Jumat, 30 Oktober 2009

Dong Rumah Panggung di Lewoingu Tempo Doeloe

Oleh Rafael Raga Maran

 

Dalam diskusi tentang Ling Pati di Lewoingu, Flores Timur, istilah dong rua sempat digunakan. Dong adalah istilah Lamaholot yang berarti bale-bale. Rua adalah istilah Lamaholot yang berarti dua. Istilah dong rua mengacu pada dua bagian dari suatu bale-bale. Yang dimaksud di sini adalah bale-bale di suatu rumah panggung yang dikenal di Lewoingu tempo doeloe.

Setiap rumah panggung memiliki satu dong, tempat anggota-anggota suatu keluarga melakukan aktivitas kerumahtanggaan mereka. Di situ, dipasang tungku tempat menanak makanan. Di situ makanan yang sudah ditanak dihidangkan untuk disantap bersama. Di situ pada malam hari mereka tidur untuk melepaskan lelah setelah seharian bekerja. Di situ kerajinan tangan seperti memintal benang dengan suatu perkakas yang disebut mute dikerjakan. Dan masih ada pula kegiatan-kegiatan lain yang dapat dikerjakan di situ.

Orang tua yang memiliki anak gadis yang sudah menjadi pemudi membagi dong di rumahnya menjadi dua bagian. Bagian depan untuk orang tua, dan bagian belakang untuk anak gadisnya. Dengan demikian si gadis tidur terpisah dari kedua orang tuannya. Pada malam hari sebelum tidur, si gadis biasanya memintal benang sebagai bahan untuk membuat sarung. Kadang-kadang pekerjaan itu dilakukan hingga larut malam.

Jika di rumah itu terdapat anak laki-laki yang sudah tumbuh menjadi pemuda, maka si pemuda pun diberi tempat untuk tidur di bagian belakang, tetapi terpisah dari tempat tidur saudarinya. Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa dong bagian belakang itu diperuntukan bagi anak-anak yang sudah tumbuh menjadi pemuda dan pemudi. 

Dapat terjadi bahwa suatu dong memiliki dua (lika lurang) tungku. Satu tungku untuk orang tua, satu lagi tungku untuk anak laki-lakinya yang sudah menikah dan tinggal bersama orang tuanya. Anak laki-laki sulung menjadi pewaris rumah orang tuanya. Jika si sulung mempunyai adik laki-laki, untuk sementara mereka bisa tinggal bersama-sama dalam satu rumah. Setelah menikah, adiknya itu pun akan memilih hidup mandiri. Jika di rumah itu terdapat anak perempuan, maka setelah menikah dia akan keluar dari rumah orang tuanya untuk mengikuti suaminya.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dengan mudah dapat membayangkan adanya pembagian dong di Ling Pati, setelah dua anak laki-laki Sani tumbuh menjadi pemuda dan dua anak perempuannya tumbuh menjadi pemudi. Dengan hadirnya dua pemuda dan dua pemudi, maka dong di rumah Ling Pati pun dibagi menjadi dua bagian. Bagian depan untuk Sani dan Kene, dan bagian belakang untuk kedua anak gadisnya, dengan catatan sebagian dong belakang diperuntukan bagi kedua anak laki-lakinya.

Ketentuan pembagian dong semacam itu perlu diperhatikan agar tidak terjadi asal bunyi ketika kita terlibat dalam pembicaraan tentang dong di Ling Pati. Pembagian dong semacam itu tidak hanya terjadi di rumah Sani, tetapi juga di rumah keluarga-keluarga lain yang memiliki anak gadis dan anak laki-laki yang telah tumbuh menjadi pemudi dan pemuda. 

Kiranya menjadi jelas bahwa pembagian dong di Ling Pati pada era Sani dilakukan berdasarkan alasan tradisional seperti telah dipaparkan di atas. Maka keliru jika ada yang mengatakan bahwa pembagian dong Ling Pati dilakukan berdasarkan  alasan bahwa Raga dan Boli itu berayahkan dua orang yang berbeda. Oleh lawan polemik saya, istilah dong rua telah dipolitisasi sedemikian rupa sehingga bisa mengacaukan pandangan orang tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Ling Pati pada masa itu.

Sebagai anak laki-laki sulung dan sesuai dengan tradisi adat setempat, Raga menempati Ling Pati, sehingga Ling Pati menjadi Rumah Induk Suku Ata Maran (Atamarang). Raga inilah yang meneruskan kepemimpinan Sani di Lewowerang-Lewoingu. Sehingga Ulu Wai’ pun diserahkan kepadanya oleh Sani. Seperti halnya Gresituli mempercayakan Ulu Wai’ kepada Dalu dan Sani, Sani pun mempercayakan Ulu Wai’ kepada Raga. Mustahil kekuatan semacam itu dialirkan dari bawah ke atas. Maka terjadi kekeliruan besar, jika penulis “Lango Limpati” mengatakan bahwa Ulu Wai’ itu diberikan oleh Boli kepada Raga.  

Setelah menikah dan setelah menjadi Kebele’eng Keleng, Boli membangun Manu Jagong sebagai Rumah Induk Suku Kebele’eng Keleng. Di kemudian hari, setelah terjadi kasus ketihe’, keturunan Boli memilih kembali ke Ling Pati. Sejak saat itu, dong di Ling Pati dibagi menjadi dua bagian, sebagian untuk Ata Maran dan sebagian lagi untuk Kebele’eng Keleng. Pembagian itu dilakukan berdasarkan alasan praktis, yaitu menyangkut pelaksanaan tugas dan peranan suku mereka dalam tatanan adat Lewowerang-Lewoingu. Sejak mereka kembali ke Ling Pati, Ling Pati dihuni oleh dua suku, dengan hak, tugas dan tanggung jawab masing-masing. Tetapi pembagian dong itu sama sekali tidak menghapus keberadaan Manu Jagong sebagai rumah induk suku mereka dan keberadaan Ling Pati sebagai rumah induk suku Ata Maran.

Tetapi lantaran Manu Jagong tidak lagi direkonstruksi, maka tak mengherankan bila di antara anak-anak muda mereka pun ada yang tidak mengetahui bahwa Manu Jagong sebagai rumah induk suku mereka. Secara sepihak ada di antara mereka yang mengkleim bahwa Ling Pati adalah hak milik eksklusif mereka. Tetapi kleim seperti yang dilakukan oleh Marsel Sani Kelen itu didasari alasan-alasan semu. ***