Minggu, 28 Juni 2009

Maksud hati menulis sejarah Lewoingu, apa daya tangan tak sampai

Oleh Rafael Raga Maran

 

Menarik bahwa belakangan ini bangkit lagi minat terhadap sejarah Lewoingu pada diri beberapa orang Eputobi di perantauan. Minat itu antara lain ditunjukkan oleh Marselinus Sani Kelen dalam http://marsel-sani-kelen.blogspot.com. Delapan artikel yang dipostingnya di sana sudah saya baca. Salah satu artikelnya yang berbicara tentang sejarah Lewoingu diberi judul: “Sejarah Lewoingu adalah sejarah Boli.”

Tujuan penulisan artikel tersebut adalah untuk memberikan dasar pijak yang jelas, faktual, aktual, dan terpercaya bagi penelusuran sejarah Lewoingu. Untuk itu dia menempatkan Boli sebagai titik awal sejarah Lewoingu. Pernyataan semacam ini baru pertama kali saya dengar. Sebelum ini, saya belum pernah mendengar ceritera semacam itu dari mulut tokoh-tokoh yang layak menjadi narasumber utama bagi studi sejarah Lewoingu, khususnya bagi studi sejarah Lewowerang-Lewoingu. Mungkin saya kekurangan narasumber, sehingga “ketinggalan kereta” dalam hal itu.

Tetapi mari kita menguji, sejauh mana pernyataan tersebut dan beberapa pernyataan lainnya dalam artikelnya itu jelas, faktual, dan terpercaya. Melalui proses pengujian ini, kita akan dapat melihat posisi Sani Kelen dalam diskusi sejarah Lewoingu yang mulai berkembang pada tahun 2007 di http://www.eputobi.net itu.

Proses pengujian atas pernyataan-pernyataan termaksud, saya lakukan dalam beberapa artikel. Dalam artikel ini, saya coba menguji dua hal, pertama, “Apakah Boli adalah titik awal sejarah Lewoingu?” Kedua, “Benarkah pembagian Dong di Lingpati itu terjadi di masa Raga dan Boli?”

 Apakah Boli adalah titik awal sejarah Lewoingu?

Masyarakat Lewoingu, baik yang Lewolein maupun yang Lewowerang mengenal Raga dan Boli sebagai anak Sani, dengan status dan peran sosial khas masing-masing dalam tatanan adat Lewowerang-Lewoingu. Raga dan Boli adalah dua dari sekian cucu Gresituli, sang pendiri Lewoingu.

Jika di dalam tulisan ini kita ingin menonjolkan status dan peran Boli, maka kita perlu mengatakan bahwa Boli adalah salah seorang tokoh penting dalam sejarah Lewowerang-Lewoingu. Tetapi kita juga perlu mengakui bahwa sejarah Lewoingu itu tidak dimulai dari sejarah Boli. Bahkan sejarah Lewowerang-Lewoingu (Dumbata-Lewoingu) tidak dimulai dengan Boli.

Kiranya jelas bahwa sejarah Lewoingu dimulai dan dikonstruksi oleh Gresituli, tak lama setelah dia dan elemen-elemen sosial pendukung setianya berhasil melumpuhkan basis-basis kekuatan Paji Lewokoli dan Lewokaha. Ambrolnya kekuatan Paji Lewokoli dan Lewokaha dengan sendirinya meruntuhkan perkampungan-perkampungan Paji lain di sekitarnya. Bahwa Gresituli tidak sendirian dalam menumpas basis-basis kekuatan Paji di daerah itu, itu jelas. Tetapi tanpa Gresituli, Paji sukar dikalahkan, karena kekuatan Demong di daerah itu tidak terorganisir. Bahkan di daerah itu pun ada sisa-sisa kekuatan Paji yang sewaktu-waktu bisa menimbulkan kerawanan keamanan bagi pihak Demong. Dua suku yang secara khusus diminta bantuannya oleh Gresituli untuk menumpas Paji adalah suku Wulogening dan suku Anging. 

