Minggu, 26 Juli 2009

Tentang Rie Limang Wanang Koke Bale Lewowerang-Lewoingu

Catatan untuk seorang oknum dari Suku Kebeleng Kelen bernama Marselinus Sani Kelen

Oleh Rafael Raga Maran

 

Sebelum komunitas Dumbata-Lewoingu (Lewowerang-Lewoingu) membangun Koke Balenya, komunitas Dungtana (Lewolein-Lewoingu) sudah membangun Koke-nya. Sesuai dengan adat kebiasaan sebuah Koke (Korke), jumlah tiangnya 6 (enam), yang melambangkan persatuan atau kebersamaan yang serasi dalam komunitas itu. Masing-masing tiang itu ditanggung oleh Lewolein, Doweng One’eng, Mukin, Wulogening, Useng Hule, dan Lewoanging. Karena meninggal, maka tiang untuk Useng Hule disebut rie ape’ mateng (tiang tanpa api=tiang tanpa pemiliknya lagi).

Menarik bahwa di komunitas Dungtana, sejak dahulu kala hingga kini, orang tak mempersoalkan Rie Limang Wanang (Tiang Kanan). Ketika saya berdiskusi dengan beberapa narasumber di daerah Lamaholot Demong Pagong di luar Lewoingu, saya juga menemukan hal yang sama: orang tidak bicara soal itu. Dalam riset-riset yang dilakukan oleh beberapa misionaris tempo doeloe pun soal itu tidak disinggung.

Dalam perjalanan sejarah Lewoingu, khususnya dalam perjalanan sejarah Lewowerang-Lewoingu atau Dumbata-Lewoingu sejak dahulu hingga akhir awal abad ke-21 pun hal itu tidak diungkit-ungkit. Tetapi akhir-akhir ini, seorang oknum dari suku Kebele’eng Kelen mengungkit-ungkitnya dan menjadikannya sebagai sarana untuk meremehkan pihak lain, khususnya untuk meremehkan Raga dan keturunannya.  Maka dari itu, sedikit diskusi tentang Rie Limang Wanang di Koke Bale komunitas Dumbata-Lewoingu itu diperlukan agar pikiran kita diperkaya dengan wawasan-wawasan historis.

Kiranya perlu diperhatikan sekali lagi bahwa yang dibangun oleh komunitas Lewowerang-Lewoingu (Dumbata-Lewoingu) adalah Bale. Disebut Bale, karena jumlah tiangnya 8 (delapan). Secara praktis, Bale memang lebih cocok dengan kebutuhan masyarakat Dumbata-Lewoingu. Soalnya, masyarakat tersebut terdiri lebih dari enam kelompok sosial. Apa yang aslinya disebut Bale itu kemudian disebut juga Koke Bale.

Tentu saja seluruh proses pembangunan Koke Bale tersebut dilakukan melalui proses musyawarah mufakat dalam suasana yang tenang dan damai. Pembagian tiang-tiang pun dilakukan dalam suasana semacam itu. Dalam musyawarah awal disepakati bahwa Kebele’eng Koten sebagai Ile Jadi memperoleh dua tiang, dengan catatan Kesowari Bereamang, sebagai wruing (yang sulung) memperoleh Rie Limang Wanang. Amalubur memperoleh satu tiang. Ata Maran memperoleh satu tiang. Lamatukan memperoleh satu tiang. Wungung Kweng memperoleh satu tiang, Lewohayong memperoleh satu tiang, dan Kumanireng Belikololong memperoleh satu tiang.

Lantas kapan Kebele’eng Kelen memperoleh Rie Limang Wanang (Tiang Kanan)? Jawabannya sangat jelas, yaitu setelah Kesowari Bereamang dari Kebele’eng Koten Wruing meninggal. Karena tidak ada keturunannya yang menggantikannya, maka melalui proses adat, Rie Limang Wanang itu dialihkan kepada Kebele’eng Kelen.

