Jumat, 06 November 2009

Komentar-komentar itu menyesatkan dan menjijikkan

Oleh Rafael Raga Maran

 

Apakah anda sudah membaca komentar-komentar atas tulisan-tulisan anda tentang sejarah Lewoingu? Komentarnya ramai lho…

Jelas sudah, meskipun terlambat saya membacanya. Maklum, saya tidak sering berkunjung ke alamat situs internet yang memuat komentar-komentar itu? Oh ya, yang anda maksud adalah komentar-komentar yang ditulis oleh Boli Kelen Pankras itu ‘kan?

Iya! Bagaimana sikap anda sendiri atas komentar-komentar semacam itu? Si komentator mensinyalir bahwa orang lain sudah bosan dengan ceritera anda. Katanya, semakin banyak anda menulis semakin banyak orang yang tidak bersimpati kepada anda?

Ya, komentar-komentar semacam itu ditulis oleh orang yang secara pribadi merasa alergi kalau realitas-realitas sejarah tertentu diungkapkan secara apa adanya. Padahal kalau kita berbicara tentang sejarah, kita perlu kemukakan fakta-fakta terkait. Sejarah tak dapat dibicarakan secara kompromistis guna memenuhi selera pribadi atau selera pihak tertentu. Jika seseorang tidak suka dengan isi catatan-catatan sejarah yang saya buat, itu urusan pribadi dia. Menjadi lucu, kalau ketidaksukaan subjektifnya itu lalu digeneralisasi seakan-akan banyak orang lain pun menjadi bosan dengan isi tulisan-tulisan termaksud dan mereka menjadi tidak bersimpati kepada penulisnya. Catatan sejarah itu dibuat bukan untuk menarik simpati.

Yang penting bagi saya ialah bahwa melalui tulisan-tulisan itu para pembaca dapat belajar sesuatu. Di dalam kenyataan kolom Diskusi Sejarah Lewoingu (atamaran2.blogspot.com) diakses oleh banyak orang. Dengan membaca artikel-artikel yang saya tulis itu, para pembaca yang netral dapat melihat siapa yang memutarbalikkan sejarah Lewoingu, siapa yang mengemukakan kebenaran sejarah Lewoingu. Suka atau tidak suka, blog atamaran sudah menjadi salah satu blog yang populer.  Di dalam kenyataan, si komentator itu sendiri tetap membaca tulisan-tulisan saya tentang sejarah Lewoingu itu. Artinya, dia tidak bosan membaca tulisan-tulisan saya tentang sejarah Lewoingu. Kalau dia tidak membacanya, dia tentu tidak bisa membuat komentar-komentar atas tulisan-tulisan saya.

Oke! Tapi komentar-komentar itu mengandung tuduhan yang cukup serius terhadap anda. Anda dituduh memperlebar permusuhan di lewotana (kampung halaman). Anda dinasihati untuk tidak menjadikan masa lalu sebagai alat penghancur lewotana. Apa tanggapan anda?

Baik! Tuduhan semacam itu merupakan salah satu bentuk pengkambinghitaman. Saya sendiri tidak heran dengan penggunaan cara semacam itu. Selama ini, cara semacam itu telah digunakan oleh komplotan yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan serta kehancuran di lewotana sana. Mereka yang menyebabkan kerusakan serta kehancuran di lewotana, tetapi orang lain yang dituduh sebagai pelakunya. Mereka yang membunuh orang, tetapi orang lain yang dituduh sebagai pelakunya. Mereka yang memecahbelah persatuan dan kesatuan lewotana, tetapi orang lain yang dituduh sebagai pelakunya. Mereka yang membunuh orang, tetapi orang-orang lain yang dituduh sebagai pelakunya.

Yang mereka kambinghitamkan adalah orang-orang yang dipandang sebagai musuh mereka. Jika mereka menganggap anda sebagai lawan atau musuh, maka mereka pun bisa mengkambinghitamkan anda kapan saja. Karena membela upaya pemutarbalikkan fakta-fakta sejarah Lewoingu yang dilakukan oleh saudara sepupunya, si komentator itu pun melancarkan tuduhan palsu, bahwa saya menginjak-injak harga diri sukunya dan memperlebar permusuhan di kampung halaman. Si komentator itu lupa bahwa dengan komentar-komentarnya itu dia telah menjadi bagian dari orang-orang yang menyebarkan kebohongan publik. Hal ini menjadi jelas ketika dia itu sewot setelah membaca tulisan saya yang antara lain mengatakan bahwa Ling Pati itu rumah induk suku Ata Maran dan Manu Jagong adalah rumah induk suku Kebele’eng Keleng. Sikap penolakannya terhadap kata “pemberian” yang saya gunakan dalam konteks pembicaraan tentang Rie Limang Wanang Koke Bale Lewowerang-Lewoingu merupakan suatu keanehan besar.

