Jumat, 24 Juli 2009

Koko Ulu Mado, Bale Lele Bala


Oleh Rafael Raga Maran

Judul di atas saya kutip dari tulisan yang tertera pada sebuah tembok di jalan masuk ke pelataran Koke Bale Lewotala di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Kata Koko yang tertera di situ sama artinya dengan kata Koke. Begitu kata bapak Boli Liwu, yang pada suatu siang terik di suatu hari di bulan Agustus 2008 itu bersedia memandu saya untuk melihat-lihat Koke Bale tersebut. Ulu Mado Lele Bala adalah nama Koke Bale.

Kata-kata itu mengingatkan saya akan kata-kata yang digunakan dalam Marang Mukeng versi Lewowerang-Lewoingu (Dumbata-Lewoingu). Dalam suatu Marang Mukeng disebutkan begini, “…… pakeng ro’ Ulu Mado Leleng Bala.” Di situ Ulu Mado Leleng Bala disebut sebanyak tiga kali. Di Dumbata-Lewoingu, kata lele kadang diucapkan dengan leleng. Ada pula pembawa Marang yang mengucapkan kata ulu dengan ulung. Ini tak jadi soal. Yang perlu kita ketahui ialah bahwa masyarakat Dumbata-Lewoingu pun menamakan Koke Balenya Ulu Mado Lele Bala.

Apa arti Ulu Mado Lele Bala? Artinya, Tempat Kediaman Abadi. Kata Ulu Mado dapat diartikan pula sebagai Pelindung. Kata Lele Bala dapat diartikan pula sebagai Penjaga. Dikatakan Tempat Kediaman Abadi, karena Koke Bale adalah tempat tinggal Lera Wulan sebagai Ibu Pelindung dan Tana Ekan sebagai Bapa Penjaga. Koke Bale adalah tempat tinggal yang megah abadi, yang menghimpun semua anak cucu. Tempat Tinggal Abadi itu berukuran tujuh depa dan lima hasta. Koke Bale adalah lumbung utama bagi masyarakat yang bersangkutan.

Sebagai Tempat Tinggal Abadi yang melindungi dan menjaga setiap warga yang bersangkutan, pembangunan Koke Bale dilakukan melalui persiapan yang baik dan matang dalam suasana tenang dan damai. Keributan sekecil apa pun, kemarahan atau kedongkolan sekecil apa pun yang terdapat di dalam diri mereka yang membangunnya akan menjadi hambatan bagi keberhasilan pembangunan Koke Bale. Syarat semacam ini tidak hanya berlaku di masyarakat Lamaholot di luar Lewoingu, tetapi berlaku pula di Lewoingu termasuk di Dumbata. Syarat lainnya ialah bahwa bahan-bahan yang diperlukan untuk membangun Koke Bale sebagai rumah bersama itu ditanggung secara gotong royong. Tidak hanya satu orang yang mempersiapkan bahan-bahannya. Soalnya jelas. Pembangunan Koke Bale itu dilakukan melalui proses musyawarah-mufakat. Di dalam proses itu disepakati siapa menanggung apa. Pendek kata, pembangunan Koke Bale dilakukan melalui gotong royong.

Maka pernyataan Marselinus Sani Kelen bahwa “adanya Koke Dungbata adalah sikap pemberontakan Boli terhadap penyimpangan yang terjadi dalam rumah sendiri” merupakan pernyataan yang mengada-mengada. Apalagi dikatakannya pula bahwa Boli pun mendapat hambatan dari orang tua dan saudaranya sendiri. Menurut adat istiadat Lamaholot, orang yang melawan orangtua dan saudaranya sendiri, apalagi yang bermusuhan terhadap orang tua dan saudaranya sendiri meskipun hanya secara terselubung tidak berhasil dalam melakukan sesuatu yang baik bagi Lewotana. Pembangunan Koke Bale adalah suatu urusan yang lebih bersifat sakral ketimbang profan. Maka pekerjaan semacam itu pun hanya dapat dilakukan secara bersama-sama oleh orang-orang yang berhati bersih. Maka pekerjaan itu pun tak dapat dilakukan oleh orang yang bermusuhan dengan orang tua dan saudaranya.

Dan benarkah seorang Boli menanggung sendiri semua bahan atau material untuk pembangunan Koke Bale Dumbata? Apakah dalam persiapan itu, tokoh-tokoh lain termasuk Raga hanya tahu beres? Dan untuk apa dalam urusan itu Raga harus mencucurkan air matanya? Penggunaan kata-kata “Go toking laba waha rona ruba hala, go teta bapaang, go belo kakang” sama sekali tidak menggambarkan adanya perlawanan apalagi permusuhan Boli dengan orang tua dan saudaranya itu.