Kemenangan atas Paji ditindaklanjuti oleh Gresituli dengan pembangunan kehidupan bersama di suatu kampung baru yang diberi nama Lewoingu. Ada ceritera menarik yang melatarbelakngi penemuan tempat yang kemudian oleh Gresituli dijadikan tempat permukiman bagi orang-orang yang mau hidup bersama dengan keluarganya. Dari ceritera itu, kita lalu bisa mengerti tentang apa yang disebut Eputobi. Namun ceritera termaksud tak perlu saya beberkan di sini.

Mulanya hanya ada satu komunitas, yaitu komunitas Dung Tana, yang terdiri dari Gresituli dan anggota-anggota keluarga intinya serta anggota-anggota suku-suku yang berhasil membina relasi kerjasama yang baik dengan pihak Gresituli. Dalam proses pembentukan masyarakat Lewoingu itulah, Gresituli pun berinisiatif menghimpun keluarga-keluarga lain untuk membangun kehidupan bersama di Lewoingu. Dari situlah kemudian terbentuk pula komunitas Lewowerang (Dumbata atau ada yang menyebutnya dengan Dung Bata. Perlu diperhatikan bahwa gata Dung Bata Lewoingu Sarabiti Waihali itu bukan asli Lewoingu. Gata semacam itu tidak dikenal dalam periode awal sejarah Lewowerang-Lewoingu. Gata semacam itu merupakan tiruan atas gata raja Larantuka yang berbunyi, Kota Sarabiti Gege Waihali. Dengan gata ini raja Larantuka memberi nama Sarabiti untuk Kota dan nama Waihali untuk Gege. Oleh suku tertentu di Lewoingu yang berasal dari daerah sebelah Timur kota Larantuka, gata tersebut diubah menjadi Dung Bata Lewoingu Sarabiti Waihali. Dengan gata ini mereka sekedar memasukan dua’ Sarabiti dan Waihali ke dalam wilayah Dumbata-Lewoingu. Tapi coba tanya kepada mereka itu apa arti kata Waihali. Saya kurang yakin bahwa mereka itu mengetahui artinya, karena mereka hanya meniru apa yang sudah dikenal oleh masyarakat Larantuka pada zaman itu).

Guna memantapkan kehidupan komunitas Lewowerang, Gresituli menugaskan Sani, si putra bungsu, sang uluwai untuk mewujudkan keamanan, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan bagi masyarakat Lewowerang. Tugas Sani berat, karena dia harus berhadapan secara langsung dengan kekacauan di Lewowerang. Tetapi tugas itu berhasil ditunaikannya.

Selain menghadapi tantangan internal di Lewowerang, Sani bersama kakak-kakaknya dan orangtuanya pun masih harus menghadapi ancaman serangan-serangan sporadis dari sisa-sisa kekuatan Paji yang berusaha come back.  Serangan-serangan ini masih berlanjut ke era Raga dan Boli. Suasana genting sempat tercipta di Lewoingu, ketika benteng pertahanannya nyaris dapat diterobos oleh musuh. Untuk menghancurkan kekuatan musuh, balabantuan dari sesama Demong di sekitar Ile Mandiri antara lain dari Lewotala didatangkan. Itulah sebabnya, di kemudian hari Boli dan sejumlah pejuang lain dari Lewoingu pun dimintai bantuannya untuk ikut berperang membela sesama Demong tersebut ketika kampung mereka diserang.

Berperang membela sesama Demong di luar wilayah Lewoingu, khususnya di daerah Lewotala dan sekitarnya adalah misi yang sering dijalankan oleh Boli. Sedangkan kakaknya bernama Raga standby sebagai pemimpin tertinggi di Lewowerang-Lewoingu, meneruskan tradisi kepemimpinan Sani. Pada suatu hari kepada Raga diinformasikan bahwa Boli sudah tewas di medan perang di luar Lewoingu.  Tetapi Raga tidak mempercayai informasi itu. Kepada si pembawa berita, Raga mengatakan, “Adikku masih hidup dan dia akan kembali ke sini.” Boli kemudian kembali dalam keadaan selamat. Setelah itu, barulah orang percaya akan apa yang dikatakan oleh Raga.

