Jumat, 30 Oktober 2009

Dong Rumah Panggung di Lewoingu Tempo Doeloe

Oleh Rafael Raga Maran

 

Dalam diskusi tentang Ling Pati di Lewoingu, Flores Timur, istilah dong rua sempat digunakan. Dong adalah istilah Lamaholot yang berarti bale-bale. Rua adalah istilah Lamaholot yang berarti dua. Istilah dong rua mengacu pada dua bagian dari suatu bale-bale. Yang dimaksud di sini adalah bale-bale di suatu rumah panggung yang dikenal di Lewoingu tempo doeloe.

Setiap rumah panggung memiliki satu dong, tempat anggota-anggota suatu keluarga melakukan aktivitas kerumahtanggaan mereka. Di situ, dipasang tungku tempat menanak makanan. Di situ makanan yang sudah ditanak dihidangkan untuk disantap bersama. Di situ pada malam hari mereka tidur untuk melepaskan lelah setelah seharian bekerja. Di situ kerajinan tangan seperti memintal benang dengan suatu perkakas yang disebut mute dikerjakan. Dan masih ada pula kegiatan-kegiatan lain yang dapat dikerjakan di situ.

Orang tua yang memiliki anak gadis yang sudah menjadi pemudi membagi dong di rumahnya menjadi dua bagian. Bagian depan untuk orang tua, dan bagian belakang untuk anak gadisnya. Dengan demikian si gadis tidur terpisah dari kedua orang tuannya. Pada malam hari sebelum tidur, si gadis biasanya memintal benang sebagai bahan untuk membuat sarung. Kadang-kadang pekerjaan itu dilakukan hingga larut malam.

Jika di rumah itu terdapat anak laki-laki yang sudah tumbuh menjadi pemuda, maka si pemuda pun diberi tempat untuk tidur di bagian belakang, tetapi terpisah dari tempat tidur saudarinya. Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa dong bagian belakang itu diperuntukan bagi anak-anak yang sudah tumbuh menjadi pemuda dan pemudi. 

Dapat terjadi bahwa suatu dong memiliki dua (lika lurang) tungku. Satu tungku untuk orang tua, satu lagi tungku untuk anak laki-lakinya yang sudah menikah dan tinggal bersama orang tuanya. Anak laki-laki sulung menjadi pewaris rumah orang tuanya. Jika si sulung mempunyai adik laki-laki, untuk sementara mereka bisa tinggal bersama-sama dalam satu rumah. Setelah menikah, adiknya itu pun akan memilih hidup mandiri. Jika di rumah itu terdapat anak perempuan, maka setelah menikah dia akan keluar dari rumah orang tuanya untuk mengikuti suaminya.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dengan mudah dapat membayangkan adanya pembagian dong di Ling Pati, setelah dua anak laki-laki Sani tumbuh menjadi pemuda dan dua anak perempuannya tumbuh menjadi pemudi. Dengan hadirnya dua pemuda dan dua pemudi, maka dong di rumah Ling Pati pun dibagi menjadi dua bagian. Bagian depan untuk Sani dan Kene, dan bagian belakang untuk kedua anak gadisnya, dengan catatan sebagian dong belakang diperuntukan bagi kedua anak laki-lakinya.

Ketentuan pembagian dong semacam itu perlu diperhatikan agar tidak terjadi asal bunyi ketika kita terlibat dalam pembicaraan tentang dong di Ling Pati. Pembagian dong semacam itu tidak hanya terjadi di rumah Sani, tetapi juga di rumah keluarga-keluarga lain yang memiliki anak gadis dan anak laki-laki yang telah tumbuh menjadi pemudi dan pemuda. 

Kiranya menjadi jelas bahwa pembagian dong di Ling Pati pada era Sani dilakukan berdasarkan alasan tradisional seperti telah dipaparkan di atas. Maka keliru jika ada yang mengatakan bahwa pembagian dong Ling Pati dilakukan berdasarkan  alasan bahwa Raga dan Boli itu berayahkan dua orang yang berbeda. Oleh lawan polemik saya, istilah dong rua telah dipolitisasi sedemikian rupa sehingga bisa mengacaukan pandangan orang tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Ling Pati pada masa itu.

Sebagai anak laki-laki sulung dan sesuai dengan tradisi adat setempat, Raga menempati Ling Pati, sehingga Ling Pati menjadi Rumah Induk Suku Ata Maran (Atamarang). Raga inilah yang meneruskan kepemimpinan Sani di Lewowerang-Lewoingu. Sehingga Ulu Wai’ pun diserahkan kepadanya oleh Sani. Seperti halnya Gresituli mempercayakan Ulu Wai’ kepada Dalu dan Sani, Sani pun mempercayakan Ulu Wai’ kepada Raga. Mustahil kekuatan semacam itu dialirkan dari bawah ke atas. Maka terjadi kekeliruan besar, jika penulis “Lango Limpati” mengatakan bahwa Ulu Wai’ itu diberikan oleh Boli kepada Raga.  

Setelah menikah dan setelah menjadi Kebele’eng Keleng, Boli membangun Manu Jagong sebagai Rumah Induk Suku Kebele’eng Keleng. Di kemudian hari, setelah terjadi kasus ketihe’, keturunan Boli memilih kembali ke Ling Pati. Sejak saat itu, dong di Ling Pati dibagi menjadi dua bagian, sebagian untuk Ata Maran dan sebagian lagi untuk Kebele’eng Keleng. Pembagian itu dilakukan berdasarkan alasan praktis, yaitu menyangkut pelaksanaan tugas dan peranan suku mereka dalam tatanan adat Lewowerang-Lewoingu. Sejak mereka kembali ke Ling Pati, Ling Pati dihuni oleh dua suku, dengan hak, tugas dan tanggung jawab masing-masing. Tetapi pembagian dong itu sama sekali tidak menghapus keberadaan Manu Jagong sebagai rumah induk suku mereka dan keberadaan Ling Pati sebagai rumah induk suku Ata Maran.

Tetapi lantaran Manu Jagong tidak lagi direkonstruksi, maka tak mengherankan bila di antara anak-anak muda mereka pun ada yang tidak mengetahui bahwa Manu Jagong sebagai rumah induk suku mereka. Secara sepihak ada di antara mereka yang mengkleim bahwa Ling Pati adalah hak milik eksklusif mereka. Tetapi kleim seperti yang dilakukan oleh Marsel Sani Kelen itu didasari alasan-alasan semu. ***

Rabu, 28 Oktober 2009

Seuntai kata yang menyesatkan

Oleh Rafael Raga Maran

 

Masih ingat untaian kata-kata ini, Nuhung teme tewong alo boleng boto, bukan?

Jelas masih ingat. Itu adalah ayat kesukaan dari si pendongeng itu ‘kan?

Ya, itu adalah ayat kesukaannya. Sebelumnya dia pernah menggunakan rangkaian kata-kata seperti ini, Nuhung teme tewong alo boleng bola.

Seorang pembaca eputobi.net pernah berkesan bahwa orang yang memunculkan kata-kata tersebut dan knutu knata lain dalam polemik sejarah Lewoingu terbilang orang yang punya pengetahuan yang cukup memadai tentang sejarah Lewoingu. Tetapi setelah mengetahui bahwa untaian kata-kata itu ternyata tidak cocok dengan realitas sejarah yang dengan mudah dapat direkonstruksi, dia baru menyadari bahwa penilaiannya terhadap pengguna ayat tersebut keliru.

Telah saya katakan bahwa nuhung teme tewong alo boleng boto adalah penyingkatan secara keliru oleh penulis “Lango Limpati” atas kata-kata Gresituli dalam menyikapi kasus Plating Lela. Yang dikatakan oleh Gresituli adalah kata-kata berikut ini,

Nuhung teme ka’ ke’ teme ka’, alo boleng boto ka’ ke’ boto ka’. Ile nele tawa keseka’ woka nele gere lere ka’. Opa huleng di burak bubuk, gowayeng di taki’ toloreng.

Rangkaian kata-kata tertera di atas menggambarkan keadaan Ile Hingang dan sekitarnya yang buruk, yang perlu diperbaiki dan dibarui. Keadaan tersebut menjadi buruk karena kenakalan Plating Lela. Plating Lela itu menikah dengan puteri Gresituli bernama Golu Waleng. Kenakalan Plating Lela, yaitu mengganggu isteri orang, jelas membuat Gresituli perlu mengambil sikap yang tegas terhadapnya.

Secara bebas kita dapat menerjemahkan rangkaian kata-kata itu sebagai berikut,

Mau tenggelam ya tenggelam, mau melayang ya melayang, supaya dia jangan menjadi besar (sombong), karena pagi dan petang ia menyemburkan malapetaka.

Malapetaka yang disemburkan oleh Plating Lela selama itu ialah kerusakan kehidupan rumah tangga, baik rumah tangganya sendiri maupun rumah tangga orang lain. Agar kehidupan rumah tangga orang lain lagi tidak dirusak, maka pelakunya perlu dihukum menurut hukum adat yang berlaku pada masa itu. Hendaklah diingat bahwa mengganggu isteri orang merupakan suatu kejahatan besar yang perlu diganjari dengan hukuman mati.

Dari Nuhung teme ka’ ke’ teme ka’ kita bisa mengetahui bahwa Gresituli pun menyadari bahwa pelaksanaan hukuman mati itu akan membawa penderitaan bagi Golu Waleng, puterinya yang diperisteri oleh Plating Lela. Tapi karena Plating Lela telah berulang kali melakukan kesalahan besar, maka hukuman mati itu mau tidak mau diterapkan, dan karena itu penderitaan itu pun mau tidak mau ditanggung oleh puterinya itu.

