Sabtu, 05 September 2009

Gresituli, Keropong Ema, Hatang

Oleh Rafael Raga Maran

 

Setelah meluncurkan tanggapan atas ngawurisme dalam “JUJURLAH MENJADI DIRI SENDIRI” saya menunggu tanggapan balik dari Marselinus Sani Kelen. Yang saya harapkan dari orang ini adalah keberanian dan kesanggupannya untuk mempertahankan segala macam omong kosongnya tentang sejarah Lewoingu itu. Saya pun berharap dia mampu mempertahankan gairahnya untuk terus menyebarluaskan fitnah dan penghinaan baik terhadap leluhur Ata Maran, terhadap ayah dan kakek saya maupun terhadap saya sebagai pribadi. 

Tetapi hingga kini, tanggapan balik dari orang yang konon memiliki lebih banyak referensi sejarah Lewoingu ketimbang referensi yang saya miliki itu belum juga muncul. Yang tampak jelas adalah gelagatnya untuk meninggalkan panggung polemik sejarah Lewoingu tanpa pamit. Padahal polemik sejarah Lewoingu belum mencapai puncaknya. 

Sambil menunggu kejelasan apakah orang itu masih punya nyali untuk terus bertahan di arena polemik, saya ingin membuat beberapa catatan tentang tiga tokoh, yaitu Gresituli, Keropong Ema, dan Hatang. Gresituli dan Keropong Ema itu kakak beradik kandung. Hatang adalah orang yang berjasa dalam membantu Gresituli dan Keropong Ema memenangkan suatu pertempuran di tanah Jawa. Berkat petunjuk teknis dari Hatang, Gresituli dan Keropong Ema berhasil mengalahkan musuh-musuh mereka.

Gresituli dan Keropong Ema

Ceritera tentang terjadinya pertempuran tersebut dilengkapi dengan ceritera tentang perjalanan Gresituli dan Keropong Ema dari tanah Jawa ke arah timur. Dalam perjalanan tersebut, mereka singgah di Bali dan Labuan Bajo. Dari Labuan Bajo, mereka terus bergerak ke arah timur. Perjalanan itu membawa mereka ke Lio, kemudian ke Hewa. Di Wai’ Ula’ di Hewa, Keropong Ema dibunuh. Di daerah itu pula jenazahnya dikuburkan.

Gresituli yang lolos dari ancaman maut itu meneruskan perjalanannya ke arah timur. Ia kemudian tiba di Ile Kehue. Selain Ile Kehue, dalam kisah perjalanan itu disebutkan pula kampung Nobo. Gresituli kemudian tiba di Lewokoli, dan tinggal untuk pertama kalinya di situ.

Sekelumit ceritera tentang perjalanan Gresituli dan Keropong Ema tersebut di atas menunjukkan bahwa Gresituli tidak dilahirkan di Tana Beto. Seandainya benar bahwa Bota Bewa pernah menemukan seorang bayi di Tana Beto, bayi itu tentu bukan Gresituli. Jika Nuho Rehing dan Bota Bewa yang memelihara Gresituli, mengapa mereka tidak mampu memberinya nama? Adakah orang tua, entah orang tua kandung entah orang tua angkat yang tidak mau memberikan anaknya nama?

Sekelumit ceritera perjalanan terpapar di atas pun menunjukkan bahwa Gresituli itu berasal dari tanah Jawa. Dengan perkataan lain, Gresituli itu bukan penduduk asli setempat. Dia tidak termasuk kelompok Ile Jadi. Dia terbilang dalam kelompok Sina Jawa. Perlu dicatat di sini bahwa suku-suku yang mendiami daerah itu terdiri dari kelompok Ile Jadi (penduduk asli), kelompok Sina Jawa, kelompok Keroko’ Pukeng, dan kelompok yang berasal dari pulau-pulau lain.