Lantas siapa yang memimpin musyawarah pembagian tiang-tiang itu? Untuk menjawabnya, coba anda tanyakan sendiri kepada orang-orang tua dari suku Kumanireng Blikololong yang tahu perjalanan sejarah mereka sendiri. Tanyakan kepada mereka itu, dari manakah mereka memperoleh tiang di Koke Bale Lewowerang-Lewoingu (Dumbata-Lewoingu)?

Itulah konteks yang memungkinkan orang bicara bahwa mulanya ada 7 (suku), walaupun sebenarnya ada delapan suku. Pembicaraan tentang 7 (tujuh) suku seperti yang pernah ditayangkan oleh situs web tertentu itu jelas out of context. Demikian pula halnya dengan upaya oknum tertentu dari suku Kebele’eng Kelen yang akhir-akhir ini begitu sibuknya bicara tentang Rie Limang Wanang di Koke Bale Dumbata-Lewoingu itu. ***

Jumat, 24 Juli 2009

Koko Ulu Mado, Bale Lele Bala


Oleh Rafael Raga Maran

Judul di atas saya kutip dari tulisan yang tertera pada sebuah tembok di jalan masuk ke pelataran Koke Bale Lewotala di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Kata Koko yang tertera di situ sama artinya dengan kata Koke. Begitu kata bapak Boli Liwu, yang pada suatu siang terik di suatu hari di bulan Agustus 2008 itu bersedia memandu saya untuk melihat-lihat Koke Bale tersebut. Ulu Mado Lele Bala adalah nama Koke Bale.

Kata-kata itu mengingatkan saya akan kata-kata yang digunakan dalam Marang Mukeng versi Lewowerang-Lewoingu (Dumbata-Lewoingu). Dalam suatu Marang Mukeng disebutkan begini, “…… pakeng ro’ Ulu Mado Leleng Bala.” Di situ Ulu Mado Leleng Bala disebut sebanyak tiga kali. Di Dumbata-Lewoingu, kata lele kadang diucapkan dengan leleng. Ada pula pembawa Marang yang mengucapkan kata ulu dengan ulung. Ini tak jadi soal. Yang perlu kita ketahui ialah bahwa masyarakat Dumbata-Lewoingu pun menamakan Koke Balenya Ulu Mado Lele Bala.

Apa arti Ulu Mado Lele Bala? Artinya, Tempat Kediaman Abadi. Kata Ulu Mado dapat diartikan pula sebagai Pelindung. Kata Lele Bala dapat diartikan pula sebagai Penjaga. Dikatakan Tempat Kediaman Abadi, karena Koke Bale adalah tempat tinggal Lera Wulan sebagai Ibu Pelindung dan Tana Ekan sebagai Bapa Penjaga. Koke Bale adalah tempat tinggal yang megah abadi, yang menghimpun semua anak cucu. Tempat Tinggal Abadi itu berukuran tujuh depa dan lima hasta. Koke Bale adalah lumbung utama bagi masyarakat yang bersangkutan.

Sebagai Tempat Tinggal Abadi yang melindungi dan menjaga setiap warga yang bersangkutan, pembangunan Koke Bale dilakukan melalui persiapan yang baik dan matang dalam suasana tenang dan damai. Keributan sekecil apa pun, kemarahan atau kedongkolan sekecil apa pun yang terdapat di dalam diri mereka yang membangunnya akan menjadi hambatan bagi keberhasilan pembangunan Koke Bale. Syarat semacam ini tidak hanya berlaku di masyarakat Lamaholot di luar Lewoingu, tetapi berlaku pula di Lewoingu termasuk di Dumbata. Syarat lainnya ialah bahwa bahan-bahan yang diperlukan untuk membangun Koke Bale sebagai rumah bersama itu ditanggung secara gotong royong. Tidak hanya satu orang yang mempersiapkan bahan-bahannya. Soalnya jelas. Pembangunan Koke Bale itu dilakukan melalui proses musyawarah-mufakat. Di dalam proses itu disepakati siapa menanggung apa. Pendek kata, pembangunan Koke Bale dilakukan melalui gotong royong.

