Selasa, 29 September 2009

Benarkah Gresituli Pernah Tinggal Di Lewohari?

Oleh Rafael Raga Maran

 

Dongeng penemuan seorang bayi di Tana Beto dilanjutkan dengan ceritera tentang dipeliharanya anak orok itu di Lewohari. Di situ si orok kemudian tumbuh dan berkembang menjadi seorang pemuda, konon hanya dalam waktu sangat singkat. Dengan dongeng itu, si pendongeng ingin berceritera bahwa Gresituli, pendiri Lewoingu itu pernah tinggal di Lewohari bersama sekelompok orang yang disebut Kumanireng. Tetapi benarkah Gresituli pernah tinggal di Lewohari?

Jawaban atas pertanyaan tersebut pernah saya berikan. Gresituli tidak pernah tinggal di Lewohari. Dasar pertama dari jawaban tersebut ialah kenyataan bahwa orang-orang Lewohari sendiri tidak mengenal nama anak itu, padahal anak itu, konon, mereka pelihara sejak hari kelahirannya hingga masa dia menjadi seorang pemuda. Jika mereka sungguh-sungguh menjadi orang tua angkat dari anak itu, sudah tentu mereka pun memberinya nama. Dan jika perlu kepada yang bersangkutan sekalian diberikan pula nama suku sebagai identitas sosialnya. Yang terjadi ialah bahwa anak itu memperkenalkan sendiri namanya ke publik, setelah dia berhasil melumpuhkan binatang buruannya, seekor rusa jantan.

Jejak historis perburuan seekor rusa jantan itu dapat pula dilacak hingga ke kampung Lewotobi, dekat Tuakepa. Orang di kampung Lewotobi pun mendapat bagian (umeng dalam bahasa Lamaholot) dari rusa yang dipanah oleh Gresituli itu. Kenyataan ini menunjukkan bahwa ada pula orang Lewotobi yang berpartisipasi dalam urusan perburuan itu. Yang jelas, karena Gresituli sendiri tidak sanggup menggotong rusa jantan yang telah berhasil dipanahnya, ada orang Lewotobi yang membantu menggotongnya. Atas bantuan itu, Gresituli memberikannya bagian. Dan tentu ada pula orang-orang lain yang ikut serta dalam kegiatan tersebut. 

Kegiatan berburu itu tampaknya terjadi tidak lama setelah Gresituli mulai berhasil bersosialisasi dan diterima sebagai bagian dari  masyarakat setempat di lingkungan Paji dan ketika dia pun sudah mengenal sejumlah penduduk setempat di kampung tetangga. Kegiatan berburu itu terjadi di masa Paji setempat di bawah kepemimpinan Lewokoli masih berjaya. Dan pada waktu itu di Lewohari masih bermukim seorang Paji bernama Watangpao dan keluarganya. Watangpao dan keluarganya meninggalkan Lewohari ketika di daerah itu pun mulai terjadi aksi Tekung Paji (perang melawan Paji). Aksi Tekung Paji yang terjadi di daerah itu merupakan bagian dari pemberlakuan politik penumpasan Paji yang digariskan oleh Raja Larantuka. Dan aksi Tekung Paji itu terjadi jauh setelah terjadinya kegiatan berburu rusa oleh Gresituli itu tadi.

Setelah cukup lama ditinggal pergi oleh Watangpao sekeluarga, barulah Lewohari dihuni oleh sekelompok orang yang dikenal dengan suku Kumanireng. Rangkain sejarah ini secara jelas menunjukkan bahwa jauh sebelum kelompok tersebut bermukim di Lewohari, Gresituli sudah tinggal di Lewokoli. Sebelum kedatangan kelompok tersebut di Lewohari, beberapa puteri Gresituli sudah menikah dengan pria dari pihak Paji. 

Karena itu tidak masuk akal sama sekali ketika dikatakan bahwa Gresituli itu ditemukan ketika baru lahir di Tana Beto, kemudian dijadikan anak angkat oleh suku Kumanireng di Lewohari hingga dia menjadi seorang pemuda. Karena muncul belakangan, maka tak ada satu pun tradisi lisan di Lewoingu yang menuturkan bahwa bagian yang diperoleh oleh Gresituli dari hasil buruannya bersama rekan-rekannya itu dibawa ke Lewohari. Yang terjadi ialah bahwa bagiannya dibawa ke Lewokoli untuk dinikmati bersama rekan-rekannya di sana.

