Senin, 13 September 2010

Dumbata Lewoingu Sarabiti Waihali

 

Setelah menulis tentang “Dungtana Pota Wato Pota Ile Hone Woka,” saya sebenarnya ingin menulis tentang “Dumbata Lewoingu Sarabiti Waihali.” Tetapi keinginan itu tidak langsung direaliasasikan setelah saya memposting tulisan tersebut ke http://atamaran2.blogspot.com. Baru sekarang ini tulisan tentang “Dumbata Lewoingu Sarabiti Waihali” itu dapat saya susun dan saya posting ke alamat situs tersebut. Istilah Dumbata sama artinya dengan istilah Dungbata.

Susunan kata: Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali seringkali menjadi kebanggaan orang-orang Eputobi-Lewoingu. Rangkaian kata-kata itu tertera di tugu Selamat Datang di kampung Eputobi, tugu yang berhiaskan pula dengan patung dua ular. (Patung ular yang satu menghadap ke utara, yang satu lagi menghadap ke selatan. Kedua patung ular itu melambangkan kekuatan jahat. Kehadiran dua patung ular itu tidak cocok dengan rangkaian kata-kata tertera di atas. Setelah mengetahui adanya dua patung ular yang dipajang di tugu Selamat Datang itu, banyak orang baru menyadari bahwa dengan dibangunnya tugu tersebut, kampung Eputobi pada dasarnya telah diserahkan kepada kekuatan jahat). 

Perangkai kata-kata tersebut berusaha menekankan bahwa termasuk pula dalam komunitas Dungbata di Lewoingu adalah kelompok Sarabiti dan Waihali. Rangkaian kata-kata itu mengikuti pola kata-kata yang sering digunakan oleh raja Larantuka yang berbunyi, Kota Sarabiti Gege Waihali. Siapa perangkai Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali? Hingga kini tak ada sumber yang dapat memberikan jawaban yang akurat atas pertanyaan tersebut. Yang jelas istilah Lewoingu dan istilah Dumbata berasal dari Gresituli. Tetapi Gresituli tidak menempa rangkaian kata-kata Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali. Kata-kata itu dirangkai oleh orang lain setelah mereka mengetahui adanya rangkaian kata-kata Dungtana Pota Wato Pota Ile Hone Woka.

Dari fakta bahwa Sarabiti adalah nama tempat tinggal kelompok Wungung Kweng, kita dapat memperoleh sedikit petunjuk bahwa rangkaian kata-kata tersebut rupanya berkaitan dengan suku tersebut. Tetapi tidak dapat dipastikan bahwa suku tersebut yang menempa rangkaian kata-kata tersebut. Sementara itu Waihali adalah nama suatu tempat yang letaknya berhadapan dengan Mada (Pintu Gerbang) Lewowerang. Waihali adalah nama yang berbau Timor. Tetapi tidak jelas bagi saya, apakah di Waihali pernah tinggal keluarga tertentu. Dari sumber tertentu saya memperoleh informasi bahwa di situ pernah terdapat sumber air.

Perlu diperhatikan bahwa ketika Gresituli dan beberapa suku pendukungnya bermukim di Lewoingu tepatnya di Dungtana, dan ketika komunitas Dungbata mulai terbentuk, Werong Hegong dan keluarganya tinggal di Waiua. Werong dan Hegong adalah nama dua orang kembar siam. Di kala senggang, Gresituli bertandang ke rumah Werong Hegong di Waiua. Dalam menyikapi masalah yang berkategori pelanggaran adat istiadat, mereka sering saling berkoordinasi untuk mengambil langkah yang dianggap tepat untuk mengatasi masalah yang timbul. Gresituli dan Werong Hegong antara lain bersepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi orang yang mengganggu isteri orang. Dalam urusan semacam itu Gresituli pun dapat bekerja sama dengan orang-orang dari kelompok Paji yang tidak memusuhinya. Tampak di sini bahwa tidak semua orang dari kelompok Paji diperangi oleh Gresituli. Yang diperanginya adalah orang-orang Paji yang mengancam keselamatan keluarganya dan keselamatan kelompok-kelompok sosial yang bersekutu dengannya. Dalam perang melawan Paji, Werong Hegong memainkan peranan penting. Karena memiliki tali persahabatan yang baik dengan Gresituli, maka Werong Hegong dan keluarga mereka pun bergabung dengan komunitas Dungbata (Lewowerang). Keturunan Werong Hegong adalah Hokeng Kweng dan Geroda Kweng (Geroda Keneeng) dan anak-anak mereka. Karena mengetahui sejarah, maka Hokeng Kweng pada tahun 2006 dan Geroda Kweng pada tahun 2007 pernah mengatakan kepada saya bahwa mereka tidak mau ikut-ikutan dalam kelompok yang melakukan pelanggaran adat pada tahun 2006 itu. Tetapi setelah itu, saya sendiri tidak tahu lagi seperti apa sikap mereka, terutama terhadap kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran.