Konteks dan latar historis dari rangkaian kata-kata yang diucapkan oleh Gresituli itu jelas. Maka artinya pun menjadi jelas pula bagi kita. Tapi apa konteks dan arti dari nuhung teme tewong alo boleng boto yang menjadi ayat favorite dari penulis “Lango Limpati?” Jawabannya, “Tau ah…. gelap.”

Ya, dengan untaian kata-kata itu, penulis “Lango Limpati” berusaha menggelapkan pikiran pembaca agar mereka tidak terbuka pada realitas sejarah sesungguhnya, khususnya realitas sejarah yang berkaitan dengan Raga anak Sani dan Ling Pati. Dengan untaian kata-kata itu, penulis tersebut berusaha menyesatkan para pembaca yang selama ini kurang atau tidak melek sejarah Lewoingu. Dikatakan menyesatkan, karena dengan kata-kata tersebut dia melakukan kebohongan publik. Isi kebohongannya ada dua, yaitu Raga anak Hule dan Ling Pati adalah milik eksklusif Kebele’eng Kelen. Upaya penyesatan itu coba dia lengkapi dengan kata-kata tertera di bawah ini,

Dunia lera wulang latala tanah ekang
teti wang pulu pito lali wade pulu lema
teti esang leing lodo, lali sorong limang gere
lodo hau tobo tukang, gere haka pae bawa
denge koda baing khiring, denge umeng baeng lamak
Kuru Sani Sedu Doweng
maung Boli Duru Moko
Tobo pi Limpati dang pukeng
pae pi gawe rage kenawe matang
Gurung koon suku matang pulo kaeng
gawa koon wokole lema kae.

Rangkaian kata-kata tersebut dia sebut sebagai preambul gatak lango Limpati. Yang jadi pertanyaan ialah “Apa arti rangkaian kata-kata tersebut? Dan untuk apa kata-kata itu digunakan?”

Kiranya jelas bahwa penulis “Lango Limpati” tidak menyadari empat hal. Pertama, kata wade dalam teti wang pulu pito lali wade pulu lema itu tidak punya arti apa-apa. Penggunaan kata itu justeru mengacaukan arti baris tersebut. Lantas pas-kah penggunaan kata baeng dan maung dalam konteksnya yang seperti itu?

Kedua, penulis “Lango Limpati” pun lupa bahwa kata-kata,

Tobo pi Limpati dang pukeng
pae pi gawe rage kenawe matang

itu merupakan ajakan kepada para leluhurnya yang disebut namanya dalam dua baris sebelumnya untuk hadir dalam suatu acara yang dia maksudkan itu. Ini merupakan lanjutan atas ajakan atau undangan atas kehadiran Lera Wulang dan Tana Ekang dalam suatu acara yang digelar entah di Ling Pati, entah pada tempat lain.

Ketiga, penulis “Lango Limpati” tidak menyadari bahwa kata Tobo pi Limpati dang pukeng pae pi gawe rage kenawe matang menunjukkan bahwa rangkaian kata-kata tersebut merupakan tambahan yang diucapkan setelah suku Kebele’eng Keleng kembali ke Ling Pati karena kasus ketihe’ yang pernah saya singgung. Dengan demikian menjadi jelas bahwa rangkaian kata-kata itu tidak menunjukkan bahwa Ling Pati adalah milik eksklusif Kebele’eng Keleng.

Keempat, penulis “Lango Limpati” juga lupa bahwa tanpa Ata Maran, tak ada satu pun ahi leang (pesta) yang dapat diadakan di Ling Pati. Coba tanyakan kepada penulis “Lango Limpati”, ahi leang apa yang dapat dia dan saudara-saudara sesukunya dapat lakukan di Ling Pati tanpa Ata Maran? 

Apa yang disebut preambul gatak lango limpati itu merupakan campuran antara pembukaan dari Marang Mukeng tertentu dan bagian tertentu dari knutu knata dari suku Kebele’eng Keleng. Jika knutu knata itu diucapkan di Ling Pati, maka kata-kata Tobo pi Limpati dang pukeng pae pi gawe rage kenawe matang itu mereka tambahkan.

Bagi saya, rangkaian kata-kata tersebut gagal menunjukkan bahwa Ling Pati adalah milik eksklusif suku Kebele’eng Keleng. ***

Senin, 26 Oktober 2009

Dung Tana Pota Wato Pota Ile Hone Woka

Oleh Rafael Raga Maran

 

Judul di atas dikutip dari gata yang diucapkan oleh Gresituli setelah dia menemukan tempat yang dirasanya layak untuk dijadikan tempat tinggalnya yang permanen. Gata itu terdiri dari kata-kata yang berasal dari dua bahasa. Dung Tana itu berasal dari bahasa Jawa dum tana, yang secara harafiah berarti bagi tanah atau kebagian tanah. Berdasarkan studi yang kami lakukan, kami menemukan bahwa istilah dum ini diadopsi oleh orang Lamaholot tempo doeloe menjadi dung, yang berarti ikut serta atau bersama. Pengertian ini berkaitan dengan arti istilah dum dalam bahasa Jawa tersebut. Kita akan lihat bagaimana kaitannya dalam suatu alinea lain dalam tulisan ini.

Pota wato pota ile hone woka berasal dari bahasa Lamaholot, yang berarti dirikan batu tinggikan gunung dirikan bukit. Tapi yang perlu kita cari adalah arti simbolik yang berada di balik kata-kata tersebut. Rangkaian kata-kata itu merupakan cetusan rasa syukur dari dalam hati Gresituli setelah dia menemukan suatu tempat yang ideal untuk dijadikan tempat tinggal. Ya, di ile woka (gunung bukit) itulah Gresituli lantas membangun tempat tinggal yang kemudian berkembang menjadi suatu kampung.

Ile wokanya itu diberi nama Dung Tana. Nama itu ditandai dengan nubanara yang didirkan di muka rumahnya. Sekarang nubanara itu terletak di depan rumah suku Lewoleing. Ke nubanara itu persembahan  diantar. Hingga sekarang di antara keturunan Gresituli pun masih ada yang mengantar persembahan ke Dung Tana. Orang-orang Lewoingu yang tidak tahu sejarah penemuan ile woka itu oleh Gresituli tidak mengetahui adanya nubanara yang bernama Dung Tana itu.

Nubanara itu berfungsi sebagai altar persembahan bagi Yang Maha Kuasa yang telah memberi Gresituli dan keluarganya tempat yang layak dan aman untuk didiami. Maka di bukit itu pula rumahnya didirikan. Maka jadilah Dung Tana Pota Wato Pota Ile Hone Woka. Arti yang berada di balik untaian kata-kata indah dapat dijelaskan sebagai berikut,

Engkau telah dianugerahi tanah, maka dirikanlah di gunung itu altar syukurmu bagi Dia yang telah memberikan engkau tanah itu, dan dirikanlah pula di bukit itu rumah tempat kediaman yang aman bagimu.

Kiranya jelas bahwa Dung Tana Pota Wato Pota Ile Hone Woka memiliki makna yang sangat mendalam. Gresituli sangat menyadari bahwa ile woka itu milik Dia Yang Di Atas Sana, yang dianugerahkan kepadanya sebagai tempat yang aman baginya untuk didiami. Artinya pemilihan tempat itu sebagai tempat tinggalnya direstui oleh Yang Maha Kuasa. Apa yang dibutuhkannya selama ini kini dianugerahkan kepadanya dengan cuma-cuma.

Namun Gresituli juga menyadari bahwa dia hanyalah seorang pendatang baru di ile woka itu. Jauh sebelum kedatangannya ke situ, tanah itu sudah dianugerahkan kepada Subang Seng yang dijumpainya di situ. Dengan kata lain, ile woka itu milik Subang Seng. Dia tahu bahwa atas perkenan Subang Seng, maka dia dan keluarganya bisa ikut tinggal di situ bersamanya. Disadarinya juga bahwa perkenan semacam itu pun merupakan suatu anugerah dari Yang Maha Baik. Maka sejak saat itu dia pun menyadari dan berusaha agar kebaikan dari Yang Maha Baik melalui Subang itu perlu disyukuri, yaitu dengan mengajak keluarga-keluarga kenalan-kenalan dan sahabat-sahabatnya serta keluarga-keluarga atau suku-suku lain yang bermukim di dua’ dan ile woka sekitar untuk tinggal bersamanya di ile wokanya itu. Kebersamaan semacam itu diperlukan untuk menghadapi masalah dan tantangan real bersama. Dan masalah dan tantangan yang paling nyata pada masa itu adalah serangan musuh yang disebut Paji. Kebersamaan menjadi jaminan bagi terselenggaranya kehidupan yang aman, damai, sejahtera.

Kepada mereka yamg mau bergabung dengannya diberinya tanah untuk dijadikan tempat tinggal. Kepada mereka juga diberikan tanah untuk dijadikan sumber rejeki kehidupan sehari-hari. Tampak jelas di sini bahwa dung tana pun berarti bahwa sesamanya pun diberi kesempatan untuk ikut memiliki tanah sebagai sumber rejeki kehidupan sehari-hari mereka masing-masing. Tanpa memiliki tanah, seorang bisa hidup, tetapi terlantar. Maka tanah pun patut diberikan kepada mereka yang membutuhkannya. Kemurahan hati Gresituli itu terus dirawat hingga kini oleh suku Lewoleing, Doweng One’eng, dan Ata Maran.

