Minggu, 20 September 2009

Gresituli Tidak Dilahirkan di Tana Beto

Oleh Rafael Raga Maran

 

Ceritera tentang perjumpaan Gresituli dan Keropong Ema dengan Hatang di tanah Jawa, dan ceritera tentang perjumpaan kembali Gresituli dengan Hatang melalui tali pertunangan dan perkawinan antara Doweng dan Peni Hera, seperti saya kemukakan dalam tulisan saya berjudul “Gresituli, Keropong Ema, Hatang” secara jelas menunjukkan bahwa Gresituli itu berasal dari Jawa. Dia termasuk kelompok Sina Jawa. Karena itu merupakan suatu kebohongan besar, jika ada yang mengatakan bahwa Gresituli lahir di Tana Beto yang terletak di antara kampung Eputobi dan kampung lama (Lewookineng).

Tana Beto adalah istilah yang dipakai untuk menunjuk pada tanah tempat kelahiran atau kemunculan seseorang yang menjadi leluhur pertama kelompok sosial tertentu. Istilah Tana Beto itu dikenal di sejumlah daerah Lamaholot. Istilah ini berkaitan dengan mitos tentang asal usul kelompok sosial tertentu yang merupakan penduduk asli di daerahnya. Masyarakat Wolo, tetangga di sebelah timur kampung Eputobi pun mengenal istilah Tana Beto. Di Solor pun dikenal istilah Tana Beto.

Masyarakat Lewoingu pun menggunakan istilah Tana Beto dalam arti seperti disebut di atas. Tetapi ketika istilah itu digunakan untuk menunjukkan tempat kelahiran atau asal usul Gresituli, maka kontan terasa janggal. Dikatakan janggal karena Gresituli itu tidak berasalusul dari tanah yang kemudian disebut Tana Beto itu. Dia datang dari tanah Jawa dalam sosok seorang pemuda gagah. 

Karena Gresituli itu tinggal di lingkungan Paji, maka kelompok-kelompok sosial (suku-suku) tertentu yang tidak termasuk kelompok Paji, yaitu suku-suku pendatang yang konon sudah lebih dahulu tinggal di kampung-kampung di sekitar permukiman Paji, pun terlambat mengenalnya. Maklum, dia tinggal di lingkungan Paji. Dia mencari nafkah hidup sehari-hari sebagai seorang petani ladang. Dia menggarap tanah milik Paji. Dia juga mengiris tuak pada pohon-pohon lontar yang tumbuh di tanah milik Paji. Dari tanah miliki Paji itu pula, dia pun pernah memperoleh hasil berlimpah, sehingga sebagiannya dapat dia gunakan untuk membeli gading guna membayar belis kepada keluarga mertuanya.

Selain dengan Paji, Gresituli pun berinteraksi dan menjalin relasi sosial yang sangat baik dengan penduduk asli. Seorang penduduk asli yang sangat berwibawa pada zaman itu bernama Nobo. Karena tidak memiliki keturunan, maka Nobo mengangkat Tobi sebagai anaknya. Oleh Nobo, Gresituli pun kemudian dianggap sebagai anaknya. Nobo, Tobi, dan Gresituli dikenal sebagai tiga jago perang. Di wajah Nobo terdapat bekas luka akibat serangan panah musuh.

Selain jago perang, Nobo pun dikenal sebagai pemilik kambing. Dia juga memiliki keahlian dalam menganyam lawa (alat penangkap landak) dan belutu’ (alat penangkap ikan). Nobo inilah yang mengajari penduduk setempat untuk menganyam lawa dan belutu’. Sedangkan Tobi adalah pemilik Epu’ yang kini terletak di tengah kampung Eputobi itu. Pada masa itu tempat itu disebut Tobiepu’ung, yang berarti Epu’ milik Tobi. Di kemudian hari baru dibalik menjadi Eputobi. Orang-orang yang tidak tahu sejarah itu mengira bahwa nama Eputobi itu berasal dari kata Epu’ dan Tobi yang berarti pohon asam. Dalam kebudayaan Lamaholot, kata Epu’ berarti batu yang dijadikan meja persembahan. Selain itu, kata Epu’ juga berarti pondok tempat berkumpul orang-orang tertentu. Maka yang disebut Epu’ itu tentu punya pemilik. Dan pemilik Epu yang dimaksud di sini adalah Tobi.