Si komentator itu pun lupa bahwa masa lalu telah dimanupulasi sedemikian rupa  oleh saudara sepupunya untuk menciptakan permusuhan dengan pihak kami di kampung. Sekarang setelah kenyataan-kenyataan tertentu yang berkaitan dengan sejarah mereka diungkapkan secara apa adanya, dia pun berusaha melawan dengan cara mengkambinghitamkan saya.

Tetapi jelas bahwa, cara semacam itu tak akan berhasil. Masyarakat di seluruh kawasan Lewoingu dan sekitarnya tahu siapa saja yang menghancurkan kampung Eputobi dan siapa saja yang berusaha menjaga serta merawat kelestarian dan kedamaian kampung tersebut. Anda lihat sendiri ‘kan mereka mendramatisasi dan mempolitisasi isi tulisan-tulisan saya sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesan seakan-akan saya yang memulai permusuhan dengan mereka. Padahal oknum-oknum dari sukunyalah yang memulainya. Kebohongan-kebohongan yang mereka sebarluaskan itu tidak boleh didiamkan. Membiarkan kebohongan-kebohongan semacam itu terus berbicara berarti membiarkan apa-apa yang selama berabad-abad terbukti baik dirusak dan dihancurkan. Ya, karena mengemukakan dimensi-dimensi tertentu dari sejarah Lewoingu yang sudah diketahui oleh masyarakat Lewoingu, mereka menuduh saya memperlebar permusuhan. Dengan cara itu, mereka berusaha mempertahankan pendapat-pendapat mereka yang bertentangan dengan sejarah Lewoingu yang sedang didiskusikan itu.

Coba tunjukkan kata-kata mana yang saya pakai untuk menginjak-injak suku si komentator itu. Bukankah isi komentar-komentarnya itu yang justeru menimbulkan permusuhan dengan pihak kami?

Selain menyesatkan, isi komentar-komentarnya itu pun menjijikkan. Saya kira anda tahu sendiri mengapa dikatakan menyesatkan dan menjijikkan. Dengan kata-kata yang menjijikkan itu dia telah menggunakan buku tamu eputobi.net sebagai media untuk mempropagandakan kepentingan pribadinya berdasarkan kebohongan-kebohongan yang disebarluaskan oleh saudara sepupunya. Penulisan komentar-komentarnya di buku tamu eputobi.net itu dimotivasi oleh kepentingan primordialistik, bukan dimotivasi oleh kebutuhan akan persatuan dan kesatuan di lewotana. Kalau dia secara tulus ikhlas memperjuangkan persatuan kesatuan di lewotana, dia tidak perlu memberikan komentar-komentar dengan menggunakan kata-kata yang norak semacam itu. Kami sama sekali tidak membutuhkan simpati dari orang semacam itu. Dalam perjalanan sejarahnya sejak masa kuno hingga kini, suku Ata Maran tidak pernah mengalami kekurangan simpati dan dukungan real dari berbagai pihak.

Ya. Komentar-komentar itu disertai pula dengan kata-kata keras yang ditujukan kepada anda. Apa tanggapan anda?

Bagi saya, barang yang keras itu mudah patah, mudah hancur, mudah remuk. Orang yang mengeluarkan kata-kata yang keras pun mudah hancur juga. Dan pada waktunya nanti, orang yang menuduh tanpa dasar itu akan kena batunya juga. Kita akan terus menyaksikan sampai di mana kemampuan dia dan mereka untuk melancarkan tuduhan semacam itu, sampai di mana pula kekerasan kata-kata dia dan mereka itu kuat bertahan. Biarlah mereka itu patah dan hancur oleh tuduhan palsu dan kekerasan kata-kata mereka sendiri. 

Oke! Sebenarnya masih ada beberapa pertanyaan lain yang ingin saya ajukan kepada anda. Tetapi apa yang telah anda katakan sudah cukup bagi saya. Sebelum pamit dari hadapan anda, saya ingin berpesan, Maju terus pantang mundur demi kebenaran dan keadilan. Jangan takut! ***