Kamis, 27 Agustus 2009

Menyikapi deburan gelombang ngawurisme dalam “JUJURLAH MENJADI DIRI SENDIRI”

Catatan untuk Marselinus Sani Kelen

Bagian terakhir dari dua tulisan

Oleh Rafael Raga Maran

 

Jika proses inventarisasi ngawurisme dilanjutkan, maka dengan mudah pula kita menemukan contoh lain dari ngawurisme dalam artikel berjudul “JUJURLAH MENJADI DIRI SENDIRI.” Dalam menanggapi ceritera saya tentang adik Gresituli bernama Keropong Ema, dia menggunakan istilah anonim untuk mengacu pada Keropong Ema. Ini aneh, karena istilah anonim itu berarti tidak bernama, orang yang namanya tidak diketahui oleh orang lain.

Kiranya jelas bahwa Keropong Ema adalah nama dari adik Gresituli. Kalau penulis artikel tersebut di atas tidak mampu membuka diri terhadap kenyataan keberadaan Keropong Ema, itu karena dia matian-matian mau membela dongeng tentang penemuan seorang bayi di tempat yang kemudian diberi nama Tana Beto itu. Tradisi lisan menyebutkan bahwa ceritera tentang adanya Keropong Ema itu berasal dari Gresituli sendiri. Ceritera itu kemudian diwariskan kepada anak-anaknya, kemudian kepada keturunannya selanjutnya dari generasi yang satu ke generasi yang lain hingga ke era kontemporer ini.

Kehadiran Keropong Ema itu historis. Karena Marselinus Sani Kelen nekad mempertahankan dongengnya, dan karena itu dia pun menilai orang lain berdongeng tentang perjalanan Gresituli dari tanah Jawa yang melibatkan Keropong Ema itu, maka dia pun perlu ditantang untuk membuat riset ke Hewa, tepatnya ke Wai’ Ula’ agar dia sendiri tidak terus-menerus asbun alias asal bunyi dalam hal ini, dan agar terjamin objektivitas isi ceritera tersebut. Dalam studi ilmiah, objektivitas itu dicapai melalui suatu proses dialogal, hasil kesepakatan para subjek yang berkompetensi dalam bidangnya. Kompetensi tersebut tidak akan anda miliki, jika anda mengandalkan dongengmu itu dan memujanya sebagai realitas historis. 

Jika yang bersangkutan menutup diri terhadap adanya tokoh bernama Keropong Ema, itu terserah dia. Tetapi membantah fakta sejarah tentang adanya Keropong Ema, itu merupakan suatu kekeliruan serius. Bantahan berdasarkan tidak adanya pengetahuan tentang tokoh yang bersangkutan mengindikasikan adanya kesesatan dalam pikiran si pembantah. Kesesatan semacam itu dapat diatasi, jika dia berusaha mempertebal modal pengetahuannya tentang sejarah yang terkait dengan tokoh pendiri Lewoingu itu, yaitu Gresituli. Untuk itu anda pun perlu membuat riset mandiri.

Selain mempertajam modal pengetahuan tentang sejarah Lewoingu, seseorang yang bersemangat menggebu menjadi pakar sejarah Lewoingu pun perlu mempertajam daya kritis rasionalnya. Dengan daya kritis yang tajam, dia akan mampu membedakan mana yang disebut dongeng, mana yang disebut sejarah, mana yang palsu dan mana yang bukan palsu, mana yang disebut premis dan mana yang bukan premis, mana yang dikatakan oleh orang lain dan yang mana dikatakan oleh dirinya sendiri, dan sebagainya.

Kalau ada yang mengatakan “gatak tidak dapat diartikan” sebagai premis pertama, dan “modiamu’ung kae… dst” sebagai premis kedua, itu namanya sembrono. Itu salah satu tanda bahwa orang yang bersangkutan tidak punya daya kritis rasional. Perlu diketahui bahwa kata premis itu berasal dari bahasa Latin praemissae, yang berarti titik pangkal atau titik tolak. Titik pangkal bagi apa? Titik pangkal bagi conclusio alias kesimpulan. Kesimpulan seperti apa yang dapat anda tarik dari kedua susunan kata tersebut? 

Yang baru saya singgung itu problem penalaran alias jalan pikiran alias proses berpikir. Dalam menyikapi urusan-urusan semacam ini, kecerdasan kita ikut ditantang. Kita ditantang untuk benalar secara logis. Suatu penalaran disebut logis, jika ia valid dan benar. Dengan perkataan lain, suatu penalaran disebut logis, jika ia benar secara formal dan benar secara material. Jika kebenaran formalnya ditentukan oleh kesesuaian hubungan antara kesimpulannya dengan premis-premisnya, kebenaran materialnya ditentukan oleh kesesuaian proposisi-proposisinya dengan fakta.

Tanggapan saya atas tulisan berjudul “JUJURLAH MENJADI DIRI SENDIRI” cukup sampai di sini. Dalam tulisan tersebut masih terdapat hal-hal lain yang dapat ditanggapi secara kritis, tetapi hal itu tidak perlu saya lakukan, karena sebagian dari persoalannya serupa dengan persoalan yang telah disinggung di atas. Sebagiannya lagi merupakan keluh kesahnya tentang peristiwa tertentu yang dianggapnya terjadi tetapi tidak dapat dibuktikannya. Sebagiannya lagi merupakan peristiwa yang sudah terjadi, tetapi dia ingin membongkarnya kembali dan menuntut pertanggungjawaban dari orang atau pihak yang tidak perlu dimintai pertanggungjawabannya.

Tuntutan semacam itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang berambisi untuk mengubah masa lampau agar klop dengan selera pribadinya. Tuntutan semacam itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang tidak tahu lagi status sosial dan perannya dalam konteks kehidupan sosial budaya di Lewoingu. Pergeseran dari tujuan semula mencari kebenaran rasional, ke tuntutan semacam itu mengindikasikan bahwa yang bersangkutan semakin tidak tahu lagi untuk apa dia terlibat dalam diskusi sejarah Lewoingu. Dalam hal ini, bukan hanya kecerdasannya yang ditantang tetapi kejujuran pada dirinya sendiri juga ditantang.***

Rabu, 26 Agustus 2009

Menyikapi deburan gelombang ngawurisme dalam “JUJURLAH MENJADI DIRI SENDIRI”

Catatan khusus untuk Marselinus Sani Kelen

Bagian pertama dari dua tulisan

Oleh Rafael Raga Maran

 

Setelah membaca tulisan Marselinus Sani Kelen berjudul “JUJURLAH MENJADI DIRI SENDIRI” saya memutuskan untuk menanggapinya dengan judul seperti tertera di atas. Soalnya, dalam tulisannya kali ini pun dia mendeburkan lagi gelombang ngawurismenya. Bahkan kian nyata konsistensi ngawurismenya. Apa yang akan anda tuai, jika anda tak henti-hentinya menabur ngawurisme dalam setiap tulisan anda tentang sejarah Lewoingu? Anda tentu dapat menjawab sendiri pertanyaan ini. Kebenaran apa yang dapat anda tunai jika anda hanya bisa bicara dan bicara tanpa memberikan bukti-bukti yang meyakinkan?

Bagi saya, jika seseorang secara konsisten mendeburkan ngawurismenya, itu tentu ada sebab musababnya. Dua sebab yang sudah terdeteksi  ialah 1) tipisnya modal pengetahuan tentang sejarah Lewoingu, dan 2) kebiasaannya untuk tidak teliti dalam membaca tulisan-tulisan saya.

Tipisnya modal pengetahuan tersebut membuat dia lagi-lagi secara ngawur 1) membantah kenyataan bahwa Gresituli, pendiri Lewoingu, itu berasal dari tanah Jawa; 2) menilai bahwa Raga itu anak Hule. Tanggapan saya atas kedua hal ini sudah saya kemukakan, dan tak perlu saya menanggapinya lagi di sini. Apalagi hingga kini, Marselinus Sani Kelen belum mampu membuktikan bahwa bantahan dan penilaiannya tersebut benar adanya. Dia pun gagal untuk membuktikan bahwa Boli adalah titik awal sejarah Lewoingu. Kekurangmampuannya itu ingin dikompensasi dengan mengemukakan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan upayanya untuk mempertahankan tesis-tesisnya itu. 

Tetapi dalam mengemukakan hal-hal lain dimaksud pun, lagi-lagi dia terjebak dalam ngawurisme. Ngawurismenya itu nampak antara lain dalam ceriteranya tentang sejarah pengadaan instalasi air bersih untuk desa Lewoingu dan beberapa desa lain di sekitarnya. Dia berceritera bahwa Pastor Van Den Burg adalah pengganti Pastor Rosing SVD. Ini adalah salah satu contoh ngawurismenya yang sangat jelas. Yang benar ialah bahwa Pater A. van de Burg SVD itu menggantikan Pater Knor SVD. Yang menggantikan Pater Theodorus Rosing SVD adalah Pater van Sten SVD. Pater van Sten SVD diganti oleh Pater Stop SVD. Waktu saya dan teman-teman sekelas saya menerima Komuni Pertama, Pater van Sten SVD dan Pater Stop SVD pun menyempatkan diri datang ke rumah saya. Setelah Pater Stop pindah, paroki Lewolaga sempat mengalami kekosongan imam. Maka Pater Knor SVD diperbantukan sementara di Lewolaga.