Kemurahan hati dari Yang Maha Baik tersebut di atas menginspirasikan dia nama lewoingu bagi kampung yang didirikannya pada puncak ile wokanya itu. Lewoingu terdiri dari dua kata, yaitu kata lewo yang berasal dari bahasa Lamaholot, yang berarti kampung, dan kata ingu yang berasal dari bahasa Jawa, yang berarti pelihara, rawat. Di Lewoingu para warganya dapat menemukan tempat yang aman untuk merawat dan mengembangkan diri mereka sebagai manusia. Kiranya jelas bahwa pembangunan kampung itu murni berdasarkan suatu misi kemanusiaan yang disadarinya sebagai tugas panggilan hidupnya di dunia yang penuh dengan konflik berdarah itu.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dengan mudah melihat salah tafsir yang dilakukan oleh Donatus Doni Kumanireng atas Dung Tana Pota Wato Pota Ile Hone Woka. Baginya, kata-kata itu berkaitan dengan cara pembangunan rumah oleh Gresituli. Dikatakan bahwa “Dungtana adalah metode: tung tana pota wato (= latu wato tung tana).” Orang itu pun beranggapan bahwa sejak dulu hingga sekarang orang Lewoingu menggunakan metode itu untuk membangun rumah mereka.

Bahwa tafsir tersebut salah, itu nampak dari kenyataan bahwa yang dibangun Gresituli adalah rumah panggung, dengan tiang-tiangnya ditancapkan di tanah. Hingga kini model rumah panggung itu masih dipertahankan dalam pembangunan rumah suku Lewoleing dan Ata Maran di kampung lama. Untuk pembangunan rumah panggung tidak diperlukan apa yang disebut tung tana pota wato yang disamakannya dengan latu wato tung tana itu. Metode pembangunan rumah yang dia maksudkan itu baru muncul pada abad ke-20, dengan catatan bahwa hingga tahun 1960-an kita masih dengan mudah menemukan adanya rumah-rumah panggung di kawasan Lewoingu dan kampung-kampung sekitarnya.

Juga terjadi kekeliruan ketika Dung Tana Pota Wato Pota Ile Hone Woka dipasangkan dengan Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali, karena untaian kata-kata Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali itu digunakan hanya untuk menyebut nama-nama tempat dan merupakan tiruan dari gata raja Larantuka yang berbunyi Kota Sarabiti Gege Waihali. Dungbata berada di kampung Lewoingu. Sedangkan Sarabiti dan Waihali adalah nama tempat yang berada di luar kampung Lewoingu. Bahwa Dung Tana (Dungtana) berpasangan dengan Dumbata (Dungbata), itu ya. Tetapi sebagai gata dengan susunan kata masing-masing seperti tertera di atas, keduanya tak dapat dipasangkan, karena level maknanya tidak sama. Jika Dung Tana Pota Wato Pota Ile Hone Woka mempunyai arti yang sangat mendalam seperti telah dijelaskan di atas, Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali dipakai untuk menyebutkan bahwa Dungbata itu terletak di Lewoingu, tetapi jangan lupa bahwa di luar kampung itu ada Sarabiti (Wungung Kweng) dan Waihali (nama dua’ yang terletak tak jauh dari kampung Lewoingu. Disebut Waihali, karena dulu di situ terdapat air. Air yang muncul di situ disebut hali). Untaian kata-kata itu hanya ingin menekankan bahwa Sarabiti dan Waihali juga merupakan bagian dari Dungbata Lewoingu. 

Selanjutnya saya akan membuat sedikit catatan tentang latarbelakang penemuan ile woka tersebut. Penemuan ile woka tersebut bermula dari terbakarnya rumah Gresituli di Oring Penutu’ung. Oring Penutu’ung adalah rumah Gresituli setelah dia dan keluarganya berpindah dari Lewowato. Setelah mengalami musibah kebakaran itu, dia membangun suatu rumah tempat berteduh sementara. Karena Oring Penutu’ung dianggap tak layak huni lagi, maka Gresituli berusaha mencari tempat tinggal baru ke tempat yang lebih tinggi. Maka matanya pun memandang ke gunung bukit yang berada di atas sana.

Asap yang membubung ke atas dari ile woka tersebut mengundangnya naik ke atas untuk melihat siapa gerangan orang yang membuat apinya. Orang yang dijumpai Gresituli di atas sana adalah Subang Seng. Sebelumnya dia belum pernah bertemu dengan Subang Seng. Hanya Subang Seng yang dia jumpai di situ. Setelah mengetahui maksud kunjungan Gresituli ke situ, Subang Seng lalu memberi izin kepada Gresituli untuk memilih tempat yang kiranya layak untuk dijadikan tempat tinggal.

Setelah cukup lama tinggal di situ bersama Subang Seng barulah Gresituli mengumpulkan suku-suku yang tinggal di dua’ dan ile woka sekitar untuk tinggal bersama. Subang Seng tidak mempunyai keturunan. Gresituli dan keluarganya memandang dia sebagai anggota keluarga mereka.***

Sabtu, 24 Oktober 2009

Mengamati orientasi politik kontemporer oknum-oknum tertentu dari suku Kebele’eng Keleng

Oleh Rafael Raga Maran

 

Tulisan berjudul “Lango Limpati” pada dasarnya mempertegas suatu kecenderungan yang sedang berkembang dalam diri beberapa oknum suku Kebele’eng Keleng, yaitu kecenderungan untuk mengingkari sejarahnya sendiri. Kecenderungan ini nampak jelas dari keengganan mereka untuk mengakui Manu Jagong sebagai rumah induk suku mereka. Dengan menggunakan cara pikir yang terbalik, belakangan ini mereka gencar melakukan kleim sepihak tentang hak kepemilikan ekslusif mereka atas Ling Pati.

Kleim sepihak semacam itu didasarkan pada alasan yang tidak historis, yaitu Raga bukan anak Sani. Tuduhan bahwa Raga itu anak Hule tidak memiliki dasar historis apa pun, karena Hule lebih muda usianya daripada usia Raga. Kata-kata nuhung teme tewong alo’ boleng boto yang digunakan sebagai dasar kleim tersebut oleh penulis “Lango Limpati” tidak sesuai dengan kata-kata yang diucapkan oleh Gresituli dalam menyikapi kenakalan Plating Lela. Saya yakin, bahwa penulis “Lango Limpati” sendiri dan oknum-oknum suku Kebele’eng Keleng yang mendukungnya pun tidak tahu apa arti nuhung teme tewong alo boleng boto itu.

Kiranya jelas bahwa terjadi dua problem di situ. Problem pertama nampak dalam kenyataan bahwa apa yang bukan dasar dijadikan dasar untuk mengkleim hak kepemilikan eksklusif atas Ling Pati. Problem kedua nampak dalam penggunaan kata-kata nuhung teme tewong alo boleng boto itu tadi. Jika problem pertama terjadi karena kegagalannya dalam mengembangkan penalaran yang valid, problem kedua terjadi karena kurangnya pengetahuan penulisnya tentang koda kiring yang bersangkutan dan konteks penggunaannya dalam sejarah Lewoingu.

Problem lain pun nampak ketika penulis “Lango Limpati” mengulang pembicaraan tentang situasi di seputar pembangunan Koke Bale Lewowerang-Lewoingu. Dalam proses pembangunan Koke Bale itu peranan satu tokoh saja yang ditonjolkan. Peranan Raga dan tokoh-tokoh lain diabaikan. Padahal sejarah menuturkan kepada kita bahwa pembangunan Koke Bale Lewowerang-Lewoingu dilakukan berdasarkan hasil musyawarah. Berdasarkan musyawarah itu pula tanggung jawab atas tiang-tiang Koke Bale diberikan kepada masing-masing pihak (suku) terkait. Dalam proses itu, Raga dan tokoh-tokoh dari suku-suku lain pun terlibat aktif sejak awal hingga akhir. Keliru besar ketika penulis “Lango Limpati” mengulang dongeng yang pernah dimunculkan oleh Donatus Doni Kumanireng. Yang dimaksud adalah ceritera bahwa Raga ikut Doweng tinggal di Riang Kung. Isi ceritera ini ngawur, karena pada masa itu Riang Kung itu termasuk dalam kawasan duli pali (kebun). Yang terdapat di situ adalah kebun, bukan tempat tinggal.

Melalui musyawarah itu, nama Kesowari Bereamang pertama kali disebut sebagai penanggung jawab Rie Limang Wanang. Ini merupakan penghormatan terhadap ata ile jadi (penduduk asli) yang sebelumnya bermukim di dekat wato krong (batu kembar) di Ile Hingang. Dalam bingkai penghormatan itu pula, Buge diberikan satu tiang, Hule pun diberikan satu tiang. Karena Kesowari Bereamang pergi dan tak kembali, maka tanggung jawab atas Rie Limang Wanang itu diberikan kepada Boli. Terkait dengan Rie Limang Wanang, perlu diperhatikan bahwa Rie Limang Wanang (Tiang Kanan) itu simbol kebaikan, bukan simbol kepemimpinan, bukan simbol kekuasaan. Kebaikan itu yang dicita-citakan dan diusahakan terwujud oleh setiap masyarakat manusia. Orang yang diberi tanggung jawab atas Rie Limang Wanang diharapkan dapat membawa kebaikan bagi masyarakatnya. Kepemimpinan dan kekuasaan hanyalah sarana untuk mewujudkan kebaikan yang dicita-citakan itu. Tampak jelas bahwa dalam hal simbolisasi pun si penulis “Lango Limpati” melakukan kekeliruan.