Sebagai pendatang baru pada masa itu, Gresituli tentu saja tidak serta merta memperkenalkan diri kepada orang-orang yang belum dikenalnya dengan baik. Maka untuk periode tertentu, orang-orang di daerah itu tidak mengenal namanya. Setelah dia sendiri memperkenalkan namanya, barulah mereka mengetahui bahwa si pemuda itu bernama Gresituli.

Nama itu kemudian menjadi terkenal, berkat kepemimpinannya dalam perang melawan Paji, dan dalam pembangunan kampung Lewoingu bagi masyarakat Demong setempat. Dia terkenal sebagai pemimpin Demong di daerah itu. Pengaruhnya yang kuat menjalar hingga ke Henga. Berkat kepemimpinan Gresituli, maka masyarakat di kampung-kampung seperti Leworook, Lewotobi, Tuakepa, dan Tenawahang pun menganggap Lewoingu sebagai kakak. Sedangkan masyarakat Pukuunu, Palue, Sukutukang, Boru dan sekitarnya menganggap Lewoingu sebagai ema-bapa (orang tua).

Kiranya perlu diperhatikan bahwa tidak hanya mereka yang disebut Ile Jadi yang termasuk dalam kelompok Demong. Suku-suku lain yang berasal dari luar kelompok Ile Jadi pun tergabung dalam kelompok Demong. Maka jelas keliru ketika Donatus Doni Kumanireng berusaha menyangkali fakta bahwa Gresituli itu termasuk dalam kelompok Sina Jawa. Dia juga keliru ketika mengatakan bahwa “dalam tradisi Lamaholot di seluruh Flotim, Lembata, dan Alor, ada dua kelompok asal manusia, yaitu TENA MAO dan ILE JADI.” Padahal tena mao itu bukan istilah yang menunjuk pada asal usul manusia, melainkan pada sarana yang digunakan oleh sekelompok orang yang berpindah dari tempat asalnya lalu mendarat dan menetap di Flores Timur, dan di pulau-pulau kecil di sekitarnya. Dalam berbagai literatur yang berbicara tentang asal-usul suku-suku di Lamaholot pun kata tena mao tidak dipakai sebagai sebutan untuk asal-usul kelompok sosial tertentu.

Penyangkalan tentang asal usul Gresituli tersebut di atas diulang oleh Marselinus Sani Kelen. Kedua orang ini berusaha membela posisi Gresituli sebagai Demong Pagong. Tetapi bagi mereka, yang terbilang dalam kelompok Demong Pagong itu penduduk asli (Ile Jadi), bukan tena mao. Padahal di dalam kenyataan tidak demikian halnya, sebagaimana telah disinggung di atas. Masuknya Gresituli ke dalam kelompok Demong (Demong Pagong) itu bukan karena dia itu penduduk asli, melainkan karena keberpihakannya yang jelas dan tegas terhadap kelompok Demong dalam perang melawan Paji. Sebelum kedatangan Gresituli, di Flores Timur daratan dan di pulau-pulau kecil di sekitarnya sudah terdapat dua kelompok sosial yang saling bermusuhan, yaitu kelompok Demong dan kelompok Paji. Kenyataan ini tidak menjadi halangan bagi Gresituli dan orang-orang bukan penduduk asli lainnya untuk bergabung ke dalam kelompok Demong.

Bagi Donatus Doni Kumanireng dan Marselinus Sani Kelen, Gresituli termasuk kelompok Ile Jadi, karena, menurut mereka, dia lahir di Tana Beto. Padahal ketika datang ke daerah itu, Gresituli adalah seorang pemuda yang gagah berani. Dan diperlukan waktu bagi orang-orang yang sudah lebih dahulu bermukim di daerah itu untuk mengenal namanya. Justru karena yang mereka jumpai itu seorang pemuda, maka tidak mungkin pula mereka memberikan nama kepadanya. Orang yang bersangkutan tentu sudah punya nama, meskipun mereka belum mengetahui siapa namanya. Pernahkah anda bertemu seseorang yang belum anda kenal namanya, lalu anda pun memberinya nama? Kalau anda pernah melakukan hal semacam itu, maka anda termasuk orang yang sungguh-sungguh tidak tahu diri.