Lantas dari mana nama Sarabiti berasal? Sarabiti adalah nama yang dipakai oleh suku Wungung Kweng di luar keturunan Werong Hegong. Dengan ini saya mau mengatakan bahwa suku Wungung Kweng di Eputobi itu berasal usul berbeda. Jika Hokeng Kweng dan Geroda Kweng dan anak-anak mereka berasal dari Werong Hegong, anak-anak dari almarhum Geroda Beleeng dan anak-anak almarhum Lalang Kweng berasal dari daerah sebelah timur kota Larantuka. Sebelum bergabung dengan komunitas Dungbata di Lewoingu, keluarga Wungung Kweng di luar keluarga Werong Hegong itu tinggal di tempat yang diberi nama Sarabiti. Tetapi tidak jelas apakah nama Sarabiti ini berkaitan dengan nama Sarabiti yang terungkap dalam rangkaian kata-kata Kota Sarabiti Gege Waihali tertera di atas. Dan hingga kini belum ada sumber yang dapat menjelaskan apakah kelompok tersebut yang merangkai kata-kata Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali atau bukan. Seandainya rangkaian kata-kata itu berasal dari kelompok tersebut, maka dengan kata-kata itu mereka berusaha menegaskan bahwa kelompok Sarabiti adalah bagian yang tak terpisahkan dari Dungbata yang di Lewoingu itu. Penegasan ini penting artinya bagi kelompok ini terutama dalam menyikapi situasi yang tidak aman akibat perang Demong melawan Paji. Kata Waihali dalam rangkaian kata-kata tersebut tampaknya hanya ditambahkan saja. Kebetulan letak Waihali berhadapan dengan Mada Lewowerang. Sebelum menginjakkan kaki di gerbang Dungbata, mereka melewati Waihali. Kata Waihali mengingatkan kita pada kata Waihali dalam rangkaian kata-kata Kota Sarabiti Gege Waihali.

Tampak jelas bahwa rangkaian kata-kata itu tidak mencakup persatuan semua kelompok yang membentuk komunitas Dungbata-Lewoingu. Mungkin karena itu, maka beberapa pakar sejarah lisan Lewoingu merasa tidak terlalu sreg dengan penggunaan rangkaian kata-kata tersebut. Dengan merangkai kata-kata Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali, si perangkai berusaha memasangkannya dengan rangkaian Dungtana Pota Wato Pota Ile Hone Woka. Tetapi arti simbolik dari rangkaian Dungtana Pota Wato Pota Ile Hone Woka jauh lebih mendalam ketimbang arti rangkaian Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali. ***

Rabu, 10 Februari 2010

Jejak Santo Fransiskus Xaverius di Lewolaga, Lewoingu, Flores Timur

Oleh Rafael Raga Maran

 

Di Lewolaga, Lewoingu, di Flores Timur terdapat suatu mata air yang disebut Wai Beta. Kata “wai” berasal dari bahasa Lamaholot yang berarti air. Kata “beta” berasal dari bahasa Maluku berarti saya. Jadi “Wai Beta” berarti “Air Saya” atau “Airku.”

Mengapa kata “beta” yang berasal dari bahasa Maluku itu dipakai untuk menamai air yang sumbernya terletak di dekat pantai Lewolaga di daerah Lewoingu di Flores Timur? Apakah karena ada orang dari Maluku yang memberi nama untuk air dimaksud? Jawabannya: tidak; bukan orang Maluku yang memberi nama untuk air itu.