Tanggung jawab atas tiang-tiang lain diberikan pula kepada suku-suku lain terkait, termasuk kepada Lamatukang, suku Ata Maran, dll. Pendek kata, delapan suku di Lewowerang memperoleh tanggung jawab atas delapan tiang Koke Bale itu berdasarkan pemberian, bukan berdasarkan pilihan sendiri-sendiri. Yang memberikan adalah lewo, melalui musyawarah suku-suku yang hadir dalam perembukan. Di dalam kenyataan, delapan tiang itu mempunyai tugas dan fungsi yang sama, yaitu menjadi pilar-pilar utama bagi tegaknya Koke Bale. Mereka adalah simbol dari suku-suku yang menjadi penyanggah utama bangunan sosialnya. Dalam konteks pembangunan Koke Bale, titik mulainya adalah Rie Limang Wanang. Itu yang baik menurut kepercayaan masyarakat yang bersangkutan. Tetapi tak ada arti Rie Limang Wanang kalau tak ada rie-rie (tiang-tiang) lainnya. Bukankah tiang yang satu mengandaikan adanya tiang-tiang yang lain. Tiang kanan itu  mengandaikan adanya tiang kiri.

Dalam urusan kepemimpinan, Rie Limang Wanang tidak menentukan. Maka kita pun tak pernah mendengar kata-kata begini, “Dia itu memegang posisi kanan dalam kepemimpinan di negaranya.” Formasi kepemimpinan adat di Lewowerang-Lewoingu mengikuti formasi Lamaholot, yaitu Koten Kelen Hurit Maran. Urutan penyebutan ini tidak berdasarkan tinggi rendahnya posisi dalam sistem kepemimpinan kolektif itu. Di masyarakat Lamaholot tertentu, Koten Kelen Hurit Maran itu berasal dari satu leluhur. Di Lewowerang-Lewoingu hanya Ata Maran dan Kebele’eng Kelen yang berasal dari satu leluhur. Sedangkan Lamatukang (Hurit) dan Kebele’eng Koten memiliki leluhur sendiri-sendiri. Dalam formasi kepemimpinan kolektif semacam itu tidak berlaku pandangan bahwa ada suku yang memegang posisi kanan.

Kiranya jelas bahwa tiap-tiap suku yang disebut suku wuku’ matang (utama) di Lewowerang-Lewoingu itu memperoleh tiang Koke Bale melalui proses pemberian. Musyawarah lewo (kampung) yang memberikan mereka masing-masing tiang itu. Pemberian itu mengandung arti tugas dan tanggung jawab moral dalam masyarakatnya. Maka sangat berlebihan komentar dari salah seorang oknum suku Kebele’eng Keleng yang mengatakan bahwa penggunaan kata pemberian Rie Limang Wanang kepada Boli ketika saya menulis tentang Rie Limang Wanang Koke Bale Lewowerang sebagai bentuk penginjak-injakkan harga diri suku Kebele’eng Keleng. Justeru sebaliknya yang terjadi yaitu harga diri dan martabat suku Ata Maran yang telah berulang kali diinjak-injak oleh oknum suku Kebele’eng Keleng seperti Marsel Sani Kelen itu. Aksi pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran yang dipimpin langsung oleh Mikhael Torangama Kelen merupakan bentuk penghinaan paling besar selama ini dari seorang oknum suku Kebele’eng Keleng terhadap suku Ata Maran. Bahkan dengan congkak oknum-oknum suku Kebele’eng Keleng tertentu itu pun mulai merancang dalam pikiran mereka konflik baru di kampung Eputobi. Kalau kalian merasa diri sebagai super power terus saja rancang konflik itu dan wujudkanlah sesuai dengan selera anda-anda di sana. Kalian kira, masyarakat Lewoingu akan membiarkan kalian untuk berbuat seenak perasaan kalian di sana.

Saya menghargai segala macam kebanggaan anda atas kehebatan Boli leluhur anda itu. Tetapi saya lebih menghargai kemampuan anda untuk belajar dan menghayati kearifan-kearifan Boli. Boli tidak pernah mengkleim bahwa Ling Pati adalah hak milik eksklusifnya. Sepanjang hayatnya dia tetap menjaga hubungan baik dengan Raga. Boli itu salah seorang pendekar perang, tetapi dia tidak pernah bersikap kasar apalagi membunuh sesama anggota keluarga seketurunan. Dia juga tidak berlaku kasar terhadap sesama sekampung.

Sebagai keturunan Boli, sebagai Kebele’eng, anda-anda mestinya merasa malu bahwa pada abad ke-20, muncul empat orang bapak kecil dari Mikhael Torangama Kelen yang membunuh bapak Biku Lein dan anaknya bernama Tube Lein, ketika mereka sedang tidur di pondok untuk menjaga kebun mereka yang terletak di bukit dekat Wai Rewo. Lalu pada abad ke-21, Mikhael Torangama Kelen memimpin aksi pembunuhan di malam hari atas Yoakim Gresituli Ata Maran ketika korban itu tidak berada dalam keadaan siaga untuk menghadapi ancaman bahaya nyata bagi dirinya. Kasus di bukit dekat Wai Rewo itu terjadi di saat kedua korban sedang tidur. Kasus Blou terjadi pada malam hari ketika korban sedang dalam perjalanan pulang dari Lato ke Eputobi. Dua tragedi kemanusiaan itu terjadi di malam hari. Para pelakunya datang seperti pencuri di malam hari. Setelah tahu bahwa tuan rumahnya tidur terlelap atau tidak terjaga, mereka masuk lalu mencuri nyawa yang punya rumah.

Setelah Bei Kelen, Keba Kelen, Sedu Kelen, dan Doweng Kelen ditangkap oleh polisi, ke mana isteri dan dua anak dari Bei Kelen mencari perlindungan? Jawabannya sangat jelas, ke lango’ watohong, yaitu ke rumah Bernardus Sani Ata Maran, keturunan Raga anak Sani anak Gresituli. Lalu di mana pula Bei Kelen dan tiga orang adiknya berlindung setelah mereka keluar dari rumah tahanan di Larantuka? Jawabannya sangat jelas, yaitu di lango’ watohong juga. Di rumah Bernardus Sani Ata Maran itu pula tinggal dalam waktu yang cukup lama ibu kandung dari Bei Kelen. Padahal Bei Kelen dan adik-adiknya itu masih punya saudara kandung di Eputobi (guru Pius Dalu Kelen) dan di Riang Duli (Koli Kelen). Di Eputobi juga masih terdapat keluarga-keluarga Kebele’eng Keleng yang lain. Mengapa rumah Bernardus Sani Ata Maran yang dijadikan tempat perlindungan? Saya harap anda dapat menjawabnya sendiri. Setelah meninggal, jenazah Bei Kelen pun dikuburkan di tanah milik Ata Maran. Mengapa jenazahnya tidak dikuburkan di pemakaman di Riang Duli? Atau mengapa jenazahnya itu tidak dikuburkan saja di tanah milik keluarga mereka? Yang jelas, selagi hidup dia dilindungi oleh Ata Maran, setelah mati pun tanah Ata Maran yang melindungi jenazahnya. 

Abad ke-20 pun menjadi saksi tentang perlindungan yang diberikan oleh Ata Maran kepada beberapa orang lain dari keluarga Kebele’eng Kelen yang nyawanya terancam melayang oleh kemarahan pihak tertentu. Salah satunya adalah Sepulo Kelen, orang tua dari Tobias Kelen. Padahal Sepulo Kelen itu berasal dari lapisan Kebele’eng Keleng Weruing. Karena dia tahu sejarah, maka ketika terjadi masalah dengan dirinya, dia pun berlindung di rumah Ata Maran. Dia tidak memilih berlindung di rumah keluarga Kebele’eng Keleng lain. Dan masih ada anggota-anggota lain dari suku Kebele’eng Kelen yang juga berlindung di rumah Ata Maran, tapi tak perlulah disebutkan satu per satu di sini.

Kenyataan sejarah semacam itu berkaitan langsung dengan posisi dan peranan khas Ata Maran dalam tatanan adat Lewowerang-Lewoingu. Maka para klake klama yang tahu ukularang (sejarah) suku-suku di Lewoingu pun merasa prihatin setelah mereka mengetahui adanya oknum-oknum tertentu dari suku Kebele’eng Keleng yang ikut-ikutan sibuk memutarbalikkan fakta-fakta sejarah yang berkaitan dengan Sani dan Kene, Raga, Ling Pati, dan Koke Bale. 

Yang jadi pertanyaan ialah mengapa muncul oknum-oknum tertentu dari generasi muda Kebele’eng Keleng kontemporer yang berulah aneh semacam itu? Jawabannya tidak bisa kita temukan dalam sejarah Lewoingu kuno. Jawabannya dengan mudah kita temukan dalam sejarah Lewoingu kontemporer yang sedang berproses, yaitu untuk mendukung pemeliharaan kepentingan kekuasaan politik kotor yang kini sedang dipertaruhkan di kampung Eputobi. Demi kepentingan kekuasaan politik kontemporer itulah, mereka pun berusaha sekuat tenaga untuk mengubah fakta-fakta sejarah masa lampau Lewowerang-Lewoingu, sampai-sampai mereka pun tidak lagi mengakui beberapa fakta yang berkaitan dengan sejarah suku mereka sendiri. Ini mereka perlukan sebagai alat legitimasi tradisional bagi keberlangsungan kekuasaan politik kontemporer tersebut. Dalam rangka itu, mereka gencar berkampanye bahwa mereka adalah Kebele’eng seakan-akan masyarakat Lewoingu selama ini tidak mengakui mereka sebagai Kebele’eng. Dalam kampanye murahan semacam itu, mereka pun berusaha menghapus posisi dan peranan khas Ata Maran dalam tatanan adat Lewowerang-Lewoingu.