Seperti halnya Nobo, Tobi juga penduduk asli yang tidak mempunyai keturunan. Karena Gresituli mempunyai keturunan, maka Tobi pun pernah berpesan kepadanya agar namanya pun diingat dalam keturunannya. Itulah sebabnya di antara keturunan Gresituli pun ada yang diberi nama Tobi untuk mengenang tokoh yang menjadi saudara Gresituli itu.

Sedangkan jalinan sosial yang baik dengan kelompok-kelompok pendatang lainnya di daerah itu terjadi belakangan, setelah meletus perang melawan Paji, terutama setelah Gresituli mengetahui bahwa kelompok-kelompok itu pun melawan Paji. Perlu diperhatikan bahwa dalam rangka menaklukkan Paji, Gresituli pada mulanya tidak meminta bantuan dari kelompok-kelompok tersebut tetapi dari suku-suku lain yang tinggal di daerah utara Flores Timur seperti suku Lewoanging dan Wulogening. Ceritera tentang kesepakatan kelompok-kelompok sosial termaksud untuk mematai-matai gerak-gerik Gresituli dan keluarganya setelah dia berpindah ke Lewowato, seperti ditulis dalam “Nukilan Sejarah desa Lewoingu, kampung Eputobi” di www.eputobi.net, menunjukkan bahwa para anggota kelompok itu tidak mengenal siapa itu Gresituli sesungguhnya. Ini mengandaikan bahwa hingga masa ketika Gresituli dan keluarganya bermukim di Lewowato, kelompok-kelompok sosial itu belum menjalin relasi sosial yang baik dengannya.

Karena tinggal di lingkungan Paji, maka di antara anak perempuan dari Gresituli pun ada yang menikah dengan pria Paji. Pernikahan itu berlangsung sebelum terjadi aksi Tekung Paji alias perang melawan Paji. Dan kiranya perlu dicatat di sini bahwa pada masa ketika terjadi perkawinan antara anak perempuan Gresituli dengan pria dari kelompok Paji itu, di Lewohari masih bermukim Paji Watangpao. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebelum Watangpao meninggalkan Lewohari, Gresituli sudah berkeluarga dan memiliki beberapa anak gadis. Ketika konflik antara Demong dan Paji mulai merebak di daerah itu, Watangpao dan keluarganya meninggalkan Lewohari.

Kiranya perlu diperhatikan juga bahwa pertempuran Gresituli melawan Paji mulai berkobar, ketika Gresituli dan keluarganya tinggal di Lewowato. Maka menjadi jelas bahwa ceritera tentang penemuan seorang bayi di tempat yang kemudian disebut Tana Beto, dan rangkaian ceritera bahwa bayi itu kemudian dipelihara dan dijadikan anak asuh Lewohari, dan bahwa anak itu kemudian bernama Gresituli, itu merupakan suatu dongeng besar.

Dongeng besar itu diperlakukan sebagai kisah sejarah Gresituli oleh Donatus Doni Kumanireng dan Marselinus Sani Kelen. Di tangan Marselinus Sani Kelen, dongeng itu menjadi makin kentara, ketika dia berceritera bahwa pertumbuhan Gresituli dari seorang bayi menjadi seorang pemuda hanya memakan waktu yang sangat singkat. Ceritera yang dikemas dengan kerangka pikir mitis magis itu tampaknya dia perlukan untuk membela pendapat bahwa Gresituli itu penduduk asli. Padahal pendapat itu tidak sesuai dengan kenyataan. Dikatakan tidak sesuai dengan kenyataan, karena Gresituli itu datang dari Jawa. Dia datang dalam sosok seorang pemuda gagah. Untuk dapat menetap dan tinggal di tanah baru itu, dia tidak membutuhkan proses kelahiran kembali. Yang dia perlukan adalah proses sosialisasi dalam rangka penyesuaian diri dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial masyarakat setempat. 

Penjelasan berdasarkan kerangka pikir mitis magis seperti yang dikemukakan oleh Marselinus Sani Kelen dalam tulisannya berjudul “GRESITULI SANG DEMONG PAGONG” itu tak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. ***