Dalam rangka permohonan dana ke Misereor di Jerman untuk proyek pengadaan instalasi air bersih untuk beberapa desa di paroki Lewolaga, Pater A. van de Burg SVD menghendaki agar beberapa orang selaku wakil umat menandatangani surat permohonan (proposal) tersebut. Pada suatu hari di bulan Desember tahun 1973, Pater A. van de Burg mengirim pesan ke Eputobi agar bapak saya dan salah seorang kakak saya dan seorang anggota keluarga lainnya menghadiri misa di gereja paroki Lewolaga. Setelah misa, Pater A. van de Burg SVD mengajak mereka ke Pastoran. Bersama salah seorang wakil umat dari Leworook, Sedu Hera namanya,  mereka diminta oleh Pater A. van de Burg SVD untuk menandatangani surat permohonan tersebut. Ketika ditanya, mengapa kami yang menandatangani surat ini? Pater van de Burg SVD menjelaskan bahwa mereka di Eropa membutuhkan permohonan dari umat, dan kalian saya minta untuk mewakili umat. Maka mereka menandatangani surat permohonan tersebut. Itu terjadi pada 27 Desember 1973.

Tak lama setelah itu, Pater A. van de Burg SVD pergi ke Belanda, lalu ke Jerman untuk menyerahkan surat permohonan tersebut ke Misereor. Pada bulan Juni 1974, kapal Ratu Rosari berlabuh di dermaga misi Larantuka. Muatannya antara lain pipa untuk proyek pengadaan air bersih untuk beberapa desa di Paroki Lewolaga. Selain bantuan dari Misereor, Pater A. van de Burg SVD juga meminta umat di beberapa desa yang bersangkutan juga mengadakan dana swadaya masyarakat untuk mendukung keberhasilan proyek tersebut.

Pada tahap pemasangan tertentu tepatnya ketika jaringan pipa itu mendekati kawasan kampung lama hingga kampung Eputobi, saya pun terlibat aktif dalam pemasangannya. Bersama sejumlah orang lain dari kampung Eputobi, kami mengangkat pipa-pipa yang ada. Bahkan saya pun sempat coba ikut membuat drat pada ujung pipa-pipa tertentu berdasarkan petunjuk dari Om Aku.

Lantas engkaukah Marselinus Sani Kelen yang pernah menyumbang tenagamu dan uangmu untuk memperbaiki jaringan pipa yang rusak, termasuk di tempat-tempat yang sulit untuk dijangkau dengan cara-cara biasa? Engkaukah yang pernah berani mempertaruhkan nyawamu untuk menggantungkan dirimu di dinding tebing berjurang dalam untuk memperbaiki jaringan pipa yang rusak? Pekerjaan semacam itu hanya dapat dilakukan oleh almarhum adik saya Yoakim Gresituli Ata Maran dengan dukungan dari orang-orang yang punya kepedulian real akan kepentingan masyarakat di beberapa desa termaksud. Engkaukah yang pernah mau bermalam di hutan, sempat dalam keadaan lapar, demi memperbaiki jaringan pipa yang rusak itu?  Pekerjaan semacam itu hanya dapat dilakukan oleh almarhum adik saya itu dan rekan-rekan seperjuangannya. 

Yang jadi pertanyaan saya adalah apa dasar saudara Marselinus Sani Kelen menilai saya berbohong dalam hal yang berkaitan dengan proyek pengadaan instalasi air bersih tersebut? Kalau engkau tidak tahu seluruh seluk-beluk kenyataan yang berkaitan dengan proyek tersebut sebaiknya engkau jangan terlalu mudah untuk menilai orang lain berbohong. Saya kira engkau perlu sadar bahwa selama ini engkau betul-betul ngawur, main tuduh, main cemooh, main menghina, dan memfitnah orang lain, tanpa bukti apa pun. Engkau sendiri sama sekali tidak memiliki pengetahuan yang jelas tentang proyek pengadaan air bersih tersebut, tetapi kicauanmu sungguh nyaring, hingga kebohonganmu kian menumpuk-numpuk, tidak hanya di dalam benakmu, tetapi juga dalam tulisan-tulisanmu.

Jika untuk urusan yang baru terjadi kemarin sore saja engkau bisa menuturkannya secara ngawur, apalagi untuk urusan-urusan yang menyangkut periode sejarah tempo doeloe kala itu. Ingat baik-baik, jika seorang putra Lewoingu sering mengawur ketika berbicara tentang sejarah Lewoingu, tetapi dia itu terus memaksakan diri untuk menjadi penutur  sejarah Lewoingu, nanti dia disebut orang yang hide’ bele.’ Dalam sejarah Lewoingu istilah hide’ bele’ itu pernah dikenakan kepada orang-orang tertentu. Di antara mereka ada yang terbilang tokoh. 

Lantas coba engkau cek betul-betul ketidaktelitianmu yang terjadi secara konsisten dari tulisanmu yang satu ke tulisanmu yang lain itu? Coba engkau baca tulisan-tulisan saya secara teliti, bukan secara ngawur. Pernahkah saya mengatakan bahwa metafor itu tidak dapat diartikan? Tidak pernah ‘kan saya mengatakan seperti yang engkau katakan itu? Bukankah engkau sendiri yang mengatakannya demikian? Mengapa engkau sibuk menanggapi apa yang engkau sendiri katakan itu, seakan-akan engkau menanggapi apa yang saya katakan? Lalu apa yang jadi masalah dengan istilah Demong Pagong yang pernah saya gunakan itu, sehingga engkau pun begitu sibuk untuk mempersoalkannya dalam kaitan dengan kenyataan bahwa Gresituli berasal dari tanah Jawa? Logika macam apa yang engkau gunakan, sehingga engkau sibuk mempersoalkan 1) apa yang tidak saya katakan, dan 2) apa yang tidak perlu dipersoalkan itu?

Yang sesungguhnya terjadi selama ini ialah bahwa engkau hanya mampu bergerak dari ngawurisme yang satu ke ngawurisme yang lain, dari tuduhan yang satu ke tuduhan yang lain tanpa engkau sendiri bisa membuktikannya. (Bersambung)

Senin, 24 Agustus 2009

Asbun dalam “SIAPAKAH RAGA ITU?”

Catatan khusus untuk Marselinus Sani Kelen

Bagian terakhir dari dua tulisan

Oleh Rafael Raga Maran

 

Dalam bagian pertama dari tulisan ini, saya telah menunjukkan 1) bahwa koda kiring dengan menggunakan kata-kata secara serampangan itu tidak mempunyai arti yang jelas, meskipun oleh Marselinus Sani Kelen kata-kata yang digunakannya itu dianggap mengandung nasihat yang semestinya dipegang teguh dalam kebersamaan hidup di lewotanah; 2) bahwa hingga kini Marselinus Sani Kelen tidak dapat membuktikan pernyataannya bahwa Raga itu bukan anak Sani. Baginya, Raga itu anak Hule; 3) bahwa untuk mempertahankan omong kosongnya itu dia pun tak segan-segan menghina leluhurnya sendiri; 4) bahwa dalam artikelnya berjudul “SIAPAKAH RAGA ITU?” terdapat pula ketidakkonsistenan dalam penyebutan koda kiring tertentu.

Tampak jelas pula dalam tulisannya itu bahwa apa yang dianggapnya sebagai nasihat itu hanya disampaikannya kepada orang lain agar dijadikan pegangan dalam kehidupan bersama di lewotanah, tetapi dia sendiri merasa tidak perlu untuk menjadikannya sebagai pegangan. Baginya, menyebarluaskan dongeng tentang Raga anak Hule itu dan karena itu Raga bukan Raya Lewowerang-Lewoingu itu lebih berharga ketimbang dengan rendah hati menerima fakta sejarah bahwa memang Raga itulah yang meneruskan kepemimpinan ayahnya, Sani, sebagai Raya Lewowerang-Lewoingu.

Melalui tiga pertanyaan dia berusaha membantah fakta sejarah tersebut. Tetapi rupanya dia sendiri tidak sadar bahwa di dalam bantahannya itu terkandung pengakuannya tentang fakta sejarah tersebut. Ada pun tiga pertanyaan dimaksud adalah sebagai berikut, 1) Apakah seorang anak ‘kenowa’ bisa jadi Raya Lewowerang? 2) Apakah anak tiri dapat mewariskan kekuasaan seorang bapak dan melupakan anak kandungnya sendiri? 3) Apakah budaya patriarkat menempatkan anak dari hasil perselingkuhan atau hasil dari ‘titipan’ orang lain dalam urusan adat istiadat yang demikian penting itu?

Dengan pertanyaan pertama, dia berusaha konsisten dengan dongeng yang dibelanya, yaitu dongeng tentang Raga anak Hule. Tapi apa arti pertanyaan kedua tertera di atas? Apa maksud dari “seorang anak tiri dapat mewariskan kekuasaan seorang bapak?” Jika yang dia maksud anak tiri adalah Raga, maka patut dipertanyakan bahwa Raga itu mewariskan kekuasaan bapaknya kepada …..? Lantas apa hubungan bagian pertama dari pertanyaan itu dengan bagian keduanya, “dan melupakan anak kandungnya sendiri?” Anak kandung siapakah yang dia maksud? Melihat alur pikirnya selama ini, dapat diduga bahwa rupanya yang dia maksud adalah anak kandung Sani. Yang jadi pertanyaan ialah, “orang itu sebenarnya bicara tentang siapa?”