Maka pernyataan Marselinus Sani Kelen bahwa “adanya Koke Dungbata adalah sikap pemberontakan Boli terhadap penyimpangan yang terjadi dalam rumah sendiri” merupakan pernyataan yang mengada-mengada. Apalagi dikatakannya pula bahwa Boli pun mendapat hambatan dari orang tua dan saudaranya sendiri. Menurut adat istiadat Lamaholot, orang yang melawan orangtua dan saudaranya sendiri, apalagi yang bermusuhan terhadap orang tua dan saudaranya sendiri meskipun hanya secara terselubung tidak berhasil dalam melakukan sesuatu yang baik bagi Lewotana. Pembangunan Koke Bale adalah suatu urusan yang lebih bersifat sakral ketimbang profan. Maka pekerjaan semacam itu pun hanya dapat dilakukan secara bersama-sama oleh orang-orang yang berhati bersih. Maka pekerjaan itu pun tak dapat dilakukan oleh orang yang bermusuhan dengan orang tua dan saudaranya.

Dan benarkah seorang Boli menanggung sendiri semua bahan atau material untuk pembangunan Koke Bale Dumbata? Apakah dalam persiapan itu, tokoh-tokoh lain termasuk Raga hanya tahu beres? Dan untuk apa dalam urusan itu Raga harus mencucurkan air matanya? Penggunaan kata-kata “Go toking laba waha rona ruba hala, go teta bapaang, go belo kakang” sama sekali tidak menggambarkan adanya perlawanan apalagi permusuhan Boli dengan orang tua dan saudaranya itu.

Perlu diperhatikan bahwa pembangunan Koke Bale sebagai Tempat Tinggal Abadi haruslah berdasarkan restu Ema Lera Wulan Bapa Tana Ekan. Agar restu itu diperoleh segala persyaratan spiritual dan material perlu dipenuhi. Tak boleh ada yang kurang. Salah satu syarat penting adalah relasi dengan Lera Wulan Tana Ekan perlu dipelihara terus menerus dengan baik. Melalui apa? Melalui persembahan korban. Korban itu tidak hanya darah dan tengkorak binatang seperti kambing, tetapi juga darah dan tengkorak manusia. Ini terjadi dalam budaya Lamaholot.

Jika ada kayu-kayu yang ketika dipasang satu sama lain dan ternyata tidak cocok (ruba hala’) itu berarti masih ada yang kurang. Di komunitas tertentu dalam lingkup budaya Lamaholot, ketidakcocokan tersebut ditafsirkan sebagai kekurangan kurban darah dan tengkorak manusia bagi Lera Wulan Tanah Ekan. Menurut pandangan masyarakat yang bersangkutan, Lera Wulan Tanah Ekan tidak hanya bertindak sebagai Pelindung dan Penjaga manusia tetapi juga sebagai penuntut darah dan tengkorak manusia. Karena itu kekurangan itu pun perlu dipenuhi. Dan untuk itu pihak pembangun Koke Bale akan pergi untuk berburu kepada manusia. Jika yang membangun Koke Bale adalah Demon, maka yang diburu adalah kepala orang Paji untuk dipersembahkan kepada Lera Wulan Tana Ekan. Ini terjadi tempo doeloe.

Kiranya jelas, dalam konteks apa kata-kata tertera di atas digunakan. Tidak masuk akal jika kata-kata itu digunakan Boli sebagai ancaman terhadap orang dalam rumah sendiri. Suasana tegang semacam itu justru perlu dihindari demi keberhasilan pembangunan Koke Bale. Demi itu pula, ketenangan dan kedamaian di kampung yang bersangkutan harus betul-betul dijaga.