Berdasarkan data-data yang berhasil dihimpun dari tradisi lisan yang ada, di luar tradisi dongeng yang dianut oleh Donatus Doni Kumanireng dan Marselinus Sani Kelen, dapat dikatakan bahwa kedatangan Kumanireng di Lewohari itu terjadi setelah Gresituli berkeluarga dan memiliki beberapa anak. Karena muncul belakangan, maka baru belakangan Kumanireng mengenal bahwa di daerah itu ada seorang terkenal bernama Gresituli. Dia itu jago berburu, dia itu jago mengalahkan musuhnya. ***

Minggu, 20 September 2009

Gresituli Tidak Dilahirkan di Tana Beto

Oleh Rafael Raga Maran

 

Ceritera tentang perjumpaan Gresituli dan Keropong Ema dengan Hatang di tanah Jawa, dan ceritera tentang perjumpaan kembali Gresituli dengan Hatang melalui tali pertunangan dan perkawinan antara Doweng dan Peni Hera, seperti saya kemukakan dalam tulisan saya berjudul “Gresituli, Keropong Ema, Hatang” secara jelas menunjukkan bahwa Gresituli itu berasal dari Jawa. Dia termasuk kelompok Sina Jawa. Karena itu merupakan suatu kebohongan besar, jika ada yang mengatakan bahwa Gresituli lahir di Tana Beto yang terletak di antara kampung Eputobi dan kampung lama (Lewookineng).

Tana Beto adalah istilah yang dipakai untuk menunjuk pada tanah tempat kelahiran atau kemunculan seseorang yang menjadi leluhur pertama kelompok sosial tertentu. Istilah Tana Beto itu dikenal di sejumlah daerah Lamaholot. Istilah ini berkaitan dengan mitos tentang asal usul kelompok sosial tertentu yang merupakan penduduk asli di daerahnya. Masyarakat Wolo, tetangga di sebelah timur kampung Eputobi pun mengenal istilah Tana Beto. Di Solor pun dikenal istilah Tana Beto.

Masyarakat Lewoingu pun menggunakan istilah Tana Beto dalam arti seperti disebut di atas. Tetapi ketika istilah itu digunakan untuk menunjukkan tempat kelahiran atau asal usul Gresituli, maka kontan terasa janggal. Dikatakan janggal karena Gresituli itu tidak berasalusul dari tanah yang kemudian disebut Tana Beto itu. Dia datang dari tanah Jawa dalam sosok seorang pemuda gagah. 

Karena Gresituli itu tinggal di lingkungan Paji, maka kelompok-kelompok sosial (suku-suku) tertentu yang tidak termasuk kelompok Paji, yaitu suku-suku pendatang yang konon sudah lebih dahulu tinggal di kampung-kampung di sekitar permukiman Paji, pun terlambat mengenalnya. Maklum, dia tinggal di lingkungan Paji. Dia mencari nafkah hidup sehari-hari sebagai seorang petani ladang. Dia menggarap tanah milik Paji. Dia juga mengiris tuak pada pohon-pohon lontar yang tumbuh di tanah milik Paji. Dari tanah miliki Paji itu pula, dia pun pernah memperoleh hasil berlimpah, sehingga sebagiannya dapat dia gunakan untuk membeli gading guna membayar belis kepada keluarga mertuanya.

Selain dengan Paji, Gresituli pun berinteraksi dan menjalin relasi sosial yang sangat baik dengan penduduk asli. Seorang penduduk asli yang sangat berwibawa pada zaman itu bernama Nobo. Karena tidak memiliki keturunan, maka Nobo mengangkat Tobi sebagai anaknya. Oleh Nobo, Gresituli pun kemudian dianggap sebagai anaknya. Nobo, Tobi, dan Gresituli dikenal sebagai tiga jago perang. Di wajah Nobo terdapat bekas luka akibat serangan panah musuh.