Tetapi upaya mereka itu kini menjadi bahan tertawaan di seluruh jagat Lewoingu dan sekitarnya. Di lingkungan Kebele’eng Keleng sendiri pun timbul rasa prihatin setelah menyaksikan ulah orang seperti Marsel Sani Kelen itu. Keprihatinan itu disampaikan kepada saya juga. Makin lama semakin banyak orang di kawasan Lewoingu yang berkata begini, “Biar saja mereka itu sekarang berbuat seperti itu, toh mereka sendiri yang akan terkena akibatnya. Sejarah tak bisa diputarbalikkan.” ***

Jumat, 23 Oktober 2009

Rupanya ada Ling Pati versi imajiner

Oleh Rafael Raga Maran

 

Eh…. dia nongol lagi….?

Siapa dia?

Ya siapa lagi kalau bukan si pendongeng yang satu itu.

Kok baru sekarang dia nongol lagi? Ke mana saja dia selama ini?

Entahlah…. mungkin dia sibuk berselancar di dunia dongeng, atau mungkin karena dia bersibuk-sibuk saja. Entahlah….. Yang jelas, kali ini dia datang dengan ceritera tentang “Lango Limpati.”

Seperti apa ceriteranya?

Setelah saya membaca ceritera berjudul “Lango Limpati” dalam kolom sejarah di eputobi.net, saya berkesimpulan bahwa rupanya ada Ling Pati versi imajiner yang disebut Lango (Rumah) Limpati itu. Limpati imajiner itu yang selama ini dikleim oleh oknum-oknum suku Kebele’eng Keleng tertentu sebagai milik suku mereka. Ya, Limpati yang disinggung dalam tulisan tersebut berada dalam imajinasi penulisnya. Melalui ceritera fiktif itu, si penulis merepresentasikan suatu keinginan yang sudah lama terpendam dalam alam bawah sadarnya untuk menjadikan Ling Pati sebagai milik eksklusif sukunya.

Fiksi itu dibumbui-bumbui dengan koda kiring atau gata yang tidak jelas dari mana asal-usulnya. Gata yang dimaksud adalah Nuhung teme tewong alo boleng boto. Dia menempatkan gata tersebut dalam konteks tindakan asusila yang katanya dilakukan oleh Hule. Dia berceritera bahwa tindakan asusila Hule terhadap Kene itu melahirkan Raga. Baginya Raga itu anak Hule, Raga bukan anak Sani. Karena itu penulis “Lango Limpati” itu pun mati-matian beranggapan bahwa Raga itu bukan pemilik sah Ling Pati.

Tetapi sejarah Lewoingu tidak pernah berbicara seperti itu. Dari perspektif sejarah, Hule itu kelahiran Lewomuda, dekat Lamika. Selama tinggal di Lewoingu, Hule tidak melakukan tindakan asusila seperti yang dituduhkan kepadanya oleh penulis “Lango Limpati” itu. Dari segi usia, Hule itu lebih muda daripada Raga anak Sani. Kalau tuduhan itu benar, Hule sudah dihukum mati menurut hukum adat Lewoingu. Karena tidak melakukan perbuatan yang berkategori kejahatan, maka Hule pun memperoleh salah satu tiang di Koke Bale Lewowerang. Selain itu, Hule juga diberi tugas dalam upacara edeng.

Yang melakukan perbuatan berkategori asusila adalah Plating Lela, kakak kandung dari Metinara. Plating Lela menikah dengan anak perempuan Gresituli bernama Golu Waleng. Meskipun sudah beristeri, Plating Lela punya kebiasaan mengganggu isteri orang lain. Karena itu berdasarkan hukum adat Lewoingu Plating Lela dihukum mati, dengan cara diikat batu dilehernya lalu ditenggelamkan ke laut. Tetapi Plating Lela ternyata berhasil lolos dari jerat hukuman mati itu.

Menyikapi kasus Plating Lela itu Gresituli mengungkapkan kata-kata berikut ini,

Nuhung temeka’ ke’ temeka’, alo boleng botoka’ ke’ botoka’. Ile nele tawa kese’ka’ woka nele gere lere’ka’. Opa huleng di burak bubuk, gowayeng di taki’ toloreng.

Tampak jelas dalam fiksi yang dikemukakan oleh penulis “Lango Limpati” itu, bahwa kata-kata Gresituli tersebut disingkat secara keliru menjadi Nuhung teme tewong alo boleng boto. Kata-kata versi narasumber penulis “Lango Limpati” itu sama sekali tidak berbicara tentang tindakan asusila yang dilakukan Hule, karena Hule tidak pernah melakukan perbuatan tercela itu.

Kembalinya Marsel Sani Kelen ke panggung polemik sejarah Lewoingu disertai ambisi besar untuk membuktikan bahwa Raga itu bukan anak Sani. Tetapi sekali lagi kita menyaksikan kegagalannya. Ya, sejak pertama membicarakan hal itu, dia sudah menunjukkan kegagalannya. Dan kemunculannya kembali kali ini justru menggiring dia untuk jatuh ke jurang kegagalan yang kian sempurna. Risiko itu wajar diterima oleh seorang anak dari suku Kebele’eng Keleng seperti dia yang berusaha sekuat tenaga untuk memutarbalikkan fakta sejarah tentang Sani, Kene, Raga dan Boli.

Kalau anda ingin mengetahui sejarah perkawinan Sani dengan Kene, anda perlu mencari informasi dari pihak Lewoleing juga. Anda perlu ingat bahwa Kene itu anak puteri dari Doweng. Tokoh-tokoh Lewoleing tahu tentang sejarah perkawinan Sani dengan Kene tersebut. Tapi kalau anda memang terus ingin berdongeg, ya silahkan saja terus bedongeng berdasarkan apa-apa yang muncul dalam imajinasimu. 

Lantas anda pun perlu ingat bahwa di Lewowerang-Lewoingu pun terdapat Manu Jagong yang menjadi Lango’ Bele’eng (Rumah Induk) suku Kebele’eng Keleng. Rumah itu dibangun oleh Boli. Jangan karena anda asyik melakukan kleim hak kepemilikan eksklusif atas Ling Pati lalu anda lupa akan rumah sukumu sendiri. Lalu kalau anda mau menyusuri perjalanan sukumu setelah keluar dari Ling Pati, jangan lupa anda susuri pula kasus ketihe’ yang telah saya singgung itu. Kasus ketihe’ merupakan salah satu tahapan yang tidak boleh anda lupakan, karena tanpa kasus itu sukumu tidak kembali ke Ling Pati. Ketika kembali, siapa yang menerima sukumu di Ling Pati? Apakah ketika sukumu kembali ke sana, Ling Pati berada dalam keadaan kosong melompong tanpa penghuninya?

Kalau benar sukumu yang berhak secara eksklusif atas Ling Pati, coba jawab beberapa pertanyaan berikut ini: 1) Mengapa barang-barang pusakamu tidak ditemukan di Ling Pati?; 2) Upacara adat apa saja yang dapat dibuat oleh sukumu sendiri di Ling Pati?; 3) Ahi leang apa yang dapat anda selenggarakan sendiri di kampung lama (Lewookineng)?; 4) Dapatkah anda membuat sendiri upacara seba’ lirong di Ling Pati? 5) Dapatkah anda sendiri mengambil ilu’ dari Ling Pati untuk menyembuhkan orang sakit yang membutuhkan pertolongan? 6) Dll.

Sebagai tambahan hal berikut perlu saya ceriterakan. Karena sakit berat, beberapa waktu lalu, seorang mantan guru mengutus dua orang ke rumah seorang tokoh adat yang tinggal di bagian barat kampung Eputobi. Untuk apa? Si sakit meminta bantuan agar tokoh adat itu berkenan mengajak para pemuka adat untuk membuat upacara di di kampung lama demi kesembuhannya. Tetapi apa jawab tokoh adat yang dihubungi itu? Jawabnya begini, “Mengapa kamu tidak minta bantuan dari Mikhael Torangama Kelen saja untuk membuat upacara dimaksud itu di kampung lama? Selama ini kalian menjadi pendukung setianya. Mengapa kalau giliran susah baru kamu datang minta bantuan ke pihak kita?”

Mendengar itu, dua utusan itu pun mundur teratur tanpa membawa khabar baik bagi si sakit. Seandainya ada tokoh adat di luar Ata Maran dapat membawa tokoh-tokoh adat terkait lainnya ke kampung lama, tepatnya ke Ling Pati untuk memenuhi permintaan si sakit itu, tetapi jika tidak ada tokoh adat dari suku Ata Maran, maka upacara tersebut tidak dapat dilaksanakan. Soalnya, wewenang untuk itu ada di Ata Maran.

Di bagian akhir tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa kembalinya penulis “Lango Limpati” ke panggung polemik sejarah Lewoingu pada dasarnya tidak menghadirkan tantangan baru bagi saya. Dia hanya mengulang dongeng-dongeng lamanya. Dia hanya bergerak dari fiksi yang satu ke fiksi lain seraya membumbuinya dengan penggalan-penggalan gata versi narasumbernya. ***

Kamis, 22 Oktober 2009

Di mana letak Manu Jagong?

Oleh Rafael Raga Maran

 

Jika anda memperhatikan peta yang saya tampilkan dalam tulisan saya berjudul “Tata Kampung Lewoingu Tempo Doeloe,” anda dengan mudah melihat di mana letak Ling Pati dan di mana letak Manu Jagong. Ling Pati itu Lango’ Bele’eng (Rumah Induk) Suku Ata Maran. Manu Jagong itu Lango’ Bele’eng (Rumah Induk) Suku Kebele’eng Keleng.