Lalu perhatikan pula penggunaan kata Gena gelek Raga wanga. Yang terdapat dalam Marang Mukeng adalah …. Gena gere Raga wanga. Kata gelek itu tidak ditemukan baik dalam gata maupun dalam Marang Mukeng. Kata-kata ini - Gena gere Raga wanga - diucapkan dalam Marang Mukeng, yang merupakan bagian dari suatu rangkaian yang berbunyi, Subang mukeng manu Marang, Gena gere Raga Wanga, mamung Boli, Duru Moko, Puru, Sani, Sedu, Doweng. Dalam konteks lain disebutkan, Ling Pati gawi Raga, Gena gere Raga marang. Dalam Marang Mukeng tidak dikenal kata maung. Yang dikenal adalah kata mamung. Memang ada kata maung dalam bahasa Lamaholot yang digunakan di Lewoingu. Tetapi penggunaan kata maung dalam onteks itu tadi tidak klop. Jika dalam upacara adat di Lewoingu, orang bilang belo witi maung, itu berarti witi (kambing) yang dikorbankan dalam upacara itu bukan sembarang kambing, tetapi khusus atau kambing utama yang dipersiapkan untuk dijadikan hewan korban dalam suatu upacara adat dengan suatu liturgi yang cukup panjang. Witi maung (kambing khusus) itu yang dipenggal lehernya oleh Hurit (Lamatukan).

Tidak ada maksud lain dari penyebutan nama-nama itu tadi dalam Marang Mukeng, selain sebagai ungkapan tentang kebersamaan dalam mewujudkan suatu tatanan hidup bersama yang baik, termasuk dalam rangka pembangunan Koke Bale Dumbata-Lewoingu.

Jika anda menempatkan kata-kata tersebut sesuai dengan konteksnya, dan jika anda tidak keliru menafsirkannya, maka anda dapat melihat bahwa pernyataan bahwa pembagian dong di rumah Lingpati berdasarkan alasan seperti yang dikemukakan oleh Marselinus Sani Kelen itu merupakan suatu permainan imajiner subjektif belaka. Itu adalah hasil tafsir subjektif yang out of context. ***

Sabtu, 18 Juli 2009

Sani, Raga dan Boli

Oleh Rafael Raga Maran

 

Konflik yang terjadi di Lewowerang (Dumbata) tidak disebabkan oleh perginya Metinara dan kelompoknya dari tempat tinggal mereka di Ile Hinga (Ile Hingang), tetapi karena antara pihak yang satu dan pihak lain yang pada waktu itu mulai bermukim di Lewowerang belum terjadi kecocokan satu sama lain. Maklum, sebelumnya mereka hidup terpisah-pisah satu dari yang lain. Untuk merealisasikan suatu bentuk kehidupan bersama yang harmonis diperlukan seorang pemimpin yang kharismatis. Pemimpin yang kharismatis itu adalah Sani, putra bungsu Gresituli.

Berbekalkan Ulu Wai’ yang diberikan oleh Gresituli, Sani berhasil menyejukkan suasana panas di Lewowerang. Bara api konflik dipadamkannya satu per satu. Kebersamaan dan harmoni sosial dirajutnya hari demi hari. Sejarah tidak menuturkan ketidaksanggupan Sani dalam menjalankan misi kemanusiaannya di Lewowerang-Lewoingu. Pendek kata, Sani berhasil menjalankan misi kemanusiaan itu. Dan itulah sebabnya, dia pun menjadi Raya Pertama bagi Lewowerang-Lewoingu (Dumbata-Lewoingu). Tanpa Sani, kekacauan di Lewowerang akan terus berlanjut. Jika Sani tidak berhasil memadamkannya, kekacauan itu dapat mengancam keamanan Lewoingu.

Sani itu pula yang merintis suatu model kepemimpinan kolektif, yaitu kepemimpinan para Kebele’eng (Kabelen) di Lewowerang-Lewoingu. Model kepemimpinan ini dibangun berdasarkan proses musyawarah-mufakat. Di kemudian hari, model kepemimpinan ini menemukan bentuknya yang lebih jelas dalam proses pembangunan Koke Bale Dumbata-Lewoingu.