Selain jago perang, Nobo pun dikenal sebagai pemilik kambing. Dia juga memiliki keahlian dalam menganyam lawa (alat penangkap landak) dan belutu’ (alat penangkap ikan). Nobo inilah yang mengajari penduduk setempat untuk menganyam lawa dan belutu’. Sedangkan Tobi adalah pemilik Epu’ yang kini terletak di tengah kampung Eputobi itu. Pada masa itu tempat itu disebut Tobiepu’ung, yang berarti Epu’ milik Tobi. Di kemudian hari baru dibalik menjadi Eputobi. Orang-orang yang tidak tahu sejarah itu mengira bahwa nama Eputobi itu berasal dari kata Epu’ dan Tobi yang berarti pohon asam. Dalam kebudayaan Lamaholot, kata Epu’ berarti batu yang dijadikan meja persembahan. Selain itu, kata Epu’ juga berarti pondok tempat berkumpul orang-orang tertentu. Maka yang disebut Epu’ itu tentu punya pemilik. Dan pemilik Epu yang dimaksud di sini adalah Tobi.

Seperti halnya Nobo, Tobi juga penduduk asli yang tidak mempunyai keturunan. Karena Gresituli mempunyai keturunan, maka Tobi pun pernah berpesan kepadanya agar namanya pun diingat dalam keturunannya. Itulah sebabnya di antara keturunan Gresituli pun ada yang diberi nama Tobi untuk mengenang tokoh yang menjadi saudara Gresituli itu.

Sedangkan jalinan sosial yang baik dengan kelompok-kelompok pendatang lainnya di daerah itu terjadi belakangan, setelah meletus perang melawan Paji, terutama setelah Gresituli mengetahui bahwa kelompok-kelompok itu pun melawan Paji. Perlu diperhatikan bahwa dalam rangka menaklukkan Paji, Gresituli pada mulanya tidak meminta bantuan dari kelompok-kelompok tersebut tetapi dari suku-suku lain yang tinggal di daerah utara Flores Timur seperti suku Lewoanging dan Wulogening. Ceritera tentang kesepakatan kelompok-kelompok sosial termaksud untuk mematai-matai gerak-gerik Gresituli dan keluarganya setelah dia berpindah ke Lewowato, seperti ditulis dalam “Nukilan Sejarah desa Lewoingu, kampung Eputobi” di www.eputobi.net, menunjukkan bahwa para anggota kelompok itu tidak mengenal siapa itu Gresituli sesungguhnya. Ini mengandaikan bahwa hingga masa ketika Gresituli dan keluarganya bermukim di Lewowato, kelompok-kelompok sosial itu belum menjalin relasi sosial yang baik dengannya.

Karena tinggal di lingkungan Paji, maka di antara anak perempuan dari Gresituli pun ada yang menikah dengan pria Paji. Pernikahan itu berlangsung sebelum terjadi aksi Tekung Paji alias perang melawan Paji. Dan kiranya perlu dicatat di sini bahwa pada masa ketika terjadi perkawinan antara anak perempuan Gresituli dengan pria dari kelompok Paji itu, di Lewohari masih bermukim Paji Watangpao. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebelum Watangpao meninggalkan Lewohari, Gresituli sudah berkeluarga dan memiliki beberapa anak gadis. Ketika konflik antara Demong dan Paji mulai merebak di daerah itu, Watangpao dan keluarganya meninggalkan Lewohari.

Kiranya perlu diperhatikan juga bahwa pertempuran Gresituli melawan Paji mulai berkobar, ketika Gresituli dan keluarganya tinggal di Lewowato. Maka menjadi jelas bahwa ceritera tentang penemuan seorang bayi di tempat yang kemudian disebut Tana Beto, dan rangkaian ceritera bahwa bayi itu kemudian dipelihara dan dijadikan anak asuh Lewohari, dan bahwa anak itu kemudian bernama Gresituli, itu merupakan suatu dongeng besar.

Dongeng besar itu diperlakukan sebagai kisah sejarah Gresituli oleh Donatus Doni Kumanireng dan Marselinus Sani Kelen. Di tangan Marselinus Sani Kelen, dongeng itu menjadi makin kentara, ketika dia berceritera bahwa pertumbuhan Gresituli dari seorang bayi menjadi seorang pemuda hanya memakan waktu yang sangat singkat. Ceritera yang dikemas dengan kerangka pikir mitis magis itu tampaknya dia perlukan untuk membela pendapat bahwa Gresituli itu penduduk asli. Padahal pendapat itu tidak sesuai dengan kenyataan. Dikatakan tidak sesuai dengan kenyataan, karena Gresituli itu datang dari Jawa. Dia datang dalam sosok seorang pemuda gagah. Untuk dapat menetap dan tinggal di tanah baru itu, dia tidak membutuhkan proses kelahiran kembali. Yang dia perlukan adalah proses sosialisasi dalam rangka penyesuaian diri dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial masyarakat setempat. 