Di balik nama itu terdapat suatu kisah tentang perjalanan misioner Santo Fransiskus Xaverius ke Maluku. Santo Fransiskus Xaverius dijuluki sebagai penginjil terbesar setelah Santo Paulus. Pada tahun 1540, misionaris Yesuit itu ditugaskan oleh Santo Ignatius Loyola, berdasarkan permintaan Raja Portugal, untuk menjadi Pewarta Injil di daerah jajahan Portugis di Asia. Pada tanggal 7 April 1541, dia bertolak dari Lisbon, Portugal, dengan kapal Santiago. Dari Agustus 1541 hingga Maret 1542, dia tinggal di Mosambik Afrika. Pada tanggal 6 Mei 1542, dia tiba di Goa, India. Setelah tiga tahun menyebarkan Injil di India, Santo Fransiskus Xaverius melanjutkan perjalanan ke Malaka. Dalam rencananya, dari Malaka dia akan berlayar ke Makasar. Pada akhir September 1545, dia tiba di Malaka di Semenanjung Malaya. Makasar dijadikan tujuan, karena ketika berada di Goa, dia mendengar kabar bahwa Makasar membutuhkan seorang imam.

Tetapi sewaktu di Malaka Santo Fransiskus Xaverius mendengar kabar yang tidak baik dari Makasar, maka rencana ke Makasar dibatalkan. Pada tanggal 1 Januari 1546 Santo Fransiskus Xaverius bertolak dari Malaka menuju Ambon dengan kapal dagang. Pelayarannya ke Ambon ditempuh melalui rute selatan, yaitu melalui pesisir Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores. Dari Flores Timur, kapal berbelok arah menuju kepulauan Maluku. Pada pertengahan tahun 1546 Santo Fransiskus Xaverius tiba di pulau Banda. Dari situ dia berlayar ke Ambon.

Di Ambon terdapat tujuh desa yang penduduknya beragama Katolik. Santo Fransiskus Xaverius mempermandikan kurang lebih 1.000 orang Ambon dan mempersiapkan kedatangan imam-imam baru. Pada bulan Juli 1546, dia berangkat ke Ternate. Selain berkarya di Ternate, Santo Fransiskus Xaverius juga berkarya di Halmahera dan Morotai. Sekembalinya dari Morotai dan Halmahera, dia masih berkarya di Ternate hingga sesudah Paskah tahun 1547. Dari Ternate dia kembali ke Ambon. Di Ambon dia mendirikan sebuah gereja kecil dan menobatkan banyak orang berdosa. Dari Ambon dia kembali ke Malaka.

Dalam perjalanan pulang ke Malaka, Santo Fransiskus Xaverius singgah di Lewolaga, Flores Timur. Di Lewolaga tepatnya di tempat yang kemudian disebut Wai Beta, Santo Fransiskus Xaverius mewartakan Kabar Gembira (Injil) dan membaptis sejumlah orang. Tradisi lisan di Lewoingu menuturkan bahwa Wai Beta adalah nama yang diberikan oleh Santo Fransiskus Xaverius untuk air yang digunakannya untuk membaptis orang-orang yang bersedia dibaptis. Sebelum kedatangan Santo Fransiskus Xaverius, di situ belum ditemukan sumber air tawar. Untuk kepentingan pembaptisan, Santo Fransiskus menggunakan tangannya untuk mengorek sedikit tanah di situ, lalu keluarlah air tawar. Setelah muncul air, dia memberinya nama Wai Beta yang berarti Air Saya atau Airku.

Kata “beta” itu berasal dari bahasa Maluku. Bahasa itu yang digunakan oleh Santo Fransiskus Xaverius selama dia berkarya di Ambon, Ternate, Halmahera, dan Morotai. Maka tak heran bila dia pun menggunakan kata Wai Beta untuk air tersebut di atas. 

Perlu dicatat pula di sini bahwa sebelum kedatangan Santo Fransiskus Xaverius di Lewolaga, kampung Lewoingu sudah terbentuk. Pada waktu itu nama Lewolaga belum dikenal. Lewolaga yang berarti kampung besar itu baru dikenal di zaman penjajahan Belanda. Tetapi jelas bahwa tempat yang disinggahi oleh Santo Fransiskus Xaverius pada tahun 1547 itu termasuk wilayah Lewoingu. Dengan kata lain bumi Lewoingu pernah menerima kedatangan seorang misionaris Yesuit yang dijuluki sebagai penginjil terbesar setelah Rasul Paulus. Dan Wai Beta adalah saksi kedatangannya. ***

Sumber tentang perjalanan Santo Fransiskus ke Maluku:

Da França, Antonio Pinto, Pengaruh Portugis di Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 2000.

Heuken, A, SJ dkk, Sejarah Gereja Katolik di Indonesia, Jakarta: CLC, 1971.

http://en.wikipedia.org/wiki/Francis_Xavier

Sumber tentang asal usul Wai Beta:

Tradisi lisan masyarakat Lewoingu.