Duduk dalam jajaran pimpinan Dumbata-Lewoingu adalah tokoh-tokoh dari suku-suku yang disebut wuku’ matang lewo tana. Di Lewowerang terdapat 8 (delapan) suku wuku’ matang-lewo tana, yaitu Ata Maran, Kebele’eng Koten, Kebele’eng Kelen, Lamatukan, Amalubur, Wungung Kweng, Lewohayong, dan Kumanireng Blikololong. Selain delapan suku tersebut terdapat suku-suku lain, yang karena datang belakangan di Lewowerang-Lewoingu, maka mereka itu tidak dapat dimasukkan ke dalam grup wuku’ matang lewo tana itu. Suku-suku dimaksud adalah Lewohayong Witiwareng, Wungung Padung, Wungung Kehule, Lewoema Lere’eng (Suku Emar), Sogemaking, Lamamanuk, Wungung Beoang, dan Kumanireng Blikopukeng. Lalu masih terdapat dua suku yang ikut bergabung dengan Dumbata-Lewoingu, yaitu Bentu (Betu) dan Kelasa.

Dalam hal kepemimpinan, tongkat kepemimpinan Sani kemudian dialihkan ke Raga. Mengapa ke Raga, bukan kepada yang lain? Karena, Raga adalah putra sulung Sani. Ini sesuai dengan model kepemimpinan tradisional Lamaholot. Ikut diwariskan kepada Raga adalah kekuatan yang disebut Ulu Wai’. Dari situlah Ulu Wai’ kemudian mengalir dan menjiwai hidup suku Ata Maran dari generasi ke generasi hingga kini. Di Lewoingu, selain Ata Maran, Doweng One’eng pun mewarisi Ulu Wai’. Perlu dicatat bahwa Gresituli memberikan Ulu Wai’ itu kepada Dalu dan Sani. Dari Sani, Ulu Wai’ itu diwariskan kepada Raga.

Berkat Ulu Wai’ itulah pihak Ata Maran, sejak zaman kuno hingga kini mampu menyelamatkan nyawa sejumlah orang dari ancaman pembunuhan. Sebagai contoh, setelah Bei Kelen, Sedu-Doweng Kelen, dan Keba Kelen membunuh bapak Biku Lein dan anaknya bernama Tube Lein, isteri Bei Kelen dan dua orang anak mereka yang masih kecil (Marni Kelen dan Toni Kelen) pun mengungsi ke rumah Bernardus Sani Ata Maran untuk berlindung. Setelah keluar dari bui, Bei Kelen dan adik-adiknya itu pun tinggal di rumah Bernardus Sani Ata Maran. Anak ketiga dari Bei Kelen, bernama Esmi Kelen, lahir di rumah Bernardus Sani Ata Maran. Ikut tinggal di rumah Bernardus Sani Ata Maran adalah ibu kandung dari Bei Kelen.

Dengan tinggal di rumah Ata Maran, mereka terlindung dari ancaman pembunuhan. Setelah ancaman tersebut mereda dan keadaan dianggap aman barulah mereka meninggalkan rumah Ata Maran untuk selanjutnya menekuni jalan hidup mereka masing-masing. Setelah meninggalkan rumah Ata Maran, Bei Kelen dan Keba Kelen memilih tinggal di luar wilayah Lewoingu. Sedangkan Sedu-Doweng Kelen tinggal di Riang Duli.

Lantas bagaimana dengan Boli? Boli adalah adik kandung Raga. Raga dan Boli adalah anak kandung Sani dan Kene. Sebagai adik kandung, Boli tentu saja mendukung sepenuhnya posisi Raga sebagai pemimpin tertinggi adat Lewowerang-Lewoingu. Dalam tatanan adat Lewoingu, khususnya menyangkut edeng (upacara penyembelihan binatang korban), Raga bertugas sebagai pemimpin Marang-Mukeng (pemimpin doa), Boli bertugas sebagai pemegang tali yang diikatkan pada bagian tengah perut binatang korban. Ujung tali yang dipegangnya ditarik ke arah ekor. Dari situlah nama Kebele’eng Kelen berasal. Orang yang memegang tali yang diikatkan pada leher binatang korban dan yang ujungnya ditarik ke arah kepala disebut Kebele’eng Koten. Orang dari suku Lamatukan bertugas sebagai pemotong leher binatang korban. Mengikuti formasi Lamaholot Demong Pagong, suku Lamatukan disebut juga suku Hurit. Maka di Lewoingu dikenal juga Koten, Kelen, Hurit, Maran. Empat suku lain yang termasuk wuku’ matang lewo tana tentu terlibat aktif pula dalam upacara tersebut melalui pelaksanaan tugas-tugas tertentu.