Jika pertanyaan pertama dipaksakan untuk dimunculkan, pertanyaan kedua secara jelas mengindikasikan bahwa di dalam dirinya terjadi kebingungan. Maka dia pun tidak mengetahui lagi apa dan siapa yang dia bicarakan. Selanjutnya coba perhatikan pertanyaannya yang ketiga seperti tertera di atas. Seperti telah saya singgung dalam bagian pertama dari tulisan ini, pertanyaan tersebut bernada penghinaan terhadap leluhurnya sendiri.

Mudah ditebak bahwa terhadap pertanyaan pertama dia akan menjawab dengan kata tidak bisa, dan terhadap pertanyaan ketiga, dia akan menjawabnya dengan kata tidak. Tetapi apa jawabannya untuk pertanyaannya yang kedua? Pertanyaan yang kedua adalah pertanyaan yang gagal, karena itu diabaikan saja. Biarlah dia sendiri yang menjawabnya untuk dirinya sendiri demi kepuasan seleranya sendiri. Dengan menjawab tidak bisa untuk pertanyaan yang pertama, dan tidak untuk pertanyaan ketiga, dia sebenarnya mengakui bahwa Raga itu Raya Lewowerang, karena dia anak kandung dari Sani. Dengan perkataan lain, karena Raga itu bukan anak tiri dari Sani, karena Raga itu bukan anak dari hasil perselingkuhan, melainkan anak kandung pertama dari Sani, maka dialah yang berhak meneruskan posisi Sani sebagai Raya Lewowerang. Dan memang begitulah kenyataannya. Kenyataan itu dapat diverifikasi dalam perjalanan sejarah Lewowerang-Lewoingu.

Dengan ini saya ingin menegaskan bahwa pengingkaran Marselinus Sani Kelen atas pernyataan bahwa Raga adalah Raya Lewowerang-Lewoingu tidak berpengaruh sedikit pun terhadap fakta sejarah tersebut. Justru karena adanya kenyataan bahwa Raga itu Raya Lewowerang-Lewoingu, maka Marselinus Sani Kelen pun dapat membuat pengingkaran atasnya. Saya berharap anda pun dapat mengerti bahwa fakta tersebut mendahului pengingkaran atasnya. Karena itu pengingkaran atasnya tidak mungkin meniadakannya.

Selanjutnya saya akan membuat sedikit catatan tentang pembicaraannya tentang apa yang disebutnya dua parahara. Yang satu perang melawan Paji. Yang kedua adanya permusuhan dalam kehidupan bersama di Lewowerang-Lewoingu. Oleh Marselinus Sani Kelen kedua pernyataan ini diperlakukan sebagai premis, yang konon saling bertentangan, bahkan saling meniadakan. Untuk mencek layak atau tidaknya kedua pernyataan itu diperlakukan sebagai premis, dan untuk mencek apakah kedua pernyataan tersebut saling bertentangan atau bahkan saling meniadakan, kita perlu menyusun kedua pernyataan tersebut secara lebih jelas.

Gresituli dan sekutu-sekutunya melancarkan perang melawan Paji. Permusuhan terjadi dalam kehidupan bersama di Lewowerang-Lewoingu.

Jika kedua proposisi kategoris tersebut diperlakukan sebagai premis, maka keduanya menjadi titik pangkal bagi kesimpulan tertentu. Tetapi kesimpulan apa yang dapat ditarik dari dua proposisi yang tidak berhubungan secara valid semacam itu? Proposisi pertama berbicara tentang perang melawan Paji yang dilancarkan oleh Gresituli dan sekutu-sekutunya. Proposisi kedua berbicara tentang permusuhan yang terjadi dalam kehidupan bersama di Lewowerang-Lewoingu. Adakah hubungan yang logis antara kedua proposisi kategoris tersebut? Jawabannya jelas tidak ada. Karena kedua proposisi kategoris itu berbicara tentang dua hal yang berbeda, maka keduanya pun tidak saling bertentangan. Jelas pula bahwa kedua proposisi itu tidak saling meniadakan. Juga jelas bahwa kedua proposisi tersebut tidak dapat diperlakukan sebagai premis.

Rupanya dalam hal ini pun Marselinus Sani Kelen itu asbun alias asal bunyi. *** 

Minggu, 23 Agustus 2009

Asbun dalam “SIAPAKAH RAGA ITU?”

Catatan khusus untuk Marselinus Sani Kelen

Bagian pertama dari dua tulisan

Oleh Rafael Raga Maran

 

“SIAPAKAH RAGA ITU?” adalah judul artikel yang diposting oleh Marselinus Sani Kelen pada hari Kamis, 20 Juli Agustus 2009. Karena belakangan ini sering terjadi gangguan pada aluran internet, maka saya pun baru membaca artikel tersebut di eputobi.net pada hari Minggu sore, 23 Agustus 2009. Ketika melihat judul tersebut, saya bertanya dalam hati: Adakah jurus baru yang dia keluarkan dalam persilatan kata-katanya dengan saya?

Ternyata tidak ada jurus baru yang dikeluarkannya. Jurusnya cuma itu-itu saja. Padahal yang saya harapkan dari dia adalah tantangan-tantangan baru yang disertai dengan argumen-argumen yang canggih untuk mempertahankan tesis-tesis pokoknya. Alih-alih mengemukakan argumen-argumen yang canggih, dalam mencatat koda kiring yang disebutnya nasihat itu saja tak beres. Coba perhatikan kata-kata berikut ini. Laga ahi niku kola. Huke kia baru buko. Balo kia baru napang. Wato pitang tanah bori.

Setelah membaca kata-kata tersebut, saya pun bertanya dalam diri saya dari mana kata-kata itu berasal. Reaksi yang sama pun mungkin terjadi pada diri para pembaca yang memiliki khasanah filologi Lamaholot, termasuk filologi Lewoingu, yang memadai. Soalnya, beberapa kata yang terpateri di situ kontan mengundang tanya, dari manakah kata-kata itu berasal. Perhatikan Laga ahi niku kola. Penggunaan kata ahi di situ membuat susunan kata-kata itu tidak memiliki arti yang jelas. Yang dikenal dalam penuturan Lewoingu adalah Laga ae’ niku kola.

Lalu coba perhatikan katabaru” dalam Huke kia baru buko dan dalam Balo kia baru napang. Kata “baru” itu tidak dikenal dalam koda kiring Lewoingu tempo doeloe. “Baru” adalah istilah bahasa Indonesia yang ditempelkan pada apa yang disebut koda kiring itu. Selain itu, penggunaan kata napang dalam Balo kia baru napang itu out of context. Yang cocok dalam konteks itu bukan kata napang tetapi napa.

Penggunaan kata-kata tersebut secara serampangan menunjukkan kekurangan pengetahuan penggunanya tentang koda kiring. Kekurangan pengetahuan tersebut termasuk salah satu dari problem-problem epistemis yang nampak dalam rangkaian tulisannya tentang sejarah Lewoingu.  

Berawal dari penggunaan kata-kata secara serampangan semacam itu dia berusaha mempertahankan pendapatnya bahwa Raga bukan anak Sani.  Tetapi kiranya perlu dicatat di sini, bahwa hingga kini Marselinus Sani Kelen belum mampu membuktikan bahwa Raga itu bukan anak Sani. Padahal bukti yang meyakinkan itu sangat saya harapkan selama ini. Tetapi saya pun menyadari bahwa bukti yang diharapkan itu tidak mungkin dapat disodorkan oleh Marselinus Sani Kelen, karena penilaiannya tentang Raga itu murni jiplakan dari pernyataan Donatus Doni Kumanireng. Hingga kini Donatus Doni Kumanireng sendiri pun belum mampu membuktikan bahwa Raga itu anak Hule. Sekedar ceritera, pada bulan Mei tahun 2008 di kampung Eputobi, ketika dihadirkan sebagai penutur sejarah dalam suatu pertemuan, Donatus Doni Kumanireng dibuat tidak bersuara oleh beberapa tokoh muda yang lebih mengetahui sejarah ketimbang dirinya. Padahal oleh kelompoknya, dia dianggap sebagai ahli sejarah Lewoingu.  

Karena tidak memiliki bukti otentik, maka Marselinus Sani Kelen pun menggunakan argumentum ad populum untuk membantah pernyataan saya bahwa Raga itu pun anak kandung Sani. Argumentum ad populum itu nampak dalam pernyataannya bahwa lewo gole roiro kae’ bahwa Raga itu anak Hule. Dalam hal ini dia pun mengikuti jejak Donatus Doni Kumanireng, yaitu mencatut nama rakyat Lewoingu untuk membenarkan segala macam omong kosong tersebut. Dengan argumentum ad populum semacam itu, Marselinus Sani Kelen berusaha menyesatkan pembaca.

Guna mempertahankan segala macam omong kosongnya itu, Marselinus Sani Kelen tak segan-segan melakukan penghinaan demi penghinaan. Dengan mengatakan bahwa Raga itu anak hasil perselingkuhan atau hasil dari “titipan” orang lain, dia tidak hanya menghina Raga, tetapi juga menghina Kene, Sani, dan Hule, bahkan dia juga menghina Boli yang lahir dari kandungan Kene. Di seluruh kawasan Lewoingu, baru kali ini saya menemukan adanya orang yang tidak segan-segan menghina leluhurnya sendiri demi membela kepentingan kelompok yang terkenal sibuk berkasak-kusuk untuk merusak persatuan dan keharmonisan kehidupan sosial budaya di kampung Eputobi.