Ketika berada di daerah Lewotala dan sekitarnya itulah, barulah Boli mengetahui secara real penting artinya Koke (Korke) dan Bale bagi kehidupan bersama suatu masyarakat. Kiranya perlu dicatat di sini bahwa menurut tradisi Lamaholot, Koke itu tidak identik dengan Bale. Koke itu kuil, rumah ibadat dan terdiri dari enam tiang. Sedangkan Bale itu rumah besar, rumah bersama dan terdiri dari delapan tiang, yang melambangkan delapan suku utama (suku-suku wukuk matang), yang menjadi fundasi bagi bangunan sosial masyarakat yang bersangkutan. Angka delapan itu dipilih, karena dianggap melambangkan kekuatan yang tak tertandingi oleh kekuatan-kekuatan lain. Koke lebih tua usianya ketimbang Bale. Dalam perkembangannya istilah Koke dan Bale dipadukan menjadi Koke Bale. Juga terjadi bahwa apa yang disebut Bale disebut Koke juga.

Yang diadopsi oleh Komunitas Lewolein (Dung Tana) dari budaya Lamaholot adalah Koke (Korke). Sedangkan yang diadopsi oleh Lewowerang dari budaya Lamaholot adalah Bale. Yang juga diadopsi oleh Lewowerang adalah formasi Koten, Kelen, Hurit, Maran dalam upacara edeng (penyembelihan binatang korban), dan posisi limang wanang (tiang kanan) di Bale. Menurut tradisi di Lewotala, misalnya, posisi limang wanang di Bale ditempati oleh si bungsu, bukan si sulung. Dan ini hanya soal tradisi saja, bukan soal-soal lainnya.

Berdasarkan paparan di atas, saya ingin mengatakan bahwa apa-apa yang dilakukan oleh Boli di Lewowerang-Lewoingu, baik menyangkut pembangunan Bale (Koke Bale) maupun upaya-upayanya untuk mewujudkan keamanan, persatuan, keadilan, dan kesejahteraan bagi masyarakat Lewowerang, itu merupakan bagian dari misi yang sejak lama sudah dijalankan oleh Gresituli dan anak-anaknya. Misi itu juga yang dijalankan oleh Raga. Misi itu dijalankan pula oleh berbagai elemen sosial yang bersepakat untuk membentuk kehidupan bersama di Lewowerang-Lewoingu.

Karya-karya Boli itu dilakukan setelah Lewoingu terbentuk. Karena itu tak bisa dikatakan bahwa sejarah Lewoingu berawal dari sejarah Boli. Bahkan sejarah Lewowerang-Lewoingu pun tidak berawal dari Boli. Sebagai bagian tak terpisahkan dari Lewoingu, sejarah Lewowerang pun bermula dari Gresituli, kemudian dimantapkan oleh Sani. Pemantapan lebih jauh dilakukan oleh Raga dan Boli. Jangan lupa, bahwa dalam proses itu,  para bapak Lewowerang lainnya pun memainkan peranan penting. 

Tokoh-tokoh penting dari suku Kebele’eng Kelen sendiri tidak pernah menuturkan bahwa Boli merupakan titik awal sejarah Lewoingu. Bahwa Boli menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah Lewoingu, khususnya dalam sejarah Lewowerang, itu tentu saja diakui oleh berbagai pihak yang punya pengetahuan yang memadai tentang sejarah Lewowerang-Lewoingu.

Benarkah pembagian Dong di Lingpati itu terjadi di masa Raga dan Boli?