Di dalam peta tersebut pun anda dengan mudah dapat melihat bahwa letak Manu Jagong itu dekat dengan Lango’ Bele’eng Suku Kumanireng Blikololong. Dengan demikian menjadi jelas pula bahwa Manu Jagong itu terletak di dalam area permukiman Lewowerang-Lewoingu. Komentator dari Madiun yang menulis di buku tamu www.eputobi.net itu keliru ketika dia mengira bahwa saya menempatkan Manu Jagong di luar area permukiman tersebut.

Setelah terjadi kasus ketihe’ Kebele’eng Keleng meninggalkan Manu Jagong, dan bergabung dengan Ata Maran di Ling Pati. Kembalinya Kebele’eng Kelen ke Ling Pati diterima dengan baik oleh Ata Maran. Kembalinya mereka ke Ling Pati itu membuat dong di rumah Ata Maran itu pun dibagi dua, sebagian untuk Ata Maran sebagian untuk Kebele’eng Kelen. Keliru jika ada yang mengatakan bahwa pembagian dong di Ling Pati itu dilakukan di masa Raga dan Boli tinggal bersama-sama di rumah itu.

Setelah pembagian tugas dan tanggungjawab sosial adat terlaksana dan setelah sistem suku di Lewoingu memiliki bentuk yang jelas atau setelah Boli memperoleh legitimasi menjadi Kebele’eng Kelen, dia membangun rumah sendiri, yang dikenal dengan Manu Jagong. Sebelumnya hal serupa itu berlaku di Lewoleing. Rumah yang dahulu dibangun Gresituli menjadi rumah Lewoleing. Dalam perjalanan sejarah, Dalu membangun rumahnya sendiri, yang dikenal dengan Lango’ Bele’eng Doweng One’eng. Sesuai dengan misi Gresituli, Sani kemudian membangun Ling Pati dan tinggallah dia di Lewowerang. Pada mulanya Doweng, Dalu, dan Sani tinggal bersama-sama di rumah orang tua mereka itu.

Setelah Boli menjadi Kebele’eng Keleng dan membangun Manu Jagong, dia sama sekali tidak membuat kleim sepihak bahwa dia mempunyai hak ekslusif atas Ling Pati. Tetapi dia tentu sadar betul bahwa dia dan keluarganya merupakan bagian dari keluarga Ling Pati. Maka hubungan kekeluargaannya dengan Raga dan keluarganya pun tetap terpelihara dengan baik hingga akhir hayatnya. Itulah salah satu kearifan Boli, yang tidak dihiraukan lagi oleh sebagian dari anak-anak muda Kebele’eng Keleng kontemporer.

Termasuk yang mereka tidak hiraukan adalah dua kenyataan berikut, yaitu bahwa Ling Pati itu rumah untuk kebaikan dan kedamaian, dan bahwa tanpa Ata Maran mustahil terlaksana upacara adat resmi apa pun di Ling Pati. Tanpa Ata Maran ahi leang (pesta raya) di Lewowerang pun tidak dapat dilaksanakan. Tanpa Ata Maran upacara yang disebut seba’ lirong (mencari penyebab terjadinya masalah seperti sakit) tidak dapat dilaksanakan. Posisi dan peranan Ata Maran dalam hal-hal tersebut dan dalam hal-hal lain yang tidak disebutkan di sini tidak dapat digantikan oleh suku lain mana pun di Lewowerang-Lewoingu.

Karena dimensi-dimensi sejarah yang demikian nyata itu tidak dihiraukan, maka si komentator dari Madiun itu pun mulai mampu mengeluarkan suara-suara yang aneh bagi kuping orang-orang yang tahu sejarah Lewoingu. Tetapi biarlah dia dan mereka yang sealiran beranehria dengan suara-suara mereka. Toh akan tiba saat bagi mereka sendiri untuk menuai “keanehan-keanehan” juga, karena sejarah mustahil dapat diputarbalikkan sesuka hati mereka. ***

Sabtu, 10 Oktober 2009

Marang Mukeng, dari Sani kepada Raga dan keturunannya, lalu kepada yang lain-lain

Oleh Rafael Raga Maran

 

Kepemimpinan Sani di Lewowerang-Lewoingu (Dumbata-Lewoingu) diteruskan oleh putera sulungnya bernama Raga. Karisma Sani dengan seluruh kekuatan Ulu Wai’-nya turun ke Raga. Maka Raga pun tampil sebagai seorang pemimpin yang sangat berwibawa. Kemampuan Marang Mukeng dari Sani pun tercopy seutuhnya ke Raga. Sebelum Koke Bale dibangun, Raga sudah menunjukkan kebolehannya dalam hal Marang Mukeng.

Marang itu doa agama asli masyarakat Lamaholot. Anak-anak laki-laki Gresituli, khususnya Dalu dan Sani pandai membawakan Marang dalam upacara seperti pembangunan rumah, pembukaan kebun baru, dll. Dalam perkembangannya, tokoh tertentu dari suku Lewolein pun bisa membawakan Marang.

Ketika Sani ditugaskan untuk melaksanakan misi kemanusiaan di Lewowerang, dia membawa serta kemampuannya dalam hal Marang Mukeng ke sana. Maka, selain sebagai pemimpin dia pun bertugas sebagai imam di Lewowerang. Maka Sani disebut juga Ata Marang, orang yang membawakan doa dalam agama asli masyarakat setempat. Dari Sani, kemampuan membawakan Marang diwariskan kepada Raga. Dan Raga adalah imam yang membawakan Marang Mukeng dalam upacara yang pertama kali digelar di Koke Bale Lewowerang-Lewoingu. 

Dari Raga, kemampuan membawakan Marang Mukeng diwariskan kepada anak laki-laki keturunannya. Baru pada era kepemimpinan Nuba anak Gena di Lewowerang-Lewoingu dan sesudahnya, wewenang untuk membawakan Marang Mukeng dibagikan pula kepada tokoh lain di luar suku Atamarang (Ata Maran). Pemberian wewenang itu disebut Gobo Pek. Pemberian wewenang itu dilakukan secara resmi melalui suatu upacara di Rumah Ata Maran, yaitu di Ling Pati. Bapak Bolo Kumanireng Blikololong adalah tokoh di luar Ata Maran yang pertama menerima wewenang tersebut. Kemudian wewenang itu diberikan pula kepada bapak Wadang Kumanireng Blikopukeng, lalu kepada bapak Kuku Beoang. Kemudian wewenang itu pun diberikan pula kepada bapak Geroda Kweng dan bapak Subang Kumanireng Blikopukeng yang biasa disebut Subang Likuwatangneng atau Subang Waha’ang. Beberapa tahun lalu, ada upaya dari orang tertentu dari suku tertentu untuk berusaha menyerobot dengan perhitungan dapat memperoleh wewenang tersebut dari pihak Ata Maran. Dia sempat naik ke dong di Ling Pati untuk tujuan tersebut. Tetapi jelas bahwa upayanya itu sia-sia. Sejak 2006, orang itu tampil sebagai salah satu pentolan perusak tata adat dan pengacau kampung halamannya sendiri. Dia juga terkenal sebagai salah seorang pembela setia para tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran.

Di luar lingkaran suku Ata Maran tersisa satu orang yang pernah mendapat wewenang untuk membawakan Marang Mukeng. Tetapi orang itu sudah terlalu tua untuk dapat membawakan Marang Mukeng dengan baik dan benar. Sementara itu di lingkungan Ata Maran terus tampil tokoh-tokoh yang dapat membawakan Marang Mukeng. Mereka antara lain bapak Eyeamang Ata Maran yang tinggal di Riang Wolor dan bapak Domi Ata Maran yang tinggal di Lewolaga. Kedua tokoh tersebut sudah menjadi almarhum. Pada masa sekarang ini, tampil bapak Doweng Ata Maran sebagai seorang pembawa Marang Mukeng yang hebat.

Dengan terjadinya kekacauan dan kejahatan besar di kampung Eputobi, pihak Ata Maran tidak akan lagi memberikan wewenang Marang Mukeng kepada orang-orang lain di luar suku Ata Maran. Langkah ini ditempuh untuk mencegah terjadinya politisasi Marang Mukeng oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. ***

Ling Pati dan Manu Jagong di Lewoingu

Oleh Rafael Raga Maran

 

Ling Pati adalah nama yang terbilang terkenal di Lewoingu. Itulah nama rumah Sani, putera ketiga Gresituli. Sani memang memerlukan sebuah rumah setelah dia mendapat tugas dari ayahnya untuk menjalankan misi kemanusiaan di Lewowerang. Tujuan utama penugasan Sani ke Lewowerang adalah menciptakan perdamaian dan persatuan bagi komunitas Lewowerang, yang selama itu sering dilanda pertikaian dan konflik. Untuk itu Sani memerlukan sebuah rumah yang berperan sebagai suatu oase perdamaian, persatuan, dan kebaikan. Oleh Gresituli rumah itu diberi nama Ling Pati.

Kita dengan mudah dapat membayangkan bahwa Gresituli dan kedua puteranya yang lain serta para tetangga mereka pun berpartisipasi aktif dalam pembangunan rumah yang diperuntukkan bagi Sani itu. Dan upacara adat dengan doa (Marang Mukeng) yang terkait dengan pembangunan rumah itu pun tentu dijalani. Ling Pati adalah rumah panggung, dengan empat tiang yang cukup tinggi sebagai pilar-pilar utama penopang keberadaannya. Ujung bawah keempat tiang itu ditancapkan cukup dalam ke tanah guna memperkokoh posisi rumah. Keempat tiangnya dibuat dari kayu terbaik agar tidak mudah keropos.

