Sabtu, 18 Juli 2009

Sani, Raga dan Boli

Oleh Rafael Raga Maran

 

Konflik yang terjadi di Lewowerang (Dumbata) tidak disebabkan oleh perginya Metinara dan kelompoknya dari tempat tinggal mereka di Ile Hinga (Ile Hingang), tetapi karena antara pihak yang satu dan pihak lain yang pada waktu itu mulai bermukim di Lewowerang belum terjadi kecocokan satu sama lain. Maklum, sebelumnya mereka hidup terpisah-pisah satu dari yang lain. Untuk merealisasikan suatu bentuk kehidupan bersama yang harmonis diperlukan seorang pemimpin yang kharismatis. Pemimpin yang kharismatis itu adalah Sani, putra bungsu Gresituli.

Berbekalkan Ulu Wai’ yang diberikan oleh Gresituli, Sani berhasil menyejukkan suasana panas di Lewowerang. Bara api konflik dipadamkannya satu per satu. Kebersamaan dan harmoni sosial dirajutnya hari demi hari. Sejarah tidak menuturkan ketidaksanggupan Sani dalam menjalankan misi kemanusiaannya di Lewowerang-Lewoingu. Pendek kata, Sani berhasil menjalankan misi kemanusiaan itu. Dan itulah sebabnya, dia pun menjadi Raya Pertama bagi Lewowerang-Lewoingu (Dumbata-Lewoingu). Tanpa Sani, kekacauan di Lewowerang akan terus berlanjut. Jika Sani tidak berhasil memadamkannya, kekacauan itu dapat mengancam keamanan Lewoingu.

Sani itu pula yang merintis suatu model kepemimpinan kolektif, yaitu kepemimpinan para Kebele’eng (Kabelen) di Lewowerang-Lewoingu. Model kepemimpinan ini dibangun berdasarkan proses musyawarah-mufakat. Di kemudian hari, model kepemimpinan ini menemukan bentuknya yang lebih jelas dalam proses pembangunan Koke Bale Dumbata-Lewoingu.

Duduk dalam jajaran pimpinan Dumbata-Lewoingu adalah tokoh-tokoh dari suku-suku yang disebut wuku’ matang lewo tana. Di Lewowerang terdapat 8 (delapan) suku wuku’ matang-lewo tana, yaitu Ata Maran, Kebele’eng Koten, Kebele’eng Kelen, Lamatukan, Amalubur, Wungung Kweng, Lewohayong, dan Kumanireng Blikololong. Selain delapan suku tersebut terdapat suku-suku lain, yang karena datang belakangan di Lewowerang-Lewoingu, maka mereka itu tidak dapat dimasukkan ke dalam grup wuku’ matang lewo tana itu. Suku-suku dimaksud adalah Lewohayong Witiwareng, Wungung Padung, Wungung Kehule, Lewoema Lere’eng (Suku Emar), Sogemaking, Lamamanuk, Wungung Beoang, dan Kumanireng Blikopukeng. Lalu masih terdapat dua suku yang ikut bergabung dengan Dumbata-Lewoingu, yaitu Bentu (Betu) dan Kelasa.

Dalam hal kepemimpinan, tongkat kepemimpinan Sani kemudian dialihkan ke Raga. Mengapa ke Raga, bukan kepada yang lain? Karena, Raga adalah putra sulung Sani. Ini sesuai dengan model kepemimpinan tradisional Lamaholot. Ikut diwariskan kepada Raga adalah kekuatan yang disebut Ulu Wai’. Dari situlah Ulu Wai’ kemudian mengalir dan menjiwai hidup suku Ata Maran dari generasi ke generasi hingga kini. Di Lewoingu, selain Ata Maran, Doweng One’eng pun mewarisi Ulu Wai’. Perlu dicatat bahwa Gresituli memberikan Ulu Wai’ itu kepada Dalu dan Sani. Dari Sani, Ulu Wai’ itu diwariskan kepada Raga.

Berkat Ulu Wai’ itulah pihak Ata Maran, sejak zaman kuno hingga kini mampu menyelamatkan nyawa sejumlah orang dari ancaman pembunuhan. Sebagai contoh, setelah Bei Kelen, Sedu-Doweng Kelen, dan Keba Kelen membunuh bapak Biku Lein dan anaknya bernama Tube Lein, isteri Bei Kelen dan dua orang anak mereka yang masih kecil (Marni Kelen dan Toni Kelen) pun mengungsi ke rumah Bernardus Sani Ata Maran untuk berlindung. Setelah keluar dari bui, Bei Kelen dan adik-adiknya itu pun tinggal di rumah Bernardus Sani Ata Maran. Anak ketiga dari Bei Kelen, bernama Esmi Kelen, lahir di rumah Bernardus Sani Ata Maran. Ikut tinggal di rumah Bernardus Sani Ata Maran adalah ibu kandung dari Bei Kelen.

Dengan tinggal di rumah Ata Maran, mereka terlindung dari ancaman pembunuhan. Setelah ancaman tersebut mereda dan keadaan dianggap aman barulah mereka meninggalkan rumah Ata Maran untuk selanjutnya menekuni jalan hidup mereka masing-masing. Setelah meninggalkan rumah Ata Maran, Bei Kelen dan Keba Kelen memilih tinggal di luar wilayah Lewoingu. Sedangkan Sedu-Doweng Kelen tinggal di Riang Duli.

Lantas bagaimana dengan Boli? Boli adalah adik kandung Raga. Raga dan Boli adalah anak kandung Sani dan Kene. Sebagai adik kandung, Boli tentu saja mendukung sepenuhnya posisi Raga sebagai pemimpin tertinggi adat Lewowerang-Lewoingu. Dalam tatanan adat Lewoingu, khususnya menyangkut edeng (upacara penyembelihan binatang korban), Raga bertugas sebagai pemimpin Marang-Mukeng (pemimpin doa), Boli bertugas sebagai pemegang tali yang diikatkan pada bagian tengah perut binatang korban. Ujung tali yang dipegangnya ditarik ke arah ekor. Dari situlah nama Kebele’eng Kelen berasal. Orang yang memegang tali yang diikatkan pada leher binatang korban dan yang ujungnya ditarik ke arah kepala disebut Kebele’eng Koten. Orang dari suku Lamatukan bertugas sebagai pemotong leher binatang korban. Mengikuti formasi Lamaholot Demong Pagong, suku Lamatukan disebut juga suku Hurit. Maka di Lewoingu dikenal juga Koten, Kelen, Hurit, Maran. Empat suku lain yang termasuk wuku’ matang lewo tana tentu terlibat aktif pula dalam upacara tersebut melalui pelaksanaan tugas-tugas tertentu.

Jika dalam “Sejarah Lewoingu adalah sejarah Boli,” Marselinus Sani Kelen mengatakan bahwa hasil perkawinan Sani dan Kene melahirkan Boli, maka kepadanya dapat diajukan pertanyaan ini, Raga itu lahir dari perkawinan siapa dengan siapa? Selain itu, dia juga mengatakan bahwa ….. Sani tidak cukup kuat untuk mengambil peran ini, maka ia memberikan kewenangan itu kepada Boli sebagai anak kandungnya. Yang dia maksud dengan kewenangan adalah pota ile hone woka. Jika Boli anak kandung Sani, yang jadi pertanyaan ialah, Raga anak kandung siapa?

Mudah-mudahan penulis “Sejarah Lewoingu adalah sejarah Boli” memiliki jawaban jitu atas pertanyaan tersebut. ***