Penjelasan berdasarkan kerangka pikir mitis magis seperti yang dikemukakan oleh Marselinus Sani Kelen dalam tulisannya berjudul “GRESITULI SANG DEMONG PAGONG” itu tak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. ***

Rabu, 09 September 2009

Gresituli, puteri Lewokaha, dan puteri Lewokoli

Oleh Rafael Raga Maran

 

Lewokoli adalah nama sebuah kampung Paji dengan jumlah penduduk yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk di kampung-kampung Paji lainnya di daerah itu. Di situ terdapat sebuah pasar, tempat berinteraksi antara pedagang dan pembeli barang-barang kebutuhan masyarakat setempat dan di daerah sekitarnya. Barang-barang seperti gading, perhiasan (kalung, gelang, cincin, anting) yang dibuat dari emas dan perak, peralatan rumah tangga seperti piring, mangkuk, kumbang, dll pun dijual di pasar Lewokoli. Ikut berjualan di pasar itu para pedagang dari Sina Jawa. Orang-orang dari Sukutukang, Boru, Hewa, Palue, dan Pukaunu pun datang ke pasar tersebut untuk membeli barang-barang yang mereka perlukan.

Di pasar Lewokoli itulah Gresituli pertama kali tiba. Dan di kampung Lewokoli’ itulah Gresituli pertama kali tinggal di daerah itu. Dia mencari nafkah sebagai petani ladang. Dia menggarap tanah ladang milik Paji. Dia juga mengiris tuak pada pohon-pohon lontar yang banyak tumbuh di daerah itu.

Karena sehari-hari berinteraksi dengan masyarakat Paji, maka dia pun kecantol pertama dengan seorang puteri dari Lewokaha bernama Ketopiwoli, kemudian dengan seorang puteri dari Lewokoli bernama Nogogunung. Perkawinannya dengan puteri dari Lewokaha itu dilangsungkan sesuai dengan adat istiadat yang berlaku di lingkungan Paji, yang menjadikan gading sebagai belis. Menurut tradisi adat yang berlaku pada zaman itu, belis diserahkan kepada pihak keluarga calon isteri sebelum upacara adat pernikahan diselenggarakan. Tetapi karena Gresituli belum mempunyai gading, disepakati bahwa upacara adat pernikahannya tetap dapat dilangsungkan, dengan catatan urusan belis akan menyusul. Disepakati bahwa penyelesaian urusan belis itu dapat dilakukan setelah pernikahan dilangsungkan.

Gading yang diperlukan sebagai belis untuk keluarga isterinya di Lewokaha itu dibelinya sendiri, setelah dia menggarap ladang di sebidang tanah (newa) bernama Kehule. Newa itu terletak di sebelah barat Beeka. Karena hasil panennya melimpah (lumbungnya penuh dengan padi) pada musim itu, maka sebagiannya dia jual untuk membeli gading untuk kepentingan belis tersebut di atas.

Ketika hendak membawa gading itu ke Lewokaha, pihak penguasa Lewokoli mencegatnya, karena mereka pun menginginkan gading yang besar itu. Setelah mengetahui bahwa gading itu dijadikan belis untuk puteri Lewokaha tersebut, para penguasa Lewokoli pun mau mengizinkan anak puteri mereka untuk diperisteri oleh Gresituli. Gresituli setuju, maka gading itu pun akhirnya terdampar di Lewokoli. Di kemudian hari baru dia menyelesaikan urusan belis dengan pihak keluarga isterinya yang di Lewokaha. Gading yang dijadikan belis itu diperoleh dari usahanya sebagai petani ladang, bukan dari pemberian pihak lain. Tidak ada satu pun suku di daerah itu yang mau merelakan gadingnya untuk urusan belis tersebut di atas. Soalnya jelas. Selain mahal harganya, gading adalah harta suku, harta keluarga besar. Karena itu gading pun hanya dapat dipakai sebagai belis untuk anggota keluarga suku yang bersangkutan. Gading suku pun dapat dijual kepada orang atau pihak di luar suku. Sebagai seseorang yang berasal dari Sina Jawa, yang tidak bertalitemali darah dengan suku-suku setempat, Gresituli mau tidak mau mengusahakan sendiri gading untuk menyelesaikan urusan belis perkawinannya itu.