Di Ling Pati itulah Sani dan Kene tinggal. Di situ lahir Raga dan Boli serta dua orang saudari mereka, yaitu Geyong dan Yedo. Setelah menikah dengan orang Leworook, Geyong berpindah ke sana. Di kemudian hari, Yedo pun menyusul ke Leworook dan tinggal di sana. Raga dan Boli tinggal bersama di Ling Pati hingga masa pembangunan Koke Bale Lewowerang.

Setelah pembagian tugas dan tanggungjawab sosial adat, dan setelah sistem suku menemukan bentuknya yang jelas di Lewowerang, Boli membangun rumah yang dikenal dengan Manu Jagong, yang terletak di sebelah utara Ling Pati. Manu Jagong adalah rumah induk suku Kebele’eng Kelen. Sedangkan Ling Pati adalah rumah Induk suku Atamarang (Ata Maran). Jika kita berjalan masuk melalui Mada Lewowerang, maka dua rumah yang pertama kita jumpai adalah rumah suku Wungung Kweng di sebelah kiri jalan dan rumah suku Kumanireng Blikololong di sebelah kanan jalan. Setelah itu kita akan bertemu dengan Ling Pati di sebelah kiri jalan dan Manu Jagong di sebelah kanan jalan.

Di Manu Jagong keturunan Boli tinggal untuk masa yang cukup lama. Di situ mereka tinggal hingga tiba waktu terjadinya kasus ketihe’ (sejenis ulat yang dapat dimakan) di kebang arang (pondok) mereka yang terletak sedikit di luar bliko (benteng batu) yang melindungi kampung Lewoingu. Karena dirubungi oleh ketihe’ dalam jumlah sangat banyak, maka kebang arang mereka itu pun mau tidak mau dibakar guna menghalau serbuan ketihe’.

Kasus serbuan ketihe’ itu menimbulkan kepanikan dan kekhawatiran tersendiri bagi anggota-anggota keluarga Kebele’eng Kelen. Kasus tersebut membuat mereka meninggalkan Manu Jagong. Mereka kembali ke Ling Pati. Kembali ke Ling Pati berarti kembali ke rumah Ata Maran. Kembalinya mereka ke Ling Pati diterima dengan baik oleh Ata Maran. Kepada mereka diberi tempat yang layak. Maka dong di Ling Pati pun dibagi dua, sebagian untuk Ata Maran, sebagian untuk Kebele’eng Kelen. Setelah kembali ke Ling Pati, mereka tidak lagi mengurusi rumah mereka di Manu Jagong. Hingga kini, Manu Jagong tinggal nama.

Oknum-oknum suku Kebele’eng Kelen generasi kontemporer, yang kurang atau tidak tahu tentang perjalanan sejarah sukunya sendiri, dengan mudah mengkleim bahwa sukunya menjadi pemilik sah Ling Pati. Oknum suku Kebele’eng Kelen sebangsa Marselinus Sani Kelen bahkan berusaha menghapus hak otentik Ata Maran atas Ling Pati berdasarkan alasan yang tidak sesuai dengan fakta-fakta sejarah. Upaya verbalnya itu tampak selaras dengan upaya praktis yang dilakukan oleh kakak-kakaknya di kampung Eputobi, seperti Ditu Kelen dan Mikhael Torangama Kelen dkk yang belakangan ini berkasak-kusuk untuk menyerobot urusan-urusan di Ling Pati.

Kini pihak Ata Maran coba menyaksikan saja dulu, sampai di mana orang-orang yang tidak tahu diri itu, termasuk si kepala komplotan pembunuh salah satu putera keturunan dari Ling Pati itu mampu merecoki urusan-urusan di rumah tersebut. Tapi anda harus ingat bahwa akan tiba saat di mana tata tertib adat istiadat perlu ditegakkan kembali secara nyata agar rumah Ling Pati tidak ternoda oleh tangan-tangan yang berlumuran darah orang yang tidak bersalah itu.***

Sabtu, 03 Oktober 2009

Tata Kampung Lewoingu Tempo Doeloe

Oleh Rafael Raga Maran

peta

Gambar di atas dirancang secara sederhana untuk merekonstruksi tata kampung Lewoingu yang terdiri dari Lewolein (Dungtana) dan Lewowerang (Dumbata) pasca pembangunan Koke Bale, ketika di Lewolein dibangun enam rumah, dan di Lewowerang  dibangun delapan rumah. Kampung Lewoingu itu dilindungi dengan benteng batu, yang dibangun pada era kepemimpinan Gresituli. Benteng batu itu dirancang untuk memberikan perlindungan bagi warga Lewoingu dari serangan musuh.

Selanjutnya kita perlu melihat bagaimana Lewoingu ditata. Kita mulai dengan melihat tata Lewolein (Lewoleing) atau Dungtana. Di situ dibangun enam rumah dan satu Koke. Di dekat pintu masuk (Mada) dari arah Selatan terletak rumah Wulogening dan Lewoanging. Sedikit ke utara dari kedua rumah tersebut terletak rumah Sanione’eng. Lalu di sebelah timurnya terletak rumah Lewolein dan rumah Doweng One’eng. Tak jauh dari kedua rumah itu dibangun Koke. Koke itu terletak di bagian Utara dari Lewolein atau di tengah Lewoingu.

Di seberang Koke Lewolein terletak Lewowerang atau Dumbata. Di Lewowerang dibangun delapan rumah dan satu Koke Bale. Pintu masuk keluar (Mada) Lewowerang berada di sebelah Timur. Tak jauh dari pintu  itu terletak rumah Wungung Kweng dan rumah Kumanireng Blikololong. Di sebelah Barat rumah Wungung Kweng terletak Ling Pati (rumah Ata Maran), rumah yang dibangun oleh Sani, anak laki-laki ketiga dari Gresituli. Ling Pati adalah nama yang diberikan oleh Gresituli untuk rumah Sani itu. Di sebelah Utara Ling Pati terdapat Manu Jagong, rumah Kebele’eng Kelen. Manu Jagong itu didirikan setelah Kebele’eng Kelen keluar dari Ling Pati dengan membawa serta barang-barang pusaka mereka. Setelah mengalami kasus ketihe’ Kebele’eng Kelen kembali ke Ling Pati. Kembalinya mereka ke Ling Pati membuat dong di Ling Pati dibagi dua. Sebagian untuk Ata Maran, sebagian lagi untuk Kebele’eng Kelen.

Di sisi Utara Lewowerang berjejer empat rumah dari Barat ke Timur, yaitu rumah Kebele’eng Koten, rumah Lewohayong, rumah Ama Lubur, dan rumah Lamatukan. Di sebelah Selatan dari keempat rumah itu dibangun Koke Bale Lewowerang. Pelataran yang terletak di antara Koke Bale Lewowerang dan Koke Lewolein disebut Namang.

Situasi kampung Lewoingu seperti tampak dalam gambar di atas berbeda dengan situasi pada masa pra-pembangunan Koke Lewolein dan Koke Bale Lewowerang, juga berbeda dengan situasi setelah kedatangan kelompok Keroko’ Pukeng dll. Pada era kepemimpinan Gresituli kedua Koke tersebut belum dibangun. Yang dibangun Gresituli adalah sebuah rumah pertemuan yang terdiri dari empat tiang. Tiang-tiang itu dibagi-bagi di antara Gresituli, Muking dari Lewotobi yang terletak di kaki gunung Lewotobi, Subang Seng, Lewokukung Lewahe. Lalu rumah Ling Pati pun belum dikenal sebelum Gresituli mengutus Sani untuk menjalankan misi kemanusiaan di Lewowerang. Sebelum Ling Pati dibangun, Sani tinggal di rumah orang tuanya di Lewolein. ***

Jumat, 02 Oktober 2009

Raga Itu Anak Kandung Sani

Oleh Rafael Raga Maran

 

Terjadi kebohongan dan fitnah besar ketika Donatus Doni Kumanireng mengatakan bahwa sebelum menikah dengan Sani, Kene sudah dihamili oleh Hule. Dengan penuh semangat, dia berkampanye bahwa Raga itu anak Hule. Kebohongan dan fitnah itu pun disebarkan oleh salah seorang “murid kesayangannya” bernama Marselinus Sani Kelen. Melalui beberapa tulisannya, si “murid kesayangannya itu” secara sengit membela pendapat bahwa Raga itu anak Hule. Secara terang-terangan dia pernah mengatakan bahwa Raga itu anak hasil perselingkuhan. Tetapi pernyataan mereka tentang Raga itu tidak didukung dengan argumen-argumen yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. 

Hingga kini kedua orang itu belum juga mampu membuktikan bahwa Raga itu anak Hule. Memang mustahil bagi mereka untuk dapat membuktikannya. Dikatakan mustahil, karena mereka tidak memiliki data-data historis yang dapat diandalkan. Isi kampanye mereka tentang Raga itu bertentangan dengan data-data sejarah yang dapat dihimpun dari berbagai sumber tradisi lisan yang terdapat di Lewoingu.

Melalui tulisan ini, saya sekali lagi ingin menegaskan bahwa Raga itu anak kandung Sani. Raga itu lahir dari rahim Kene yang secara resmi menikah dengan Sani. Pernikahan Sani dengan Kene itu sama sekali tidak berkaitan dengan apa yang oleh Marselinus Sani Kelen disebut prahara itu. Pernikahan Sani dengan Kene terjadi sebelum seseorang bernama Hule itu muncul di Lewowerang-Lewoingu. Hule itu kelahiran Lewomuda, dekat Lamika. Ayah Hule adalah Metinara. Ibu Hule berasal dari suku Hera di Lewomuda.