Lantas ketidakkonsistenannya nampak lagi. Kali ini ia nampak jelas dalam kata-kata: nuhung teme tewong, alo boleng boto. Sebelum ini dia menggunakan kata-kata: nuhung tewo temong, alo boleng bola. Mana yang benar, ya? Yang jelas, ketidakkonsistenan itu dengan sendirinya menggiring dia masuk ke dalam kontak orang-orang yang asbun alias asal bunyi. Seseorang yang mengaku diri memiliki banyak referensi tentang sejarah Lewoingu, apalagi yang menganggap diri lebih tahu tentang sejarah Lewoingu daripada saya mestinya tidak boleh asbun seperti itu. (Bersambung)

Rabu, 19 Agustus 2009

Tesis mana yang berhasil dipatahkan dalam MENGINGKARI FAKTA REALITAS KEBOHONGAN?

Suatu catatan khusus untuk Marselinus Sani Kelen

Oleh Rafael Raga Maran

 

Maksud hati menguji segala tesis saya, tapi apa daya tak ada satu pun dari tesis saya yang berhasil ditunjukkannya. Maksud hati mematahkan segala tesis saya, apa daya tangannya tak kuat. Itu yang terjadi dalam tulisan Marselinus Sani Kelen berjudul MENGINGKARI FAKTA REALITAS KEBOHONGAN. Karena tidak ada satu pun tesis saya yang bisa ditunjukkannya, maka menjadi tidak jelas pula arah pembicaraannya. Karena tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan, maka penulis artikel tersebut menyeret pembaca kembali ke apa yang disebutnya kasus 20 Juli 1974, yang hingga kini tak dapat dibuktikan kebenarannya. Kemudian dia pun menyasar ke Koke yang terbakar, ke pesa, ke kelompok tena mao, lalu ke persoalan denda terhadap suku Openg di Tenawahang. 

Apa yang dianggapnya kasus 20 Juli 1974 itu diandalkannya sebagai senjata pamungkas untuk mematahkan segala tesis saya. Tetapi apa yang disebutnya sebagai kasus 20 Juli 1974 sendiri masih gelap hingga kini. Kalau peristiwa itu berkaitan dengan pembukaan kebun baru, di mana anda sendiri sebagai salah satu saksinya, coba tunjukkan pembukaan kebun baru yang mana? Saya berharap memori seorang anak yang pada tahun 1974 berumur di bawah sepuluh tahun masih menyimpan dengan baik suatu peristiwa yang konon disaksikannya itu.

Dengan menjawab pertanyaan tersebut secara jelas, bobot tuduhannya terhadap bapak saya yang sudah almarhum dan bobot penilaiannya tentang pribadi saya dapat ditakar oleh para pembaca. Jika jawabannya tidak jelas, apalagi kalau dia tidak bisa menjawabnya, maka dia mengukuhkan dirinya sebagai pendongeng besar.

Lantas ngawurismenya pun muncul pula dalam tulisannya berjudul MENGINGKARI FAKTA REALITAS KEBOHONGAN itu. Ngawurismenya  nampak jelas dalam tuduhannya bahwa saya menempatkan suku Kebele’eng Kelen sebagai pelaku kejahatan. Dalam kasus pembunuhan atas bapak Biku Lein dan anaknya bernama Tube Lein, saya mengatakan bahwa pelakunya adalah oknum-oknum dari suku Kebele’eng Kelen. Oknum-oknum yang dimaksud adalah Bei Kelen, Sedu dan Doweng Kelen, dan Keba Kelen. Lalu dalam kasus pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran saya menyebut Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya sebagai pelakunya. Apakah si Mikhael Torangama Kelen dan beberapa bapak kecilnya itu identik dengan suku Kebele’eng Kelen?

Jadi siapa yang menempatkan suku Kebele’eng Kelen sebagai pelaku kejahatan? Anda yang bernama Marselinus Sani Kelen ‘kan yang menempatkannya demikian? Kengawuran semacam itu dapat terjadi, karena anda kurang teliti dalam membaca tulisan-tulisan saya. Kekurangtelitian semacam itu pula yang sempat membuat anda sibuk menanggapi apa-apa yang tidak pernah saya katakan di dalam tulisan-tulisan saya. Tidak sadarkah anda bahwa anda sendiri yang menuduh suku anda sendiri sebagai pelaku kejahatan, lalu anda sendiri pula yang menanggapinya? Ini adalah salah satu contoh kasus yang membuat saya pun menilai anda sebagai orang yang sedang bertempur melawan diri anda sendiri.

Lalu coba anda sebutkan siapa yang menggelapkan pesa (meriam kecil tempo dulu itu)? Hingga kini pesa itu ada dan tidak ada orang yang menggelapkannya. Pernah pesa itu dicuri orang, tetapi justru pihak Ata Maran yang berhasil menemukannya kembali. Yang jadi pertanyaan bagi saya ialah apa relevansi pembicaraan anda tentang pesa itu dengan upaya anda untuk mematahkan segala tesis saya atau dengan upaya anda untuk mempertahankan tesis anda? Tesis saya yang mana yang dapat anda patahkan dengan pembicaraan anda tentang pesa itu?

Tesis saya yang mana yang ingin anda patahkan dengan pembicaraan anda tentang kelompok tena mao? Tidakkah anda sadar bahwa yang anda paparkan di situ itu merupakan suatu penghinaan terhadap kelompok tersebut? Benarkah derajat anda sebagai manusia tidak sama dengan derajat orang-orang yang disebut tena mao itu? Apakah dalam perjalanannya dari Jawa hingga Flores, Gresituli tidak pernah menggunakan sarana angkutan laut yang disebut perahu? Gresituli sendiri dan anak-anaknya tidak bersikap seperti itu terhadap kelompok masyarakat tersebut. Justru bersama mereka itulah, Gresituli membangun suatu model kehidupan bersama yang khas di Lewoingu. Selain Marselinus Sani Kelen, keturunan Gresituli lainnya pun tidak bersikap semacam itu terhadap kelompok masyarakat tersebut.

Tesis saya yang mana pula yang ingin anda patahkan dengan pembicaraan anda tentang Koke yang dibakar oleh serdadu-serdadu Belanda itu? Mengapa anda tidak tanyakan saja ke pihak Belanda, mengapa Koke dibakar? Mengapa anda menuntut saya untuk berbicara tentang persoalan tersebut? Jelas bahwa anda salah alamat. 

Lalu tesis saya yang mana lagi yang ingin anda patahkan dengan pembicaraan anda tentang denda terhadap suku Openg di Tenawahang itu? Urusan yang berbuntut pada denda itu sudah diselesaikan dengan baik. Kelakekelama dari Lewoingu, yang terlibat langsung dalam penyelesaian masalah tersebut saja tidak mempersoalkannya, kok sekarang anda yang sewot? Apakah anda punya otoritas adat untuk mempersoalkan kembali suatu masalah yang sudah berhasil diselesaikan dengan baik oleh para pemuka adat dari kedua desa yang bersangkutan?

Setelah menelusuri pembicaraan anda dari alinea ke alinea dalam artikel berjudul MENGINGKARI FAKTA REALITAS KEBOHONGAN, saya berkesimpulan bahwa tak ada satu pun dari tesis saya berhasil anda patahkan. Isi tulisan anda kali ini secara gamblang menampakkan bahwa anda telah kehilangan kemampuan untuk berargumentasi secara rasional. Untuk menutupi kelemahan itu, anda lalu menggunakan cara tidak rasional, antara lain menyuruh saya diam dan terus diam. Apakah anda punya hak untuk melarang saya berbicara? Kearifan macam apa yang anda miliki sehingga anda merasa berhak dan berwenang untuk melarang saya berbicara? ***

Senin, 17 Agustus 2009

Ngawurisme dalam KOMEDI DIANTARA DONGENG DAN SEJARAH

 

Setelah gagal mempertahankan tesisnya – Boli adalah titik awal sejarah Lewoingu – Marselinus Sani Kelen masih mencoba meneruskan polemik melalui dua artikel - KOMEDI DiANTARA DONGENG DAN SEJARAH dan MENGINGKARI FAKTA REALITAS KEBOHONGAN. Jika anda membaca dengan teliti dua tulisannya itu, maka anda pun dengan mudah menemukan bahwa arah pembicaraannya bergeser ke hal-hal lain. Dia tidak lagi berusaha mempertahankan tesisnya itu.

Selain itu anda juga sekali lagi dengan mudah menemukan ngawurismenya. Memang sejak awal keterlibatannya dalam diskusi tentang sejarah Lewoingu maupun tentang konflik yang terjadi di Eputobi, ngawurisme secara konsisten dipertahankannya.

Di dalam tulisan ini saya coba menunjukkan ngawurisme yang muncul dalam KOMEDI DIANTARA DONGENG DAN SEJARAH. Saya memulainya dengan menunjuk pada beberapa hal yang kelihatan sederhana, yaitu yang berkaitan dengan gramatika, tata bahasa. Perhatikan judul KOMEDI DIANTARA DONGENG DAN SEJARAH. Cara penulisan kata diantara dalam judul tersebut tidak sesuai dengan tata bahasa Indonesia. Cara penulisannya yang benar adalah di antara.