Karena urusan belis dengan pihak penguasa Lewokoli sudah berjalan, maka Gresituli pun kemudian menikahi pula puteri Lewokoli bernama Nogogunung. Pernikahan itu pun berlangsung sesuai dengan adat istiadat yang berlaku di lingkungan masyarakat Paji pada zaman itu. Pernikahannya dengan puteri Lewokoli itu tidak mengganggu hubungan kekeluargaannya dengan Lewokaha. Sebelumnya hal itu sudah disampaikan kepada pihak Lewokaha baik oleh Gresituli sendiri maupun oleh para penguasa Lewokoli yang bersangkutan.

Dari pernikahannya dengan Puteri Lewokaha lahir Doweng. Dari pernikahannya dengan puteri Lewokoli lahir Dalu dan Sani. Selain tiga putra, Gresituli juga memiliki beberapa anak puteri. ***

Sabtu, 05 September 2009

Gresituli, Keropong Ema, Hatang

Oleh Rafael Raga Maran

 

Setelah meluncurkan tanggapan atas ngawurisme dalam “JUJURLAH MENJADI DIRI SENDIRI” saya menunggu tanggapan balik dari Marselinus Sani Kelen. Yang saya harapkan dari orang ini adalah keberanian dan kesanggupannya untuk mempertahankan segala macam omong kosongnya tentang sejarah Lewoingu itu. Saya pun berharap dia mampu mempertahankan gairahnya untuk terus menyebarluaskan fitnah dan penghinaan baik terhadap leluhur Ata Maran, terhadap ayah dan kakek saya maupun terhadap saya sebagai pribadi. 

Tetapi hingga kini, tanggapan balik dari orang yang konon memiliki lebih banyak referensi sejarah Lewoingu ketimbang referensi yang saya miliki itu belum juga muncul. Yang tampak jelas adalah gelagatnya untuk meninggalkan panggung polemik sejarah Lewoingu tanpa pamit. Padahal polemik sejarah Lewoingu belum mencapai puncaknya. 

Sambil menunggu kejelasan apakah orang itu masih punya nyali untuk terus bertahan di arena polemik, saya ingin membuat beberapa catatan tentang tiga tokoh, yaitu Gresituli, Keropong Ema, dan Hatang. Gresituli dan Keropong Ema itu kakak beradik kandung. Hatang adalah orang yang berjasa dalam membantu Gresituli dan Keropong Ema memenangkan suatu pertempuran di tanah Jawa. Berkat petunjuk teknis dari Hatang, Gresituli dan Keropong Ema berhasil mengalahkan musuh-musuh mereka.

Gresituli dan Keropong Ema

Ceritera tentang terjadinya pertempuran tersebut dilengkapi dengan ceritera tentang perjalanan Gresituli dan Keropong Ema dari tanah Jawa ke arah timur. Dalam perjalanan tersebut, mereka singgah di Bali dan Labuan Bajo. Dari Labuan Bajo, mereka terus bergerak ke arah timur. Perjalanan itu membawa mereka ke Lio, kemudian ke Hewa. Di Wai’ Ula’ di Hewa, Keropong Ema dibunuh. Di daerah itu pula jenazahnya dikuburkan.

Gresituli yang lolos dari ancaman maut itu meneruskan perjalanannya ke arah timur. Ia kemudian tiba di Ile Kehue. Selain Ile Kehue, dalam kisah perjalanan itu disebutkan pula kampung Nobo. Gresituli kemudian tiba di Lewokoli, dan tinggal untuk pertama kalinya di situ.

Sekelumit ceritera tentang perjalanan Gresituli dan Keropong Ema tersebut di atas menunjukkan bahwa Gresituli tidak dilahirkan di Tana Beto. Seandainya benar bahwa Bota Bewa pernah menemukan seorang bayi di Tana Beto, bayi itu tentu bukan Gresituli. Jika Nuho Rehing dan Bota Bewa yang memelihara Gresituli, mengapa mereka tidak mampu memberinya nama? Adakah orang tua, entah orang tua kandung entah orang tua angkat yang tidak mau memberikan anaknya nama?