Di era Raga dan Boli tidak dikenal istilah Dong Rua untuk rumah Lingpati. Pada masa itu tidak terjadi pembagian Dong antara Raga dan Boli, karena Lingpati adalah rumah bagi satu keluarga, yang hidup rukun dan damai. Pembagian Dong itu terjadi di kemudian hari oleh sebab lain, yang tidak perlu saya jelaskan di sini. Yang jelas, anggota-anggota suku Kebele’eng Kelen yang tahu sejarahnya mengerti soal itu. Dan karena itu pula, mereka pun tetap memelihara hubungan sangat baik dengan pihak Ata Maran. Mereka tidak mau mengorbankan hubungan kekeluargaan dengan pihak Ata Maran untuk kepentingan lain-lain. Sebaliknya juga berlaku bagi pihak Ata Maran. Dalam untung malang, kami dan mereka (anggota-anggota Kebele’eng Kelen yang bersangkutan) tetap satu keluarga, kami tetap bersatu padu dalam menghadapi berbagai tantangan permasalahan yang datang silih berganti.

Ketika Marselinus Sani Kelen berbicara tentang Dong Rua di Lingpati dalam tulisannya berjudul “Sejarah Lewoingu adalah Sejarah Boli,” suaranya ternyata melenceng jauh dari fakta-fakta tentang sejarah Raga dan Boli. Tanpa disadarinya, dia pun memposisikan Raga dan Boli dalam situasi saling berkonflik, sehingga dia pun merasa perlu untuk membenarkan pendapat tentang pembagian Dong di rumah Lingpati versi para pemalsu sejarah Lewowerang-Lewoingu. Padahal sama sekali tidak terjadi konflik terselubung apalagi konflik terbuka antara Raga dan Boli. Jika sejak dini, Raga dan Boli sudah tidak seiring dan sejalan dalam visi dan misi Lewoingu, khususnya visi dan misi Lewowerang-Lewoingu, mungkinkah mereka dapat mempertahankan sekaligus mengembangkan kejayaan Lewowerang-Lewoingu?

Kiranya perlu ditegaskan di sini bahwa Lingpati adalah rumah yang aman dan damai, penuh dengan kebaikan. Ini berlaku bukan hanya dalam tataran ideal, tetapi juga dalam tataran praktis dari abad ke abad. Tetapi fakta sejarah itu ingin dihapus oleh para pemalsu sejarah Lewoingu. Berbekalkan secuil koda kiring yang mereka peroleh dari narasumber tertentu, para pemalsu sejarah itu ingin membenarkan kebohongan yang dengan sengaja mereka sebarluaskan ke publik. Padahal koda kiring itu dapat dipelintir artinya oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Karena menggunakan versi sejarah palsu, maka Marselinus Sani Kelen pun sanggup menyatakan bahwa Raga menguasai  bagian belakang dong Lingpati, yang berhadapan dengan rumah Lewolein dan Doweng One’eng, dan Boli menguasai bagian depan yang menghadap pintu atau Mada. Selain tidak sesuai dengan fakta hubungan kakak beradik kandung antara Raga dan Boli, pernyataan tersebut tidak sesuai dengan posisi depan belakang Lingpati. Agar lebih jelas, pergilah ke kampung lama dan amatilah sendiri posisi depan belakang Lingpati, lalu perhatikan juga di mana poisi Mada Lewowerang. Meskipun bentuk bangunannya bisa berubah dari zaman ke zaman, posisi depan belakang Lingpati itu tidak berubah sejak pertama dibangun hingga kini.

Yang juga perlu diperhatikan ialah bahwa Lingpati itu rumah panggung dengan satu tangga untuk naik dan turun. Pada tangga yang sama itu naik turun setiap anggota keluarganya dan orang-orang lain yang pergi ke situ. Sama sekali tidak ada tangga khusus untuk Raga. Tidak ada pula tangga khusus untuk Boli. Tidak ada tangga bagian depan. Tidak ada pula tangga bagian belakang. Tidak ada satu bagian khusus dari Dong di Lingpati yang menjadi hak khusus Raga dan bagian lainnya menjadi hak  khusus Boli.

Kiranya jelas bahwa seluruh konstruksi pemikiran bahwa sejak era Raga dan Boli sudah terjadi pembagian Dong di Lingpati itu tidak memiliki pijakan historis. Ceritera tentang Dong Rua itu merupakan suatu dongeng murahan, hasil konstruksi akal bulus dari para pemalsu sejarah Lewowerang-Lewoingu. (Bersambung)