Artikel tersebut dibuka dengan kata-kata sebagai berikut,

Masih juga belum selesai gelak tawa ceritera komedi dari dongeng sejarah Lewokoli, salah satu dari generasi kontemporer Lewoingu yang berceritera tentang pasar terkenal di Lewokoli tempo dulu.

Kata-kata yang tersusun di situ tidak berhasil membentuk suatu kalimat. Kalau anda menganggapnya sebagai suatu kalimat, coba tunjukkan mana term subjek dan mana term predikatnya. Tak jauh dari situ anda menemukan adanya kalimat tanya yang tidak diawali dengan huruf besar. Letak tanda tanya (?) pun mengambang. Dalam kalimat tanya tersebut tertulis kata memliki. Kata apa ini? Dalam kalimat tanya yang sama ditulis kata bekas – bekas. Seharusnya cara penulisannya adalah bekas-bekas. Kemudian dalam kalimat terakhir dari alinea pertama dalam artikel tersebut terdapat susunan kata ini: Ternyata ketika logika sehat melakukan analisa causalitas antara fakta dan ceritera. Benarkah yang melakukan analisa tersebut adalah logika sehat?  Dalam kalimat yang sama terdapat tanda koma (,) yang mengambang. Seharusnya tanda koma tersebut merapat ke huruf n dalam kata guyonan. Dalam kalimat tersebut terdapat pula kata jatu. Kata apa ini? Lalu alinea kedua diawali dengan kata rasah, yang sama sekali tidak dikenal dalam bahasa Indonesia. 

Cara penulisan kata atau pun kalimat serta tanda baca yang tidak sesuai dengan tata bahasa Indonesia semacam itu dengan mudah ditemukan dalam tulisan-tulisannya. Jika terjadi ketidaktelitian secara berulang dengan pola yang sama,  itu tentu bukan suatu kebetulan. Ketidaktelitian yang terjadi secara konsisten semacam itu mengandaikan adanya problem gramatis pada diri orang yang bersangkutan.

Selanjutnya saya akan menunjukkan ngawurismenya dalam hal yang lain. Coba perhatikan kalimatnya berikut ini,

Dari imajinasi dongengnya yang kosong, ia berceritera tentang fenomena pasar Lewoingu yang ramai, ada kereta kuda, ada dokar/ delman, ada ratusan bahkan ribuan orang hilir-mudik datang dan pergi ke Lewokoli, karena Lewokoli adalah pasar yang terkenal, kota dagang dan tempat strategis baik dari segi ekonomi, politik dan budaya.

Lalu dia pun bertanya,

Tapi apa faktanya ? apakah ceritera itu memliki bekas – bekas sejarah sehingga dapat diterima sebagai indikator untuk menilai sebuah fakta sejarah ?

Bahwa di Lewokoli tempo dulu terdapat pasar yang ramai, itu jelas. Pengetahuan tentang adanya pasar tersebut dapat anda peroleh dari riset. Yang jelas di situ orang memperdagangkan barang-barang antara lain perhiasan berupa kalung emas, perak, piring dan mangkuk, dll. Tapi siapa yang pernah mengatakan bahwa pada masa itu di Lewokoli terdapat kereta kuda, dokar atau delman? Siapa pula yang pernah mengatakan bahwa ada ratusan bahkan ribuan orang yang hilir-mudik datang dan pergi ke Lewokoli? Siapa pula yang mengatakan bahwa Lewokoli adalah sebuah kota dagang?

Ceritera bahwa di Lewokoli terdapat kereta kuda, dokar atau delman dll seperti tersebut di atas itu berasal dari Marselinus Sani Kelen, bukan dari saya. Dan jangan lupa, istilah kereta kuda dan kota dagang itu dia pinjam dari Donatus Doni Kumanireng. Maka menjadi jelas bahwa dalam hal tersebut dia menanggapi apa yang tidak saya katakan. Lantas dia pun memberikan penilaian bahwa ceritera tentang adanya pasar di Lewokoli itu sebagai dongeng. Kalau anda sendiri berdongeng, lantas anda menilai orang lain yang berdongeng, itu tanda apa ya? 

Ngawurisme dalam artikel tersebut di atas berpuncak pada penilaiannya bahwa ceritera bahwa Gresituli berasal dari Jawa itu merupakan suatu dongeng. Penilaiannya itu didasari pada enam alasan yang dibuat-buat, sehingga gagal menjadi dasar bagi kebenaran penilaiannya tersebut.

Alasannya yang pertama didasari pada salah tafsirnya atas ……, belia gere go gere, belia lesa go lesa. Berdasarkan bahasa simbolik ini, Marselinus Sani Kelen mengandaikan bahwa Gresituli mengalami hidup dan mati secara bergantian dan berkesinambungan. Dengan kata lain, dia mengatakan bahwa Gresituli mengalami kehadiran dan kepergian berkali-kali mengikuti fenomena bintang besar (belia). Salah tafsir semacam itu bisa terjadi karena dia tidak berusaha mengerti arti sesungguhnya dari kata-kata simbolik tersebut. Yang diucapkan oleh Gresituli itu adalah suatu metafor, sehingga tak dapat ditafsirkan secara harafiah seperti yang dilakukan oleh Marselinus Sani Kelen itu. Lagi pula apakah belia itu pernah jatuh? Penggunaan metafor semacam itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Gresituli itu mengalami kehidupan dan kematian secara bergantian dan berkesinambungan. Dengan menunjukkan salah tafsirnya itu, saya berharap lawan debat saya itu dapat mengerti apa arti sesungguhnya metafor tersebut.

Alasannya yang kedua didasari pada pengingkarannya tentang kesedihan yang dialami Gresituli setelah adiknya bernama Keropong Ema mati karena dibunuh di Hewa. Peristiwa pembunuhan atas Keropong Ema di  Hewa itu dapat diverifikasi kebenarannya. Kalau anda tidak percaya pada sejumlah narasumber yang masih hidup di Lewoingu, anda coba pergi ke Hewa dan menanyakan kejadian tersebut pada narasumber yang ada di sana. Mudah-mudahan anda juga diberi akses untuk melihat dengan mata kepalamu sendiri  suatu barang milik Keropong Ema yang disimpan di sana. Riset semacam itu perlu anda lakukan agar anda tidak hanya asal bunyi.

Alasan ketiga didasari pada penilaiannya bahwa tidak masuk akal Gresituli menggunakan bahasa daerah khas Lewoingu. Kengawurannya itu bertolak dari pengandaian bahwa begitu menginjakkan kakinya di suatu daerah baru yang kemudian dikenal dengan Lewoingu, Gresituli langsung menceriterakan kisah perjalanannya bersama adiknya Keropong Ema dari tanah Jawa. Kiranya jelas bahwa ceritera itu beliau kemukakan setelah beliau fasih berbahasa Lamaholot versi Lewoingu. Kalau bukan Gresituli sendiri yang menceriterakannya, dari mana anak cucu keturunannya bisa mengetahui kisah perjalanannya itu. Perkawinan putra Gresituli bernama Doweng dengan seorang putri dari suku Hera di Wolo pun terkait dengan kisah perjalanan Gresituli dan Keropong Ema dari tanah Jawa itu. Putri yang dinikahi oleh Doweng adalah anak dari Hatang. Hatang adalah orang yang berjasa dalam membantu Gresituli dan Keropong Ema dalam memenangkan suatu pertempuran di Jawa.

Alasannya yang keempat didasari pada ceriteranya tentang adanya daerah yang disebutnya Lewopao. Karena out of context, maka soal Lewopao itu tidak perlu ditanggapi. (Hanya perlu sedikit catatan, bahwa saya dulu juga pernah ikut memasang pipa air minum untuk kampung Eputobi. Dari keluarga kami, bapak saya adalah tokoh yang ikut menandatangani proposal untuk mencari dana dari Belanda bagi pemasangan instalasi air minum bagi kampung Eputobi. Lalu adik saya yang dibunuh oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu yang sering memperbaiki kerusakan saluran air ke Eputobi. Sebelum meninggal, dia dan rekan-rekannya memperbaiki kerusakan saluran air ke Eputobi dengan biaya dari urunan mereka. Apa sumbangan konkret anda untuk pengadaan instalasi air minum untuk kampung Eputobi?) 

Alasan kelima didasari pada penghinaannya terhadap kelompok masyarakat yang disebutnya tena mao. Bukankah masyarakat yang meninggalkan daerah asalnya dengan menggunakan perahu kemudian berlabuh di pantai-pantai di Flores Timur, kemudian ada dari kelompok itu yang bermukim pula di daerah yang kemudian dikenal dengan Lewoingu dan ada pula yang bermukim di sekitar Lewoingu itu adalah sesamamu juga? Logika apa yang anda pakai, sehingga anda bisa menilai bahwa saya menghina Gresituli dan semua keturunannya? Apakah ceritera tentang perjalanan Gresituli bersama Keropong Ema dari Jawa hingga Lewokoli, kemudian menjadi tokoh utama dalam pembangunan Lewoingu itu merupakan penghinaan terhadap Gresituli dan semua keturunannya? Coba anda cek sendiri, apakah jalan pikiranmu  itu sehat atau tidak sehat, valid atau tidak valid. Cara menceknya begini,

RRM berceritera bahwa Gresituli berasal dari Jawa. Tempat-tempat yang dilaluinya antara lain Bali, Labuan Bajo, Lio, dan Hewa. Dia kemudian tiba pernah tinggal di Lewokoli.’ Setelah berhasil mengalahkan Paji, Gresituli membangun Lewoingu. Sebagian penduduk Lewoingu berasal dari kelompok yang disebut tena mao. Jadi RRM menghina Gresituli dan semua keturunannya.