Dalam hitungan generasi, Hule itu berada di bawah generasi Sani. Dari segi usia, Hule itu lebih muda daripada Raga. Dalam pembagian tugas untuk upacara adat di Koke Bale Lewowerang-Lewoingu, Hule diserahi tugas memegang tali yang diikat pada leher, bagian kepala hewan korban. Dari tugasnya itu dia disebut Hule Kebele’eng Koten.  

Hule kemudian terlibat aktif dalam perang melawan Paji. Dalam perjalanan perang melawan Paji dia terdampar di Lomblen (Lembata). Dia kemudian menetap di sana. Dari Hule inilah lahir suku Kotan di sana. Hingga kini anggota-anggota suku Kotan menyadari bahwa leluhur mereka itu berasal dari Lewoingu. Maka mereka pun memiliki kedekatan batin dengan saudara-saudara mereka dari Lewoingu.

Selama berada di Lewoingu, Hule tidak menimbulkan prahara apa pun. Ayah Hule bernama Metinara pun tidak menimbulkan prahara. Yang sempat berulah buruk adalah salah seorang kakak dari Metinara bernama Plating Lela. Plating Lela menikah dengan salah seorang puteri Gresituli bernama Goluwaleng. Meskipun sudah menikah, Plating Lela sempat mengganggu isteri orang. Perbuatan mengganggu isteri orang itu sering dia lakukan di malam hari dengan sasaran yang berbeda. Dua orang yang ketahuan diganggunya adalah Tanalema dan Watogae. Maka kepadanya dikenakan sanksi adat berupa hukuman mati. Tetapi hukuman mati itu gagal dilaksanakan. Setelah berhasil lolos dari jerat hukuman mati, Plating Lela tidak tinggal di Lewoingu. Karena tak kuat menanggung rasa malu dia sempat bersembunyi di Newa Gelara’ang di Etang Wolo. Dari situ dia pindah ke Lewokluo dan tinggal di sana hingga ajal datang menjemputnya. Dari pernikahannya dengan Goluwaleng lahir Liting Boleng dan Waleng Pihok. Meskipun Plating Lela gagal dihukum mati, Goluwaleng berpisah dengan suaminya itu. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, Goluwaleng bersama Liting Boleng, dan seorang anak dalam rahimnya diungsikan ke Lewokung.

Hule mempunyai seorang kakak bernama Buge, dan dua orang adik bernama Blawa dan Bura. Buge menurunkan Amalubur. Hule menurunkan Kebele’eng Koten. Empat bersaudara itu disebut Buge Hule Blawa Bura. Keturunan Hule di Lewoingu antara lain bapak Koli Koten dan bapak Pius Keluang Koten.

Sebelum Hule lahir, Raga sudah lahir. Jadi jelas bahwa pernyataan bahwa Raga itu anak Hule merupakan suatu omong kosong besar dalam pembicaraan tentang sejarah Lewoingu. Omong kosong besar semacam itu disebarluaskan oleh Donatus Doni Kumanireng dan salah seorang “murid kesayangannya” bernama Marselinus Sani Kelen. Ketika berbicara tentang Raga, orang bernama Marselinus Sani Kelen itu hanya menduplikasi pernyataan-pernyataan “gurunya” itu. Karena berpegang teguh pada ajaran sesat “gurunya” si murid yang satu ini pun tidak segan-segan menghina dan memfitnah leluhurnya sendiri. *** 

Puteri-puteri Gresituli

Oleh Rafael Raga Maran

 

Selain memiliki tiga orang anak laki-laki, yaitu Doweng, Dalu, dan Sani, Gresituli juga memiliki beberapa anak puteri. Dari perkawinannya dengan Ktopiwoli dari Lewokaha, lahir pula tiga orang anak puteri, yaitu Yaleng, Goluwaleng, dan Watobabu. Dari perkawinannya dengan Nogo Gunung dari Lewokoli, lahir pula dua orang anak puteri, yaitu Yawa Lepang dan Waituang. Jadi Doweng mempunyai tiga orang saudari, Sani mempunyai dua orang saudari.

Yaleng menikah dengan Laba, seorang pria Paji dari Lewokaha yang terletak di daerah yang menjadi milik Lewotobi, yang terletak dekat Tuakepa. Sebagai belis Yaleng, Gresituli memperoleh tanah Kayobahi Bele’eng (Etang Kayobahi Bele’eng).

Goluwaleng menikah dengan Plating Lela, kakak dari Metinara. Perkawinan Goluwaleng dengan Plating Lela itu diungkap dalam kata-kata, Boang budi rae Ile Hingang Liting Boleng, woka lota tarang pito. Dari perkawinan dengan Plating Lela, Goluwaleng melahirkan seorang anak laki-laki bernama Liting Boleng dan seorang anak perempuan bernama Waleng Pihok. Karena ulahnya yang tak terpuji, Pelating Lela sempat dikenai hukuman mati, namun dia akhirnya lolos dari jerat hukuman mati itu. Tetapi karena tak kuat menanggung rasa malu, Pelating Lela sempat menyembunyikan diri di Newa Gelaraang di Etang Wolo. Dari situ dia pindah ke Lewokluo dan tinggal di sana hingga ajal datang menjemputnya.

Bagaimana nasib Golu Waleng setelah Pelating Lela gagal dihukum mati lalu meninggalkan Lewoingu? Golu Waleng terpaksa berpisah dengan Pelating Lela. Anak puteri Gresituli itu kemudian diungsikan ke Lewokung bersama anaknya yang masih kecil, yaitu Liting Boleng. Ketika itu dia pun sedang mengandung seorang anak. Anak yang dikandungnya itu lahir di Lewokung dan diberi nama Waleng Pihok. Setelah menjadi pemuda, Liting Boleng kembali ke Lewoingu. Di lewoingu dia meninggal dalam usia masih muda. Sedangkan ibunya dan saudarinya tetap tinggal di Lewokung hingga ajal datang menjemput mereka.

Di Lewokung Waleng Pihok menikah dengan Sadi Bau dan melahirkan empat orang anak, yaitu Soge, Sai, Raga, dan Gureng. Setelah Waleng Pihok mati dibunuh oleh Sadi Bau, Liting Boleng menuntut pembagian anak yang lahir dari rahim Waleng Pihok. Berdasarkan kesepakatannya dengan Sadi Bau, Liting Boleng membawa Soge dan Sai ke Lewoingu.

Lantas dengan siapa Watobabu menikah? Dia menikah dengan seorang Paji Wolomeang. Dari pernikahan ini, Gresituli memperoleh tanah (Etang) Umariang.

Dari perkawinan Gresituli dengan Nogo Gunung, lahir pula dua anak puteri, yaitu Yawa Lepang dan Waituang. Yawa Lepang menikah dengan seorang pria dari Lamika (Ruma Sina Kada Yawa). Dari pernikahan ini, Gresituli di kemudian hari memperoleh bantuan tenaga untuk menumpas Paji Lamawulo. Sebagai balas jasa, tanah bekas milik Paji Lamawulo di bagi dua. Sebagian untuk Gresituli, sebagian untuk orang Lamika.

Waituang menikah dengan seorang pria Paji dari Lewokoli bernama Baga. Baga yang menikah dengan Waituang itu bukan saudara kandung dari Nogo Gunung.

Yang perlu diperhatikan ialah bahwa perkawinan Goluwaleng dengan Plating Lela terjadi setelah Gresituli dan keluarganya tinggal di Dung Tana-Lewoingu. Sedangkan perkawinan Yaleng, Watobabu, Yawa Lepang, dan Waituang terjadi sebelum terjadi aksi Tekung Paji (perang melawan Paji) di daerah itu. Dengan perkataan lain, perkawinan mereka itu terjadi di masa damai, ketika masih terjalin relasi yang baik antara keluarga Gresituli dan keluarga-keluarga Paji setempat. Relasi yang baik itu mungkin terjalin dan terbina sebelum berkobarnya perang melawan Paji. Mustahil perkawinan tersebut terjadi setelah meletus perang Demong melawan Paji.

Perang Gresituli melawan Paji Lewokoli mulai dikobarkan ketika dia dan keluarganya tinggal di Lewowato. Salah satu yang jadi korban adalah Baga, saudara dari Nogo Gunung. Sare, adik dari Baga, yang berusaha mencari di mana kakaknya itu berada, setelah menghilang dari Lewokoli, menemukan sendiri di mana jenazah Baga berada. Penemuan jenazah kakaknya itu menimbulkan rasa ngeri dalam dirinya. Dan sejak saat itu hubungan kekeluargaan Lewokoli dengan Gresituli dan keluarganya putus total. Selanjutnya terjadi aksi penumpasan Paji oleh Gresituli dan berbagai kekuatan pendukungnya.

Yang juga perlu diperhatikan ialah bahwa di masa damai tersebut di atas, di Lewohari bermukim Watangpao dan keluarganya yang terbilang dalam kelompok Paji. Setelah mulai merebak aksi penumpasan Paji oleh pihak Demong setempat, barulah Watangpao dan keluarganya meninggalkan Lewohari. Maka menjadi jelas pula bahwa perkawinan beberapa puteri Gresituli dengan pria dari kalangan Paji itu mengindikasikan bahwa kedatangan Gresituli ke Lewokoli dan keputusannya untuk tinggal di situ terjadi pada masa yang lebih awal daripada masa yang selama ini diperkirakan oleh beberapa pihak di Lewoingu. ***