Sekelumit ceritera perjalanan terpapar di atas pun menunjukkan bahwa Gresituli itu berasal dari tanah Jawa. Dengan perkataan lain, Gresituli itu bukan penduduk asli setempat. Dia tidak termasuk kelompok Ile Jadi. Dia terbilang dalam kelompok Sina Jawa. Perlu dicatat di sini bahwa suku-suku yang mendiami daerah itu terdiri dari kelompok Ile Jadi (penduduk asli), kelompok Sina Jawa, kelompok Keroko’ Pukeng, dan kelompok yang berasal dari pulau-pulau lain.

Sebagai pendatang baru pada masa itu, Gresituli tentu saja tidak serta merta memperkenalkan diri kepada orang-orang yang belum dikenalnya dengan baik. Maka untuk periode tertentu, orang-orang di daerah itu tidak mengenal namanya. Setelah dia sendiri memperkenalkan namanya, barulah mereka mengetahui bahwa si pemuda itu bernama Gresituli.

Nama itu kemudian menjadi terkenal, berkat kepemimpinannya dalam perang melawan Paji, dan dalam pembangunan kampung Lewoingu bagi masyarakat Demong setempat. Dia terkenal sebagai pemimpin Demong di daerah itu. Pengaruhnya yang kuat menjalar hingga ke Henga. Berkat kepemimpinan Gresituli, maka masyarakat di kampung-kampung seperti Leworook, Lewotobi, Tuakepa, dan Tenawahang pun menganggap Lewoingu sebagai kakak. Sedangkan masyarakat Pukuunu, Palue, Sukutukang, Boru dan sekitarnya menganggap Lewoingu sebagai ema-bapa (orang tua).

Kiranya perlu diperhatikan bahwa tidak hanya mereka yang disebut Ile Jadi yang termasuk dalam kelompok Demong. Suku-suku lain yang berasal dari luar kelompok Ile Jadi pun tergabung dalam kelompok Demong. Maka jelas keliru ketika Donatus Doni Kumanireng berusaha menyangkali fakta bahwa Gresituli itu termasuk dalam kelompok Sina Jawa. Dia juga keliru ketika mengatakan bahwa “dalam tradisi Lamaholot di seluruh Flotim, Lembata, dan Alor, ada dua kelompok asal manusia, yaitu TENA MAO dan ILE JADI.” Padahal tena mao itu bukan istilah yang menunjuk pada asal usul manusia, melainkan pada sarana yang digunakan oleh sekelompok orang yang berpindah dari tempat asalnya lalu mendarat dan menetap di Flores Timur, dan di pulau-pulau kecil di sekitarnya. Dalam berbagai literatur yang berbicara tentang asal-usul suku-suku di Lamaholot pun kata tena mao tidak dipakai sebagai sebutan untuk asal-usul kelompok sosial tertentu.

Penyangkalan tentang asal usul Gresituli tersebut di atas diulang oleh Marselinus Sani Kelen. Kedua orang ini berusaha membela posisi Gresituli sebagai Demong Pagong. Tetapi bagi mereka, yang terbilang dalam kelompok Demong Pagong itu penduduk asli (Ile Jadi), bukan tena mao. Padahal di dalam kenyataan tidak demikian halnya, sebagaimana telah disinggung di atas. Masuknya Gresituli ke dalam kelompok Demong (Demong Pagong) itu bukan karena dia itu penduduk asli, melainkan karena keberpihakannya yang jelas dan tegas terhadap kelompok Demong dalam perang melawan Paji. Sebelum kedatangan Gresituli, di Flores Timur daratan dan di pulau-pulau kecil di sekitarnya sudah terdapat dua kelompok sosial yang saling bermusuhan, yaitu kelompok Demong dan kelompok Paji. Kenyataan ini tidak menjadi halangan bagi Gresituli dan orang-orang bukan penduduk asli lainnya untuk bergabung ke dalam kelompok Demong.