Kesimpulan tersebut tidak berkaitan secara logis dengan pernyataan-pernyataan yang mendahuluinya. Jalan pikiran semacam itu hanya dianggap valid oleh orang yang tidak memiliki kecakapan yang memadai untuk mengembangkan penalaran yang sehat.

Alasannya yang kelima didasari pada salah tafsirnya atas istilah Demong Pagong yang pernah saya gunakan dalam tulisan saya. Yang dia tafsir itu adalah istilah Demong Pagong versi dia. Dia mengira bahwa istilah Demong Pagong itu hanya dipakai dalam arti seperti yang dia maksudkan itu. Tapi biarlah dia sibuk menafsirkannya semaunya sendiri.

Kiranya jelas bahwa selain problem gramatis, dalam tulisan-tulisannya pun dengan mudah ditemukan problem epistemis dan hermeneutis. Mudah-mudahan orang yang bersangkutan sendiri mengerti apa yang dimaksudkan dengan problem epistemis dan problem hermeneutis dimaksud. Di dalam tulisan ini, saya hanya menyinggung adanya problem-problem tersebut. Lain kali saya akan menunjukkan problem-problem dimaksud secara lebih jelas.

Kian sering Marselinus Sani Kelen berpolemik dengan saya, kian jelas dia mempelihatkan diri sebagai orang yang sedang bertempur melawan dirinya sendiri. Dalam pertempuran melawan dirinya sendiri dia berusaha mengerahkan segala energi pikiran dan perasaannya guna mempertahankan dongengisme tentang sejarah Lewoingu. Dongengisme semacam itu adalah salah satu ideologi yang dipakai untuk mendukung kepentingan grupnya. ***

Rabu, 05 Agustus 2009

Suara siapakah itu?

Catatan untuk seorang oknum dari Suku Kebele’eng Kelen bernama Marselinus Sani Kelen

Oleh Rafael Raga Maran

Ketika Marselinus Sani Kelen mengatakan bahwa Raga adalah anak Hule, dia hanya menduplikasi apa yang telah dikatakan oleh Donatus Doni Kumanireng. Dalam tulisannya berjudul “Tanggapan atas tulisan saudara Rafael Raga Maran” dia bertanya dan berkata,

“Atas dasar apa Raga tampil sebagai pemimpin di rumah Limpati, apakah karena hak kesulungan? Memang Raga anak siapa? Apakah Sani adalah Bapaknya? TIDAK!! Raga adalah anak Hule dari keluarga Metinara. Raga adalah hasil dari nuhung tewo temong, alo’ boleng bola.”

Dengan mengatakan bahwa Raga adalah anak Hule, keberpihakannya pada pihak tertentu yang diingkarinya dalam tulisannya itu dibantahnya sendiri. Itu adalah salah satu contoh ketidakonsistenan yang dengan mudah dapat dilacak dalam rangkaian pemikirannya. Contoh lain dari ketidakkonsistenannya nampak ketika dia berbicara tentang Metinara yang dipandangnya sebagai penyebab prahara dan Hule yang dianggapnya sebagai bapak dari Raga. Di satu pihak dia menuduh Metinara sebagai penyebab prahara, karena itu yang bersangkutan bersama keluarganya hengkang dari Lewoingu, di lain pihak dia menuduh Hule dari keturunan Metinara sebagai penyebab masalah.

Metinara dan Hule adalah dua pribadi yang berbeda. Tetapi tuduhan terhadap mereka didasari pada kata-kata yang sama, yaitu nuhung tewo’ temong, alo’ boleng bola. Dalam tulisannya berjudul “Prahara apa itu” (catatan: judul ini dijiplak dari judul tulisan saya) dia melengkapi kata-kata itu dengan “Ile hingang gere lereka kae, tawa keseka kae’; Ile hingang leting boleng pepak ado girek; kriko rio-rio krako rao-rao.” Yang jadi pertanyaan ialah, Apakah kata-kata itu mengindikasikan terjadinya prahara seperti yang dimaksud oleh Marselinus Sani Kelen itu?

Parahara seperti yang dia maksudkan itu tidak terjadi. Dalam bahasa Jawa kata “prahara” berarti angin ribut, angin topan, badai. Dari situ kata “prahara” dipakai untuk mengacu pada keributan yang besar, kekacauan besar yang merusak tatanan sosial dan fisik yang ada. Hal itu tidak terjadi di kubu Demong di Lewoingu pada masa itu. Badai yang mengancam eksistensi Lewoingu pada masa itu adalah serangan Paji. Ancaman itu sangat nyata, maka suku-suku yang sebelumnya hidup terpencar-pencar mengikuti ajakan Gresituli untuk hidup bersama di Lewoingu. Ancaman itu sangat mengerikan, maka Gresituli pun memerintahkan pembangunan benteng batu (beliko) untuk menjamin keamanan dan keselamatan masyarakat Lewoingu. Waktu tinggal di Lewowato pun Gresituli sudah berusaha memagari rumahnya dengan beliko, tetapi lebih rendah, jika dibandingkan dengan beliko yang melindungi Lewoingu. Itulah sebabnya nama tempat tinggal Gresituli itu disebut Lewowato atau disingkat menjadi Lewato.

Terjadi kesalahan besar ketika, Marselinus Sani Kelen mengatakan bahwa Gresituli itu pernah tinggal di Mulawatohong dan di Lewopao. Mulawato itu terdapat di daerah Kawalelo sana. Dan Lewopao itu terdapat di Adonara Barat dekat Lite. Gresituli tidak pernah tinggal di kedua kampung tersebut. Beliau juga tidak pernah tinggal di Lewohari. Gresituli pernah tinggal di Lewokoli dan Lewokaha, Lewowato, Oring Penutu’ung, dan Dungtana-Lewoingu. Waktu tinggal di Lewowato itulah Gresituli dan pendukung-pendukung setianya berhasil meremukkan inti kekuatan Paji Lewokoli dan Lewokaha. Dari situlah awal ceritera tentang aksi Tekung Panji di daerah itu.

Perang antara Demong dan Paji berkobar-kobar, maka Gresituli dan keluarganya serta para pendukungnya perlu mencari tempat permukiman yang lebih aman. Maka berpindahlah mereka ke Oring Penutu’ung. Dari situ barulah mereka berpindah ke tempat yang lebih ideal, tempat yang kemudian disebutnya Dungtana. Perkampungan yang dibangunnya di situ disebutnya Lewoingu.

Kata-kata Dungtana pota wato pota ile hone (honi) woka diucapkan oleh Gresituli sebagai ungkapan kegembiraan sekaligus ucapan syukur atas keberhasilannya mendapatkan suatu tempat yang ideal bagi keluarganya dan para pendukung setianya untuk bermukim. Dia merasa gembira dan bersyukur, karena pada akhirnya dia berhasil kebagian tanah (Dungtana), tempat dia dan keluarga serta para pendukung setianya itu dapat melangsungkan kehidupan mereka secara aman dan damai. Maka di atas gunung dan bukit berbatu itu dia perlu membangun rumah, tempat kediaman yang aman dan nyaman itu (pota ile hone woka, dengan catatan kata hone sering juga disebut honi).

Secara spasial-fisik, ile dan woka (gunung dan bukit) milik Gresituli itu lebih rendah ketimbang ile dan woka orang lain. Tetapi ile dan wokanya itu dapat mengatasi ile dan woka yang lebih tinggi, dalam artian bahwa pada waktu itu, tak ada satu pun tokoh atau pun kelompok sosial dari pihak Demong pun dapat menandingi kekuatan dan kewibawaan Gresituli. Padahal Gresituli mereka pandang sebagai seorang pendatang baru.

Di atas sana, dekat Wato Krong, di Ile Hingang sana bermukim Metinara dan keluarganya. Mereka disebut Ata Ile Jadi. Mereka yang bermukim di puncak Ile Hingang itu terbilang kelompok Demong. Maka pada akhirnya mereka pun bersekutu dengan Gresituli dan mendukung pula upaya-upaya Gresituli untuk membangun Lewoingu yang aman dan damai, yang adil dan sejahtera. Untuk itulah, maka mereka yang tadinya bermukim di puncak Ile Hingang pun merasa perlu untuk turun dan bergabung dengan para Demong lainnya di Lewowerang-Lewoingu (Dumbata-Lewoingu).

Dari situlah muncul kata-kata seperti yang dilansir oleh Marselinus Sani Kelen, seperti tertera di atas, dengan catatan kata-kata kriko rio-rio krako rao-rao itu ciptaan Marselinus Sani Kelen sendiri. Yang dikenal dalam koda kiring di Lewoingu pada masa itu adalah Kiko rio-rio kayo’ bunga bali au’ matang wara. Itulah lukisan verbal tentang sering terjadinya keributan di Lewowerang-Lewoingu, karena masing-masing pihak yang bersangkutan keras dan secara kaku mempertahankan pendirian mereka. Kata kiko rio-rio itu dekat dengan kako rao-rao. Maka tak mengherankan bila ada pula penutur sejarah Lewoingu yang hidup di era kontemporer menyebutnya dengan kako rao-rao. Dituturkan bahwa kako-rao-rao itu terjadi setiap hari sejak pagi hingga sore. Maka keadaan kacau semacam itu perlu ditertibkan.

