Minggu, 26 Juli 2009

Tentang Rie Limang Wanang Koke Bale Lewowerang-Lewoingu

Catatan untuk seorang oknum dari Suku Kebeleng Kelen bernama Marselinus Sani Kelen

Oleh Rafael Raga Maran

 

Sebelum komunitas Dumbata-Lewoingu (Lewowerang-Lewoingu) membangun Koke Balenya, komunitas Dungtana (Lewolein-Lewoingu) sudah membangun Koke-nya. Sesuai dengan adat kebiasaan sebuah Koke (Korke), jumlah tiangnya 6 (enam), yang melambangkan persatuan atau kebersamaan yang serasi dalam komunitas itu. Masing-masing tiang itu ditanggung oleh Lewolein, Doweng One’eng, Mukin, Wulogening, Useng Hule, dan Lewoanging. Karena meninggal, maka tiang untuk Useng Hule disebut rie ape’ mateng (tiang tanpa api=tiang tanpa pemiliknya lagi).

Menarik bahwa di komunitas Dungtana, sejak dahulu kala hingga kini, orang tak mempersoalkan Rie Limang Wanang (Tiang Kanan). Ketika saya berdiskusi dengan beberapa narasumber di daerah Lamaholot Demong Pagong di luar Lewoingu, saya juga menemukan hal yang sama: orang tidak bicara soal itu. Dalam riset-riset yang dilakukan oleh beberapa misionaris tempo doeloe pun soal itu tidak disinggung.

Dalam perjalanan sejarah Lewoingu, khususnya dalam perjalanan sejarah Lewowerang-Lewoingu atau Dumbata-Lewoingu sejak dahulu hingga akhir awal abad ke-21 pun hal itu tidak diungkit-ungkit. Tetapi akhir-akhir ini, seorang oknum dari suku Kebele’eng Kelen mengungkit-ungkitnya dan menjadikannya sebagai sarana untuk meremehkan pihak lain, khususnya untuk meremehkan Raga dan keturunannya.  Maka dari itu, sedikit diskusi tentang Rie Limang Wanang di Koke Bale komunitas Dumbata-Lewoingu itu diperlukan agar pikiran kita diperkaya dengan wawasan-wawasan historis.

Kiranya perlu diperhatikan sekali lagi bahwa yang dibangun oleh komunitas Lewowerang-Lewoingu (Dumbata-Lewoingu) adalah Bale. Disebut Bale, karena jumlah tiangnya 8 (delapan). Secara praktis, Bale memang lebih cocok dengan kebutuhan masyarakat Dumbata-Lewoingu. Soalnya, masyarakat tersebut terdiri lebih dari enam kelompok sosial. Apa yang aslinya disebut Bale itu kemudian disebut juga Koke Bale.

Tentu saja seluruh proses pembangunan Koke Bale tersebut dilakukan melalui proses musyawarah mufakat dalam suasana yang tenang dan damai. Pembagian tiang-tiang pun dilakukan dalam suasana semacam itu. Dalam musyawarah awal disepakati bahwa Kebele’eng Koten sebagai Ile Jadi memperoleh dua tiang, dengan catatan Kesowari Bereamang, sebagai wruing (yang sulung) memperoleh Rie Limang Wanang. Amalubur memperoleh satu tiang. Ata Maran memperoleh satu tiang. Lamatukan memperoleh satu tiang. Wungung Kweng memperoleh satu tiang, Lewohayong memperoleh satu tiang, dan Kumanireng Belikololong memperoleh satu tiang.

Lantas kapan Kebele’eng Kelen memperoleh Rie Limang Wanang (Tiang Kanan)? Jawabannya sangat jelas, yaitu setelah Kesowari Bereamang dari Kebele’eng Koten Wruing meninggal. Karena tidak ada keturunannya yang menggantikannya, maka melalui proses adat, Rie Limang Wanang itu dialihkan kepada Kebele’eng Kelen.

Lantas siapa yang memimpin musyawarah pembagian tiang-tiang itu? Untuk menjawabnya, coba anda tanyakan sendiri kepada orang-orang tua dari suku Kumanireng Blikololong yang tahu perjalanan sejarah mereka sendiri. Tanyakan kepada mereka itu, dari manakah mereka memperoleh tiang di Koke Bale Lewowerang-Lewoingu (Dumbata-Lewoingu)?

Itulah konteks yang memungkinkan orang bicara bahwa mulanya ada 7 (suku), walaupun sebenarnya ada delapan suku. Pembicaraan tentang 7 (tujuh) suku seperti yang pernah ditayangkan oleh situs web tertentu itu jelas out of context. Demikian pula halnya dengan upaya oknum tertentu dari suku Kebele’eng Kelen yang akhir-akhir ini begitu sibuknya bicara tentang Rie Limang Wanang di Koke Bale Dumbata-Lewoingu itu. ***