Jika dalam “Sejarah Lewoingu adalah sejarah Boli,” Marselinus Sani Kelen mengatakan bahwa hasil perkawinan Sani dan Kene melahirkan Boli, maka kepadanya dapat diajukan pertanyaan ini, Raga itu lahir dari perkawinan siapa dengan siapa? Selain itu, dia juga mengatakan bahwa ….. Sani tidak cukup kuat untuk mengambil peran ini, maka ia memberikan kewenangan itu kepada Boli sebagai anak kandungnya. Yang dia maksud dengan kewenangan adalah pota ile hone woka. Jika Boli anak kandung Sani, yang jadi pertanyaan ialah, Raga anak kandung siapa?

Mudah-mudahan penulis “Sejarah Lewoingu adalah sejarah Boli” memiliki jawaban jitu atas pertanyaan tersebut. ***

Selasa, 07 Juli 2009

Prahara apa itu?

Oleh Rafael Raga Maran



Pertanyaan di atas muncul setelah saya membaca "Sejarah Lewoingu adalah sejarah Boli" yang ditulis oleh Marselinus Sani Kelen. Dalam artikelnya tersebut kata "prahara" dipadankan dengan kata "masalah." Tetapi apa persis masalahnya tidak dia jelaskan secara gamblang. Dia hanya mengatakan begini,


"Ketika Sani anak Gresituli bertumbuh menjadi keropong mamung, ada masalah yang melanda keluarga besar Gresituli……………"


Lantas dia juga mengatakan,


"Fenomena ini telah menyebabkan konflik horizontal yang menyebabkan kelompok Metinara kopong todo meninggalkan kampung halamannya di ile hingang."


Selain itu dia juga menulis begini,


"Prahara yang menimpa keluarga Gresituli karena perilaku Metinara harus diselamatkan, maka Sani atas saran orangtuanya menikahi keponakannya sendiri yaitu Kene, anak Doweng."


Tidak dijelaskannya apa yang dilakukan oleh Metinara sehingga terjadi konflik horizontal. Tidak dijelaskan pula apa kaitan dari perilaku Metinara dengan perkawinan Sani dengan Kene. Jika perilaku Metinara yang menjadi pemicu konflik horizontal, mengapa konflik tersebut terjadi di Lewowerang dan melibatkan keluarga-keluarga lain di luar kelompok Metinara? Jika perilaku Metinara dikaitkan dengan perkawinan Sani dengan Kene, maka konflik mestinya terjadi antara keluarga besar Gresituli dan kelompok Metinara. Sejarah tidak menuturkan adanya konflik dimaksud. Yang terjadi di Lewowerang pada masa itu adalah konflik atau keributan demi keributan di antara mereka yang bermukim di situ, karena belum terwujud kesalingcocokan di antara mereka.


Keributan demi keributan itu ikut dikipas-kipasi oleh suasana perang melawan sisa-sisa Paji yang masih berusaha untuk kembali berkuasa di daerah sekitar yang telah mereka tinggalkan. Dalam suasana perang semacam itu bangkit pula orang-orang tertentu di Lewowerang untuk saling membusung dada. Tak mengherankan bila suasana hidup di Lewowerang menjadi panas dan lebih panas dari hari ke hari. Suasana semacam ini tentu membahayakan keamanan dan kedamaian hidup di Lewoingu. Maka Gresituli mengutus anaknya bernama Sani untuk menciptakan suasana damai di Lewowerang. Dan misi itu berhasil dijalankan oleh Sani.