Perlu diperhatikan bahwa pembangunan Koke Bale sebagai Tempat Tinggal Abadi haruslah berdasarkan restu Ema Lera Wulan Bapa Tana Ekan. Agar restu itu diperoleh segala persyaratan spiritual dan material perlu dipenuhi. Tak boleh ada yang kurang. Salah satu syarat penting adalah relasi dengan Lera Wulan Tana Ekan perlu dipelihara terus menerus dengan baik. Melalui apa? Melalui persembahan korban. Korban itu tidak hanya darah dan tengkorak binatang seperti kambing, tetapi juga darah dan tengkorak manusia. Ini terjadi dalam budaya Lamaholot.

Jika ada kayu-kayu yang ketika dipasang satu sama lain dan ternyata tidak cocok (ruba hala’) itu berarti masih ada yang kurang. Di komunitas tertentu dalam lingkup budaya Lamaholot, ketidakcocokan tersebut ditafsirkan sebagai kekurangan kurban darah dan tengkorak manusia bagi Lera Wulan Tanah Ekan. Menurut pandangan masyarakat yang bersangkutan, Lera Wulan Tanah Ekan tidak hanya bertindak sebagai Pelindung dan Penjaga manusia tetapi juga sebagai penuntut darah dan tengkorak manusia. Karena itu kekurangan itu pun perlu dipenuhi. Dan untuk itu pihak pembangun Koke Bale akan pergi untuk berburu kepada manusia. Jika yang membangun Koke Bale adalah Demon, maka yang diburu adalah kepala orang Paji untuk dipersembahkan kepada Lera Wulan Tana Ekan. Ini terjadi tempo doeloe.

Kiranya jelas, dalam konteks apa kata-kata tertera di atas digunakan. Tidak masuk akal jika kata-kata itu digunakan Boli sebagai ancaman terhadap orang dalam rumah sendiri. Suasana tegang semacam itu justru perlu dihindari demi keberhasilan pembangunan Koke Bale. Demi itu pula, ketenangan dan kedamaian di kampung yang bersangkutan harus betul-betul dijaga.

Lalu perhatikan pula penggunaan kata Gena gelek Raga wanga. Yang terdapat dalam Marang Mukeng adalah …. Gena gere Raga wanga. Kata gelek itu tidak ditemukan baik dalam gata maupun dalam Marang Mukeng. Kata-kata ini - Gena gere Raga wanga - diucapkan dalam Marang Mukeng, yang merupakan bagian dari suatu rangkaian yang berbunyi, Subang mukeng manu Marang, Gena gere Raga Wanga, mamung Boli, Duru Moko, Puru, Sani, Sedu, Doweng. Dalam konteks lain disebutkan, Ling Pati gawi Raga, Gena gere Raga marang. Dalam Marang Mukeng tidak dikenal kata maung. Yang dikenal adalah kata mamung. Memang ada kata maung dalam bahasa Lamaholot yang digunakan di Lewoingu. Tetapi penggunaan kata maung dalam onteks itu tadi tidak klop. Jika dalam upacara adat di Lewoingu, orang bilang belo witi maung, itu berarti witi (kambing) yang dikorbankan dalam upacara itu bukan sembarang kambing, tetapi khusus atau kambing utama yang dipersiapkan untuk dijadikan hewan korban dalam suatu upacara adat dengan suatu liturgi yang cukup panjang. Witi maung (kambing khusus) itu yang dipenggal lehernya oleh Hurit (Lamatukan).

Tidak ada maksud lain dari penyebutan nama-nama itu tadi dalam Marang Mukeng, selain sebagai ungkapan tentang kebersamaan dalam mewujudkan suatu tatanan hidup bersama yang baik, termasuk dalam rangka pembangunan Koke Bale Dumbata-Lewoingu.

Jika anda menempatkan kata-kata tersebut sesuai dengan konteksnya, dan jika anda tidak keliru menafsirkannya, maka anda dapat melihat bahwa pernyataan bahwa pembagian dong di rumah Lingpati berdasarkan alasan seperti yang dikemukakan oleh Marselinus Sani Kelen itu merupakan suatu permainan imajiner subjektif belaka. Itu adalah hasil tafsir subjektif yang out of context. ***