itu.

Konteks dan latar historis dari rangkaian kata-kata yang diucapkan oleh Gresituli itu jelas. Maka artinya pun menjadi jelas pula bagi kita. Tapi apa konteks dan arti dari nuhung teme tewong alo boleng boto yang menjadi ayat favorite dari penulis “Lango Limpati?” Jawabannya, “Tau ah…. gelap.”

Ya, dengan untaian kata-kata itu, penulis “Lango Limpati” berusaha menggelapkan pikiran pembaca agar mereka tidak terbuka pada realitas sejarah sesungguhnya, khususnya realitas sejarah yang berkaitan dengan Raga anak Sani dan Ling Pati. Dengan untaian kata-kata itu, penulis tersebut berusaha menyesatkan para pembaca yang selama ini kurang atau tidak melek sejarah Lewoingu. Dikatakan menyesatkan, karena dengan kata-kata tersebut dia melakukan kebohongan publik. Isi kebohongannya ada dua, yaitu Raga anak Hule dan Ling Pati adalah milik eksklusif Kebele’eng Kelen. Upaya penyesatan itu coba dia lengkapi dengan kata-kata tertera di bawah ini,

Dunia lera wulang latala tanah ekang
teti wang pulu pito lali wade pulu lema
teti esang leing lodo, lali sorong limang gere
lodo hau tobo tukang, gere haka pae bawa
denge koda baing khiring, denge umeng baeng lamak
Kuru Sani Sedu Doweng
maung Boli Duru Moko
Tobo pi Limpati dang pukeng
pae pi gawe rage kenawe matang
Gurung koon suku matang pulo kaeng
gawa koon wokole lema kae.

Rangkaian kata-kata tersebut dia sebut sebagai preambul gatak lango Limpati. Yang jadi pertanyaan ialah “Apa arti rangkaian kata-kata tersebut? Dan untuk apa kata-kata itu digunakan?”

Kiranya jelas bahwa penulis “Lango Limpati” tidak menyadari empat hal. Pertama, kata wade dalam teti wang pulu pito lali wade pulu lema itu tidak punya arti apa-apa. Penggunaan kata itu justeru mengacaukan arti baris tersebut. Lantas pas-kah penggunaan kata baeng dan maung dalam konteksnya yang seperti itu?

Kedua, penulis “Lango Limpati” pun lupa bahwa kata-kata,

Tobo pi Limpati dang pukeng
pae pi gawe rage kenawe matang

itu merupakan ajakan kepada para leluhurnya yang disebut namanya dalam dua baris sebelumnya untuk hadir dalam suatu acara yang dia maksudkan itu. Ini merupakan lanjutan atas ajakan atau undangan atas kehadiran Lera Wulang dan Tana Ekang dalam suatu acara yang digelar entah di Ling Pati, entah pada tempat lain.

Ketiga, penulis “Lango Limpati” tidak menyadari bahwa kata Tobo pi Limpati dang pukeng pae pi gawe rage kenawe matang menunjukkan bahwa rangkaian kata-kata tersebut merupakan tambahan yang diucapkan setelah suku Kebele’eng Keleng kembali ke Ling Pati karena kasus ketihe’ yang pernah saya singgung. Dengan demikian menjadi jelas bahwa rangkaian kata-kata itu tidak menunjukkan bahwa Ling Pati adalah milik eksklusif Kebele’eng Keleng.

Keempat, penulis “Lango Limpati” juga lupa bahwa tanpa Ata Maran, tak ada satu pun ahi leang (pesta) yang dapat diadakan di Ling Pati. Coba tanyakan kepada penulis “Lango Limpati”, ahi leang apa yang dapat dia dan saudara-saudara sesukunya dapat lakukan di Ling Pati tanpa Ata Maran? 

Apa yang disebut preambul gatak lango limpati itu merupakan campuran antara pembukaan dari Marang Mukeng tertentu dan bagian tertentu dari knutu knata dari suku Kebele’eng Keleng. Jika knutu knata itu diucapkan di Ling Pati, maka kata-kata Tobo pi Limpati dang pukeng pae pi gawe rage kenawe matang itu mereka tambahkan.

Bagi saya, rangkaian kata-kata tersebut gagal menunjukkan bahwa Ling Pati adalah milik eksklusif suku Kebele’eng Keleng. ***