Selasa, 07 Juli 2009

Prahara apa itu?

Oleh Rafael Raga Maran



Pertanyaan di atas muncul setelah saya membaca "Sejarah Lewoingu adalah sejarah Boli" yang ditulis oleh Marselinus Sani Kelen. Dalam artikelnya tersebut kata "prahara" dipadankan dengan kata "masalah." Tetapi apa persis masalahnya tidak dia jelaskan secara gamblang. Dia hanya mengatakan begini,


"Ketika Sani anak Gresituli bertumbuh menjadi keropong mamung, ada masalah yang melanda keluarga besar Gresituli……………"


Lantas dia juga mengatakan,


"Fenomena ini telah menyebabkan konflik horizontal yang menyebabkan kelompok Metinara kopong todo meninggalkan kampung halamannya di ile hingang."


Selain itu dia juga menulis begini,


"Prahara yang menimpa keluarga Gresituli karena perilaku Metinara harus diselamatkan, maka Sani atas saran orangtuanya menikahi keponakannya sendiri yaitu Kene, anak Doweng."


Tidak dijelaskannya apa yang dilakukan oleh Metinara sehingga terjadi konflik horizontal. Tidak dijelaskan pula apa kaitan dari perilaku Metinara dengan perkawinan Sani dengan Kene. Jika perilaku Metinara yang menjadi pemicu konflik horizontal, mengapa konflik tersebut terjadi di Lewowerang dan melibatkan keluarga-keluarga lain di luar kelompok Metinara? Jika perilaku Metinara dikaitkan dengan perkawinan Sani dengan Kene, maka konflik mestinya terjadi antara keluarga besar Gresituli dan kelompok Metinara. Sejarah tidak menuturkan adanya konflik dimaksud. Yang terjadi di Lewowerang pada masa itu adalah konflik atau keributan demi keributan di antara mereka yang bermukim di situ, karena belum terwujud kesalingcocokan di antara mereka.


Keributan demi keributan itu ikut dikipas-kipasi oleh suasana perang melawan sisa-sisa Paji yang masih berusaha untuk kembali berkuasa di daerah sekitar yang telah mereka tinggalkan. Dalam suasana perang semacam itu bangkit pula orang-orang tertentu di Lewowerang untuk saling membusung dada. Tak mengherankan bila suasana hidup di Lewowerang menjadi panas dan lebih panas dari hari ke hari. Suasana semacam ini tentu membahayakan keamanan dan kedamaian hidup di Lewoingu. Maka Gresituli mengutus anaknya bernama Sani untuk menciptakan suasana damai di Lewowerang. Dan misi itu berhasil dijalankan oleh Sani.


Jika benar terjadi konflik antara keluarga Gresituli dan keluarga Metinara, mungkinkah Sani diutus oleh ayahnya untuk mewujudkan perdamaian dan kebaikan bagi komunitas Dumbata? Apalagi penulis "Sejarah Lewoingu adalah sejarah Boli" juga mengatakan bahwa kampung halaman kelompok Metinara terletak di Ile Hingang. Jika kelompok Metinara meninggalkan kampung halamannya itu, maka sejarah Kebele'eng Koten dan Amalubur menjadi lain ceriteranya. Anda perlu perhatikan bahwa dari Metinara lahir suku Kebele'eng Koten dan Amalubur, dua suku yang ikut menjadi wuku' matang di Lewowerang (Dumbata). Benarkah kelompok Metinara melarikan diri ke Lewokung dan Lewomuda dekat Lamika?


Kiranya perlu dicatat di sini bahwa beberapa anggota keluarga suku Koten di Eputobi itu berasal dari Lewokung. Hal ini dibenarkan oleh seorang tokoh di Lewokung bernama Domi Kelen. Tetapi tidak setiap keluarga Kebele'eng Koten di Eputobi berasal dari Lewokung, melainkan berasal dari Metinara yang tidak melarikan diri ke mana-mana. Dari Lewokung saya sama sekali tidak memperoleh ceritera tentang adanya kelompok Metinara yang melarikan diri ke situ. Dari bapak Domi Kelen pula saya mengetahui bahwa ada juga anggota suku Kumanireng di Eputobi yang berasal dari Lewokung. Hal ini dibenarkan oleh seorang ibu bernama Maria Jawa Kumanireng, ketika saya mendiskusikan hal tersebut dengan bapak Domi Kelen. Ibu Maria Jawa Kumanireng sendiri berceritera kepada saya, bahwa dia bersaudara dengan Wadang Kumanireng yang di Eputobi itu.


Ceritera tentang Metinara dan kelompoknya seperti yang dilansir oleh Marselinus Sani Kelen itu rasanya tidak klop dengan jumlah tiang Koke Bale Lewowerang (Dumbata). Jika benar Koke Bale Lewowerang pada awalnya berjumlah 7 (tujuh) tiang, maka jumlah tiangnya sekarang seharusnya 9 (sembilan), bukan 8 (delapan). Soalnya jelas. Dari kelompok Metinara lahir dua suku, yaitu Kebele'eng Koten dan Amalubur. Di dalam kenyataan, jumlah tiang Koke Bale Lewowerang adalah 8 (delapan), yang melambang delapan suku wuku' matang yang bersepakat untuk membangun kehidupan bersama dalam suasana aman dan damai. Jumlah tiang itu sudah berlaku sejak awal pembangunan Koke Bale tersebut.


Dalam tradisi budaya Lamaholot, kita tidak menemukan adanya Koke Bale dengan jumlah tiang 7 (tujuh) dulu baru di kemudian hari digenapkan menjadi 8 (delapan). Perlu anda perhatikan bahwa jumlah tiang Koke Bale itu harus sesuai dengan tradisi adat yang berlaku di Lamaholot. Tiang-tiang itu harus berpasangan menjadi ue' matang untuk menjadi penyanggah yang kokoh bagi rumah bersama itu. Tiang dengan jumlah ganjil bagi sebuah rumah bersama yang dipandang sakral itu merupakan pemali besar dalam tradisi budaya Lamaholot. Jika tradisi adat jumlah tiang Koke Bale itu tidak diperhatikan, maka jumlah tiang Koke Bale Lewowerang bisa ditambah-tambah lagi guna memberi tempat bagi suku-suku yang datang lebih kemudian ke Lewoingu.


Hal yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa pota ile hone woka itu adalah gata dari Gresituli, yang lengkapnya berbunyi Dungtana pota wato pota ile hone woka. Gata ini diucapkan Gresituli ketika dia berhasil menemukan tempat yang aman untuk dijadikan tempat permukiman. Gata itu tidak terkait dengan Metinara yang oleh penulis "Sejarah Lewoingu adalah sejarah Boli" dipandang menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal itu. (Bersambung)