Bagi Donatus Doni Kumanireng dan Marselinus Sani Kelen, Gresituli termasuk kelompok Ile Jadi, karena, menurut mereka, dia lahir di Tana Beto. Padahal ketika datang ke daerah itu, Gresituli adalah seorang pemuda yang gagah berani. Dan diperlukan waktu bagi orang-orang yang sudah lebih dahulu bermukim di daerah itu untuk mengenal namanya. Justru karena yang mereka jumpai itu seorang pemuda, maka tidak mungkin pula mereka memberikan nama kepadanya. Orang yang bersangkutan tentu sudah punya nama, meskipun mereka belum mengetahui siapa namanya. Pernahkah anda bertemu seseorang yang belum anda kenal namanya, lalu anda pun memberinya nama? Kalau anda pernah melakukan hal semacam itu, maka anda termasuk orang yang sungguh-sungguh tidak tahu diri.

Hatang

Setelah membaca tulisan saya, baru Donatus Doni Kumanireng pun mengetahui adanya tokoh bernama Hatang di Wolo tempo doeloe. Dari pengecekannya ke narasumber di Wolo dan mungkin juga ke narasumber lainnya, dia pun mengetahui bahwa seorang anak puteri Hatang bernama Peni Hera dinikahi oleh putra sulung Gresituli bernama Doweng. Lalu dia juga mengetahui bahwa Hatang adalah salah seorang tokoh yang berperan aktif dalam usaha menumpas Paji.

Tetapi dia tentu tidak mengetahui bahwa pernikahan antara Doweng dan Peni Hera mungkin terjadi berkat adanya pertalian di masa lalu di tanah Jawa antara Gresituli dan Keropong Ema dengan Hatang. Setelah memenangkan pertempuran tersebut di atas, Gresituli dan Keropong Ema pun berpisah dengan Hatang. Tetapi sebelumnya mereka sudah saling mengetahui bahwa mereka bergerak ke arah timur. Hatang yang seorang pelaut menggunakan perahunya. Sedangkan Gresituli dan Keropong Ema menempuh jalan darat. Sebagai tanda persahabatan, Hatang memberikan cincin miliknya kepada Gresituli. Ketika memberikan cincinnya kepada Gresituli, Hatang berpesan, pakailah cincin ini, siapa tahu kita akan bertemu lagi di suatu waktu nanti.

Setelah Doweng tumbuh menjadi pemuda, Gresituli memberikan cincin itu kepadanya. Dan cincin itu dikenakan Doweng ketika dia melakukan kegiatan progung di Wolo. Pada zaman itu, progung merupakan salah satu metode yang digunakan oleh seorang pemuda yang ingin mencari jodoh. Tetapi kehadiran Doweng pada malam itu di Wolo sempat dianggap mengganggu. Maka sempat terjadi keributan dan Doweng nyaris menjadi korban kemarahan para pemuda setempat. Mendengar adanya keributan itu, Hatang pun berusaha mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Ketika dia memandang ke arah terjadinya keributan, dia melihat adanya cahaya yang terpantul dari jari tangan anak muda yang ingin dihakimi oleh para pemuda itu. Malam itu cahaya bulan menerangi bumi, dan cincin yang dikenakan Doweng memantulkan cahaya bulan.

Melihat itu, Hatang lalu mengatakan kepada para pemuda itu, jangan apa-apakan dia. Bawa dia ke mari. Hatang yang tertarik dengan pantulan cahaya itu memperhatikan cincin yang dikenakan Doweng. Setelah terjadi tanya jawab, Hatang pun mengetahui bahwa pemuda yang berada di hadapannya adalah putera Gresituli. Mendengar nama Gresituli, Hatang pun merasa yakin bahwa cincin yang berada di jari manis Doweng itu adalah tanda mata yang dia berikan kepada Gresituli ketika mereka hendak berpisah di suatu tempat di tanah Jawa. Dari Doweng, Hatang akhirnya tahu bahwa cincin itu diperoleh dari Gresituli. Setelah mengetahui bahwa pemuda di hadapannya itu adalah putera Gresituli, maka Hatang pun merestui Doweng untuk berpacaran dengan anak puterinya bernama Peni Hera. Doweng dan Peni Hera  kemudian menikah.

Keberadaan seorang tokoh bernama Hatang di Wolo menjadi salah satu bukti historis tentang dari mana Gresituli berasal. Seperti halnya Hatang di Wolo, Gresituli pun termasuk kelompok Sina Jawa, yang bergabung dalam kelompok Demong. Dengan bergabung ke dalam kelompok Demong, mereka menjadi sekutu Raja Larantuka yang pada zaman itu melancarkan politik perang untuk menumpas kekuatan Paji di wilayah kerajaannya. ***