Jika benar terjadi konflik antara keluarga Gresituli dan keluarga Metinara, mungkinkah Sani diutus oleh ayahnya untuk mewujudkan perdamaian dan kebaikan bagi komunitas Dumbata? Apalagi penulis "Sejarah Lewoingu adalah sejarah Boli" juga mengatakan bahwa kampung halaman kelompok Metinara terletak di Ile Hingang. Jika kelompok Metinara meninggalkan kampung halamannya itu, maka sejarah Kebele'eng Koten dan Amalubur menjadi lain ceriteranya. Anda perlu perhatikan bahwa dari Metinara lahir suku Kebele'eng Koten dan Amalubur, dua suku yang ikut menjadi wuku' matang di Lewowerang (Dumbata). Benarkah kelompok Metinara melarikan diri ke Lewokung dan Lewomuda dekat Lamika?


Kiranya perlu dicatat di sini bahwa beberapa anggota keluarga suku Koten di Eputobi itu berasal dari Lewokung. Hal ini dibenarkan oleh seorang tokoh di Lewokung bernama Domi Kelen. Tetapi tidak setiap keluarga Kebele'eng Koten di Eputobi berasal dari Lewokung, melainkan berasal dari Metinara yang tidak melarikan diri ke mana-mana. Dari Lewokung saya sama sekali tidak memperoleh ceritera tentang adanya kelompok Metinara yang melarikan diri ke situ. Dari bapak Domi Kelen pula saya mengetahui bahwa ada juga anggota suku Kumanireng di Eputobi yang berasal dari Lewokung. Hal ini dibenarkan oleh seorang ibu bernama Maria Jawa Kumanireng, ketika saya mendiskusikan hal tersebut dengan bapak Domi Kelen. Ibu Maria Jawa Kumanireng sendiri berceritera kepada saya, bahwa dia bersaudara dengan Wadang Kumanireng yang di Eputobi itu.


Ceritera tentang Metinara dan kelompoknya seperti yang dilansir oleh Marselinus Sani Kelen itu rasanya tidak klop dengan jumlah tiang Koke Bale Lewowerang (Dumbata). Jika benar Koke Bale Lewowerang pada awalnya berjumlah 7 (tujuh) tiang, maka jumlah tiangnya sekarang seharusnya 9 (sembilan), bukan 8 (delapan). Soalnya jelas. Dari kelompok Metinara lahir dua suku, yaitu Kebele'eng Koten dan Amalubur. Di dalam kenyataan, jumlah tiang Koke Bale Lewowerang adalah 8 (delapan), yang melambang delapan suku wuku' matang yang bersepakat untuk membangun kehidupan bersama dalam suasana aman dan damai. Jumlah tiang itu sudah berlaku sejak awal pembangunan Koke Bale tersebut.


Dalam tradisi budaya Lamaholot, kita tidak menemukan adanya Koke Bale dengan jumlah tiang 7 (tujuh) dulu baru di kemudian hari digenapkan menjadi 8 (delapan). Perlu anda perhatikan bahwa jumlah tiang Koke Bale itu harus sesuai dengan tradisi adat yang berlaku di Lamaholot. Tiang-tiang itu harus berpasangan menjadi ue' matang untuk menjadi penyanggah yang kokoh bagi rumah bersama itu. Tiang dengan jumlah ganjil bagi sebuah rumah bersama yang dipandang sakral itu merupakan pemali besar dalam tradisi budaya Lamaholot. Jika tradisi adat jumlah tiang Koke Bale itu tidak diperhatikan, maka jumlah tiang Koke Bale Lewowerang bisa ditambah-tambah lagi guna memberi tempat bagi suku-suku yang datang lebih kemudian ke Lewoingu.


Hal yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa pota ile hone woka itu adalah gata dari Gresituli, yang lengkapnya berbunyi Dungtana pota wato pota ile hone woka. Gata ini diucapkan Gresituli ketika dia berhasil menemukan tempat yang aman untuk dijadikan tempat permukiman. Gata itu tidak terkait dengan Metinara yang oleh penulis "Sejarah Lewoingu adalah sejarah Boli" dipandang menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal itu. (Bersambung)