Hatang

Setelah membaca tulisan saya, baru Donatus Doni Kumanireng pun mengetahui adanya tokoh bernama Hatang di Wolo tempo doeloe. Dari pengecekannya ke narasumber di Wolo dan mungkin juga ke narasumber lainnya, dia pun mengetahui bahwa seorang anak puteri Hatang bernama Peni Hera dinikahi oleh putra sulung Gresituli bernama Doweng. Lalu dia juga mengetahui bahwa Hatang adalah salah seorang tokoh yang berperan aktif dalam usaha menumpas Paji.

Tetapi dia tentu tidak mengetahui bahwa pernikahan antara Doweng dan Peni Hera mungkin terjadi berkat adanya pertalian di masa lalu di tanah Jawa antara Gresituli dan Keropong Ema dengan Hatang. Setelah memenangkan pertempuran tersebut di atas, Gresituli dan Keropong Ema pun berpisah dengan Hatang. Tetapi sebelumnya mereka sudah saling mengetahui bahwa mereka bergerak ke arah timur. Hatang yang seorang pelaut menggunakan perahunya. Sedangkan Gresituli dan Keropong Ema menempuh jalan darat. Sebagai tanda persahabatan, Hatang memberikan cincin miliknya kepada Gresituli. Ketika memberikan cincinnya kepada Gresituli, Hatang berpesan, pakailah cincin ini, siapa tahu kita akan bertemu lagi di suatu waktu nanti.

Setelah Doweng tumbuh menjadi pemuda, Gresituli memberikan cincin itu kepadanya. Dan cincin itu dikenakan Doweng ketika dia melakukan kegiatan progung di Wolo. Pada zaman itu, progung merupakan salah satu metode yang digunakan oleh seorang pemuda yang ingin mencari jodoh. Tetapi kehadiran Doweng pada malam itu di Wolo sempat dianggap mengganggu. Maka sempat terjadi keributan dan Doweng nyaris menjadi korban kemarahan para pemuda setempat. Mendengar adanya keributan itu, Hatang pun berusaha mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Ketika dia memandang ke arah terjadinya keributan, dia melihat adanya cahaya yang terpantul dari jari tangan anak muda yang ingin dihakimi oleh para pemuda itu. Malam itu cahaya bulan menerangi bumi, dan cincin yang dikenakan Doweng memantulkan cahaya bulan.

Melihat itu, Hatang lalu mengatakan kepada para pemuda itu, jangan apa-apakan dia. Bawa dia ke mari. Hatang yang tertarik dengan pantulan cahaya itu memperhatikan cincin yang dikenakan Doweng. Setelah terjadi tanya jawab, Hatang pun mengetahui bahwa pemuda yang berada di hadapannya adalah putera Gresituli. Mendengar nama Gresituli, Hatang pun merasa yakin bahwa cincin yang berada di jari manis Doweng itu adalah tanda mata yang dia berikan kepada Gresituli ketika mereka hendak berpisah di suatu tempat di tanah Jawa. Dari Doweng, Hatang akhirnya tahu bahwa cincin itu diperoleh dari Gresituli. Setelah mengetahui bahwa pemuda di hadapannya itu adalah putera Gresituli, maka Hatang pun merestui Doweng untuk berpacaran dengan anak puterinya bernama Peni Hera. Doweng dan Peni Hera  kemudian menikah.

Keberadaan seorang tokoh bernama Hatang di Wolo menjadi salah satu bukti historis tentang dari mana Gresituli berasal. Seperti halnya Hatang di Wolo, Gresituli pun termasuk kelompok Sina Jawa, yang bergabung dalam kelompok Demong. Dengan bergabung ke dalam kelompok Demong, mereka menjadi sekutu Raja Larantuka yang pada zaman itu melancarkan politik perang untuk menumpas kekuatan Paji di wilayah kerajaannya. ***