Maklum, di antara mereka yang baru bergabung di Lewowerang-Lewoingu pada masa itu ada yang membawa serta ilmu kuno (mitos) dan teknik kuno (magic) mereka masing-masing. Mitos dan magic itu diperlukan dalam iklim peperangan pada masa itu. Maka tak mengherankan bila masing-masing mereka pun saling menguji kekuatan dan kemampuan. Saling busung dada dalam hal itu ikut pula menjadi penyebab terjadinya kiko rio-rio itu tadi. Dalam konteks itu mudah bagi kita untuk mengerti mengapa ada kata-kata seperti yang dilansir oleh Marselinus Sani Kelen itu. Kata-kata semacam itu dipakai lebih sebagai ledekan terhadap Metinara dan anggota-anggota keluarganya, yang dianggap sebagai Ata Ile Jadi, dan karena itu dipandang sebagai penguasa Ile Hingang tetapi akhirnya turun juga dan bermukim di Dumbata-Lewoingu. Dan ledekan itu pun merupakan bagian dari apa yang disebut kiko rio-rio itu tadi.

Salah tafsir terjadi, jika anda tidak tahu konteks penggunaan kata-kata tersebut. Salah tafsir terjadi, jika anda tidak tahu arti kata-kata “keren” yang anda gunakan. Salah tafsir terjadi jika anda hanya berusaha menjadi penyambung lidah orang yang memelintir sejarah untuk memenuhi ambisi politik destruktifnya di kampung, tanah kelahirannya sendiri.

Nah, bagaimana dengan penilaiannya bahwa Raga itu anak Hule? Jawaban atas tuduhan itu sudah saya berikan dalam tulisan saya berjudul “Dari sejarah palsu ke kejahatan kemanusiaan.” Di sini, saya hanya ingin menambahkan apa-apa yang saya tulis di sana dengan pertanyaan-pertanyaan semacam ini, “Masa kalau Raga itu anak Hule, dia bisa menjadi Raya Lewowerang? Masa dalam urusan yang berkaitan dengan kekuasaan pada masa itu, seorang adik yang memberi legitimasi tradisional bagi kekuasaan kakaknya? Masa’ dalam budaya patriarkat yang menekankan hak yang sulung (wruing) atas kekuasaan adat seperti yang berlaku di Lamaholot termasuk di Lewoingu, seorang adik berhak mengatur-ngatur kakaknya dalam urusan adat istiadat yang demikian penting itu?

Dalam sejarah Lewowerang-Lewoingu, Boli adik kandung Raga itu mengikuti tradisi budaya yang ada. Maka beliau itu pun tidak mungkin mengambilalih kewenangan adat untuk mengatur-ngatur yang lebih tua. Sebagai salah seorang tokoh yang disegani dalam komunitasnya, Boli tidak mungkin bertindak seperti dikira oleh Marselinus Sani Kelen itu. Orang-orang, termasuk Boli, yang hidup pada zaman itu sangat menjunjung tinggi sopan-santun, tatakrama adat istiadat. Penilaian dia tentang Boli itu merupakan proyeksi dari suatu ambisi politik kontemporer yang hidup dalam diri orang-orang tertentu yang berkepentingan untuk diakui sebagai penguasa tertinggi adat Lewoingu.

Ceritera Raga anak Hule itu merupakan suatu dongeng murahan yang ditempa oleh orang-orang Lewoingu kontemporer yang haus dan lapar akan kekuasaan tertinggi dalam urusan adat di Lewowerang-Lewoingu. Ingatlah ini. Jika haus dan lapar dalam artian harafiah itu tanda kekurangan makanan dan minuman yang diperlukan oleh tubuh, haus dan lapar akan kekuasaan adat tersebut adalah tanda kekurangmampuan dalam hal menerima posisi sosial adat dan peranannya seperti yang telah disepakati oleh para leluhur Lewowerang-Lewoingu.

Jadi suara siapakah itu, yang mengatakan bahwa Raga itu anak Hule? ***

Sabtu, 01 Agustus 2009

Tesis yang rapuh dan simbolisasi yang keliru

Catatan khusus untuk seorang oknum dari suku Kebele’eng Kelen bernama Marselinus Sani Kelen

Oleh Rafael Raga Maran

 

Dimunculkannya nama Kesowari Bereamang sebagai orang yang mula pertama berhak atas Rie Limang Wanang (Tiang Kanan) Koke Bale Lewowerang-Lewoingu (Dumbata-Lewoingu) membuat Marselinus Sani Kelen mulai kehilangan dasar pijak historis untuk mempertahankan pendapatnya bahwa sejak awal mula, Boli berhak atas Rie Limang Wanang. Dalam tulisan berjudul “Tentang Rie Limang Wanang Koke Bale Lewowerang-Lewoingu,”  saya mengatakan bahwa hak Kebele’eng Kelen atas Rie Limang Wanang itu baru dikukuhkan secara adat setelah Kesowari Bereamang meninggal. Tetapi pernyataan yang didasari fakta sejarah tentang pembagian tiang-tiang di Koke Bale tersebut dibantah pula oleh Marselinus Sani Kelen melalui tulisannya berjudul “Masih dari Koke Dungbata dan Pernak Pernik Lewookineng.”

Dalam tulisannya itu dia berusaha menggunakan suatu peristiwa yang tidak jelas, yang konon terjadi pada 20 Juli 1974. Jika peristiwa itu menyangkut upacara pembukaan kebun baru, masa’ dalam kesempatan semacam itu orang bertengkar tentang hak atas Rie Limang Wanang Koke Bale Dungbata-Lewoingu? Perlu dicatat bahwa dari suku Kebele’eng Kelen, bapak Gega Kelen, termasuk salah satu tokoh yang mampu memelihara hubungan kekeluargaan yang sangat baik dengan pihak Ata Maran. Begitu pula sebaliknya. Pemeliharaan hubungan itu dilakukan berdasarkan fakta sejarah tentang relasi Raga dan Boli sebagai kakak beradik kandung. Setelah Marselinus Sani Kelen mengikuti arus pemikiran yang membenturkan Raga dengan Boli, kini dia coba merusak hubungan keluarga Ata Maran dengan keluarga bapak Gega Kelen dengan membenturkan kedua tokoh yang sudah almarhum, seraya memfitnah orang tua kami. Dan tantangan dia untuk membicarakan masalah Rie Limang Wanang itu kecil. Kepada yang bersangkutan perlu diberitahukan secara gamblang di sini bahwa mayoritas anggota suku Kebele’eng Kelen yang mengerti sejarah berada di pihak Ata Maran. Mereka menentang keras berbagai upaya, termasuk upaya yang dilakukan oleh oknum suku mereka bernama Marselinus Sani Kelen itu, untuk merusak hubungan kekeluargaan kedua belah pihak. Mereka itu tahu koda kiring, gata, marang mukeng, sehingga mereka tidak mudah terkecoh oleh koda kiring, gata, penggalan marang mukeng, yang anda tampilkan di blog anda itu, tetapi anda sendiri tidak tahu konteks dan artinya. 

Dan apa yang disebutnya sanksi yang diterima oleh para pemangku adat ketika itu sebenarnya menyangkut isi kotbah yang disampaikan oleh Pater A. Van de Burg SVD di gereja Eputobi. Dalam kotbahnya itu Pater A. Van de Burg SVD menyampaikan ajaran Gereja Katolik bahwa orang Katolik tidak boleh menyembah berhala. Orang-orang yang menyembah berhala tidak boleh ke gereja untuk menyambut komuni. Lantas, benarkah ada sanksi khusus yang diberikan oleh Pater A. Van de Burg SVD kepada para pemangku adat yang dianggap menyembah berhala? Atau jangan-jangan, setelah mendengar kotbah tersebut, ada di antara mereka yang memutuskan untuk tidak ke gereja. Pada tahun 1974, hingga berakhirnya masa tugas Pater A. Van de Burg SVD di Paroki Lewolaga,  masih ada tuh orang-orang yang terbilang pemangku adat yang rajin ke gereja dan menyambut komuni.

Bantahan dari seorang oknum dari suku Kebele’eng Kelen itu dapat dimengerti, mengingat upaya verbal dia selama ini dimaksudkan untuk mempertahankan suatu tesis yang tidak teruji kebenarannya. Tesis termaksud berbunyi, “Boli adalah titik awal sejarah Lewoingu.” Di lain kesempatan dia juga mengatakan bahwa Boli adalah peletak dasar konstruksi sosial Lewoingu. Tesisnya itu dibangun berdasarkan dua alasan. Pertama, karena Boli adalah pemimpin dan menjadi tokoh utama dalam pembangunan Koke Bale Dungbata-Lewoingu. Kedua, karena Boli berhak atas Rie Limang Wanang pada Koke Bale Dungbata-Lewoingu. 

Agar lebih jelas, apa yang dikatakannya itu disusun dalam tiga proposisi kategoris sebagai berikut: Boli adalah pemimpin dan menjadi tokoh utama dalam pendirian Koke Bale Dungbata-Lewoingu. Boli berhak atas Rie Limang Wanang pada Koke Bale Dungbata-Lewoingu. Jadi, Boli adalah titik awal sejarah Lewoingu.

