Sabtu, 12 Desember 2009

Wato Sina Yawa di Lewoingu, Flores Timur


Oleh Rafael Raga Maran

Di Lewoingu terdapat sebuah barang berupa batu yang diberi nama Wato Sina Yawa. Kata “wato” berarti batu. Kata “Sina” berarti Cina. Kata “Yawa” berarti Jawa. Istilah Sina Yawa yang digunakan orang Lamaholot pada masa itu mengacu pada orang Jawa dan Cina. Selain itu istilah Sina Yawa juga dipakai untuk mengacu pada pulau Jawa.

Sejak era pra-Lewoingu, para pedagang kelontong dari pulau Jawa sudah berdagang di Lewokoli’ dan sekitarnya. Mereka terdiri dari orang Jawa dan orang Cina. Mereka menjual barang-barang yang dibutuhkan oleh penduduk setempat antara lain pigang (piring) dan mako (mangkuk). Aktivitas perdagangan di daerah itu sempat terhenti di masa perang penumpasan Paji. Seusai perang dan setelah Lewoingu terbentuk denyut nadi perdagangan kembali berdetak. Barang-barang tersebut dan barang-barang lain kembali diperjualbelikan. Dan keberadaan barang-barang seperti pigang dan mako pun direkam dalam marang mukeng (doa) Lewoerang-Lewoingu. Dalam marang mukeng tertentu disebutkan kata-kata pigang Sina mako Yawa (piring Cina mangkuk Jawa).

Tetapi Wato Sina Yawa adalah istilah yang tidak berkaitan dengan orang Jawa dan Cina. Wato Sina Yawa itu berkaitan dengan kedatangan beberapa orang Portugis di Lewoingu pada penghuyung abad ke-17. Wato Sina Yawa adalah nama sebuah batu yang terletak di tepi barat pelataran (namang) yang membentang antara Koke Lewoleing dan Koke Bale Lewowerang. Pada batu itu terpahat tulisan yang menunjukkan tanggal kedatangan beberapa orang Portugis di Lewoingu. Itulah Prasasti Lewoingu, yang bertahunkan 1699. Prasasti itu dibuat oleh Monteiro. Sebelum kedatangan Monteiro dkk, batu itu tak punya nama.

Tidak ada informasi yang sangat jelas tentang siapa sesungguhnya Monteiro dan kawan-kawan dan untuk apa mereka datang ke Lewoingu. Tetapi dari tradisi lisan yang berbicara tentang fungsi Wato Sina Yawa, kita dapat menemukan sedikit petunjuk yang memungkinkan kita dapat menduga bahwa di antara mereka terdapat imam Katolik. Tradisi lisan dimaksud bekaitan dengan persiapan perang.

Jika Lewoingu hendak berperang melawan musuhnya, para pemuka adat tidak hanya membuat upacara yang dimaksudkan untuk mencari alasan yang benar untuk berperang. Mereka juga mengingatkan kepada para prajurit Lewoingu bahwa perang yang akan dikobarkan itu adalah perang demi kebenaran. Karena itu siapa pun yang hendak maju ke medan perang haruslah bersih hatinya. Prajurit yang selama ini melakukan kesalahan perlu membersihkan diri terlebih dahulu sebelum ikut maju ke medan perang. Untuk itu para pemuka adat menyuruh orang yang bersangkutan pergi ke Wato Sina Yawa. Di situ dia mengakui segala dosanya dan memohon pengampunan dari Lera Wulang.

Seseorang yang bersalah tetapi nekad maju ke medan perang tanpa melalui proses penyucian diri terlebih dahulu akan menjadi korban pertama keganasan musuh. Sejarah perang berbicara seperti itu. Karena itu ritus penyucian diri menjadi salah satu bagian penting dalam rangkaian ritus persiapan menghadapi perang demi kebenaran dan keadilan. Dalam hal ini Wato Sina Yawa dijadikan tempat penyucian diri.

Yang jadi pertanyaan ialah mengapa Wato Sina Yawa dijadikan tempat penyucian diri? Penggunaan Wato Sina Yawa sebagai tempat penyucian diri rupanya dimulai sejak kedatangan Monteiro dkk ke Lewoingu. Imam Portugis yang datang ke situ menggunakan batu di pinggir barat pelataran itu sebagai tempat pengakuan dosa. Dugaan tentang kedatangan imam Portugis itu diperkuat oleh kenyataan adanya selembar kain piala yang dipakai dalam perayaan ekaristi. Kain yang menjadi salah satu perlengkapan misa itu tentu dibawa oleh seorang imam. Selama beberapa abad kain itu disimpan di rumah suku Lewoleing. Kain itu ikut terbakar ketika rumah suku Lewoleing terbakar beberapa dekade lalu.

Berdasarkan dugaan di atas kita pun dapat membuat dugaan lain, yaitu bahwa tujuan kedatangan Monteiro dkk ke Lewoingu adalah untuk menyebarkan agama Katolik. Dan batu yang kemudian diberi nama Wato Sina Yawa itu dijadikan tempat pengakuan dosa. Imam itu termasuk di antara lima belas misionaris yang bekerja di daerah Flores Timur sejak tahun 1679. Pada tahun terakhir dari masa tugasnya di Flores Timur, yaitu pada tahun 1699, imam itu mampir di Lewoingu.

Siapakah nama imam itu? Apakah imam itu bernama Monteiro? Kita tidak memiliki informasi yang jelas tentang nama imam itu. Yang jelas setelah Monteiro dkk meninggalkan Lewoingu Wato Sina Yawa dijadikan tempat “pengakuan dosa” oleh masyarakat Lewoingu ketika mereka mempersiapkan diri menghadapi perang.

Selain Wato Sina Yawa, di Lewoingu pun terdapat suatu prasasti lain yang juga dipahat oleh orang Portugis. Tetapi prasasti itu sudah tertimbun tanah. ***