Meskipun dapat dihimpun dalam satu himpunan, tetapi ketiga proposisi tertera di atas tak dapat diperlakukan sebagai suatu argumen. Mengapa? Karena tidak ada kesesuaian hubungan antara proposisi ketiga dengan dua proposisi yang mendahuluinya. Proposisi pertama dan proposisi kedua pun tidak berhubungan secara valid, karena masing-masing proposisi berbicara tentang hal yang berbeda. Tidak ada terminus medius yang menghubungkan proposisi pertama dan proposisi kedua. Dengan demikian, kesimpulan bahwa Boli adalah titik awal sejarah Lewoingu tidak memiliki dasar. Kesimpulannya itu dibuat berdasarkan rangkaian ceritera yang tidak didukung dengan suatu penalaran yang valid.

Isi kesimpulan – Boli adalah titik awal sejarah Lewoingu – itu mudah dibantah. Sejarah menunjukkan bahwa bukan Boli yang menjadi titik awal sejarah Lewoingu, melainkan Gresituli. Gresituli adalah peletak dasar Lewoingu. Tanpa Gresituli tidak ada ceritera tentang Lewoingu. Dan yang disebut Lewoingu itu tidak hanya Dungbata. Yang disebut Lewoingu itu mencakup Dungtana dan Dumbata (Lewolein-Lewowerang). Lein-Werang itu ue’-matang, simbol persatuan sekaligus simbol keseimbangan kosmos. Lein-Werang itu term-term yang relatif. Artinya, kedua term itu senantiasa saling mengandaikan. Mereduksi Lewoingu pada Dungbata adalah suatu kekeliruan yang besar.

Kiranya perlu diperhatikan juga bahwa sebelum Koke Bale Dumbata dibangun, Koke Dungtana sudah lebih dahulu dibangun. Meskipun tidak menggunakan formasi Koten, Kelen, Hurit, Maran, tetapi perangkat-perangkat adatnya tersedia. Perangkat-perangkat adat itu tidak hanya diperlukan untuk upacara di Koke, tetapi juga untuk upacara yang berkaitan dengan kebun, pembangunan rumah, dll.

Lalu, kalau anda berbicara tentang sejarah Lewowerang-Lewoingu (Dumbata-Lewoingu), anda pun perlu ingat bahwa sejarah tersebut tidak bisa dimulai dari Boli. Sejarah Dumbata pun bertitikpangkal pada Gresituli, yang berusaha menghimpun seluruh kekuatan Demong di daerah itu dalam suatu tatanan sosial yang konkret. Dengan hidup bersama, berbagai komponen sosial terkait lebih terlindung dari serangan Paji. Dengan hidup sendiri-sendiri dan terpencar-pencar, mereka dapat menjadi mangsa empuk dari keganasan Paji.

Visi dan misi kemanusiaan Gresituli itu direalisasikan secara mantap oleh putra bungsunya bernama Sani. Sani adalah tokoh yang memperdamaikan mereka yang selama itu sering saling berkelahi, mempersatukan mereka, dan mengharmoniskan relasi antar-mereka. Dalam suasana semacam itulah Raga dan Boli serta tokoh-tokoh dari masing-masing suku yang berhimpun di Dumbata kemudian berkiprah melalui pelaksanaan tugas dan peran khas mereka masing-masing.

Semua komponen sosial yang ada di Dumbata berandil bagi pembangunan Koke Bale. Karena, Koke Bale dirasa sebagai kebutuhan bersama. Yang menentukan keberhasilan pembangunan Koke Bale itu kepemimpinan sosial, yaitu kepemimpinan para Kebele’eng (Kabelen), bukan kepemimpinan individual. Bahwa di antara para Kebele’eng ada yang menjadi pemimpin tertinggi, itu jelas. Dan masyarakat Lewowerang tahu siapa yang menjadi pemimpin tertingginya. Sejak dulu hingga sekarang, hal itu berlaku.

Bersama para Kebe’le’eng yang ada, pemimpin tertinggi itu menentukan pembagian hak masing-masing suku atas tiang-tiang Koke Bale, termasuk menentukan siapa yang berhak atas Rie Limang Wanang. Mula pertama hak atas Rie Limang Wanang itu diberikan kepada Kesowari Bereamang (wruing dari Kebele’eng Koten). Setelah Kesowari Bereamang meninggal, dan karena tidak ada keturunannya yang meneruskan tradisi pemegang hak tersebut, barulah hak tersebut diserahkan kepada Kebele’eng Kelen. Dan hak itu berlaku hingga kini. Tanpa pemimpin dari para pemimpin itu, orang bisa saling mengklaim dan merebut apa-apa yang dianggap menjadi haknya.

Yang tidak boleh dilupakan ialah bahwa hak itu mengandaikan kewajiban. Melalui pelaksanaan kewajiban hak terimplementasikan secara nyata. Hak atas Rie Limang Wanang dan hak atas rie-rie (tiang-tiang) lain pada Koke Bale Lewowerang-Lewoingu sekaligus mengandaikan tugas, kewajiban sosial budaya yang perlu diemban oleh masing pemilik tiang yang bersangkutan. Tugas-tugas penting antara lain menjaga persatuan dan harmoni sosial, menghormati hak hidup orang lain, memelihara dan mengembangkan nilai-nilai luhur, kearifan-kearifan warisan nenek moyang Lewoingu, berani membela yang benar, memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan serta kebaikan bersama, dll.

Setiap pemegang hak atas tiang-tiang Koke Bale mestinya tidak boleh menghasut orang-orang di kampung untuk melanggar adat istiadat, tidak boleh menghasut orang-orang di kampung untuk menyerobot batas tanah orang lain, tidak boleh membunuh orang lain hanya karena rasa iri benci dan berbeda pandangan politik, tidak boleh beramai-ramai pergi ke Tobi Bele’eng dan Blou untuk menghadang, mengeroyok, menganiaya hingga tewas orang yang tidak bersalah, tidak boleh menutup-nutupi dengan segala macam cara perbuatan jahat, termasuk yang dilakukan oleh orang dari suku sendiri, dll.

Dalam perjalanan sejarah keturunan Gresituli, sejauh ini, hanya oknum-oknum tertentu dari suku Kebele’eng Kelen ‘kan yang melakukan pembunuhan secara sadis atas sesama keturunan Gresituli. Siapakah yang membantai secara sadis bapak Biku Lein dan anaknya Tube Lein di kebun dekat Wairewo? Lalu siapakah yang mengkoordonir aksi kejahatan besar pada Senin malam 30 Juli 2007 di Blou? Terpujikah perbuatan jahat oknum-oknum dari suku Kebele’eng Kelen itu? Jangan-jangan oknum-oknum dari suku itu sudah lupa bahwa sukunya adalah pemegang hak atas Rie Limang Wanang.

Lantas proses pengalihan hak atas Rie Limang Wanang dari Kesowari Bereamang kepada Kebele’eng Kelen itu dapat terjadi berdasarkan kesepakatan adat dalam menyikapi masalah atau situasi yang ada pada masa itu. Melalui pengukuhan adat itu, Kebele’eng Kelen memiliki legitimasi atas Rie Limang Wanang tersebut. Dengan itu bobot Boli sebagai salah satu pemimpin dalam sistem kepemimpinan kolektif di Dumbata bertambah. Tetapi Boli bukan menjadi titik pangkal sejarah Lewoingu.

Yang perlu diperhatikan ialah bahwa Rie Limang Wanang itu bukan merupakan simbol kepemimpinan, tetapi simbol kebaikan. Simbolisasi semacam itu berlaku di seluruh dunia. Adalah baik kalau memberi sesuatu kepada orang lain atau menerima sesuatu dari orang lain dengan tangan kanan. Anda dibilang kurang ajar bila memberi atau menerima sesuatu dari orang lain dengan tangan kirimu. Adalah baik kalau edu nuo dimulai dari posisi mata kanan orang yang punya kubur. Adalah baik kalau pembangunan Koke Bale dimulai dari Rie Limang Wanang. Tapi anda juga perlu ingat bahwa setiap tiang di Koke Bale itu sama pentingnya. Simbolisasi yang keliru seperti yang dilakukan oleh Marselinus Sani Kelen itu merupakan bentuk lain dari upayanya untuk menafsirkan sejarah sesuai selera pribadinya. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa Rie Limang Wanang itu simbol kebaikan, bukan simbol kepemimpinan.

Karena terlalu asyik mempertahankan tesis yang tidak teruji kebenarannya itu, Marselinus Sani Kelen malah menuduh leluhurnya Boli sebagai pemberontak yang melawan orang tua dan saudaranya sendiri. Memang jadi lucu, orang-orang lain menghormati Boli, salah seorang keturunannya malah menilainya seperti itu.

Karena terlalu asyik menari bergoyang mengikuti irama genderang yang ditabuh oleh orang lain, dia menyepelekan Gresituli dan Sani, lalu dia menghina Raga, dll. Seorang raja Larantuka pun memberikan respek yang tinggi terhadap Gresituli, yang dengan mudah menumpas Paji di Lewokoli dan sekitarnya, sehingga raja itu tak perlu mengerahkan pasukan tersendiri lagi untuk menumpas Paji di daerah itu. Respek itu ditunjukkan dalam pengakuan Lewoingu sebagai mitra kerajaan Larantuka, bukan sebagai daerah taklukan.Tetapi seorang keturunan Gresituli malah melecehkan bapak pendiri Lewoingu itu.***