Sabtu, 01 Agustus 2009

Tesis yang rapuh dan simbolisasi yang keliru

Catatan khusus untuk seorang oknum dari suku Kebele’eng Kelen bernama Marselinus Sani Kelen

Oleh Rafael Raga Maran

 

Dimunculkannya nama Kesowari Bereamang sebagai orang yang mula pertama berhak atas Rie Limang Wanang (Tiang Kanan) Koke Bale Lewowerang-Lewoingu (Dumbata-Lewoingu) membuat Marselinus Sani Kelen mulai kehilangan dasar pijak historis untuk mempertahankan pendapatnya bahwa sejak awal mula, Boli berhak atas Rie Limang Wanang. Dalam tulisan berjudul “Tentang Rie Limang Wanang Koke Bale Lewowerang-Lewoingu,”  saya mengatakan bahwa hak Kebele’eng Kelen atas Rie Limang Wanang itu baru dikukuhkan secara adat setelah Kesowari Bereamang meninggal. Tetapi pernyataan yang didasari fakta sejarah tentang pembagian tiang-tiang di Koke Bale tersebut dibantah pula oleh Marselinus Sani Kelen melalui tulisannya berjudul “Masih dari Koke Dungbata dan Pernak Pernik Lewookineng.”

Dalam tulisannya itu dia berusaha menggunakan suatu peristiwa yang tidak jelas, yang konon terjadi pada 20 Juli 1974. Jika peristiwa itu menyangkut upacara pembukaan kebun baru, masa’ dalam kesempatan semacam itu orang bertengkar tentang hak atas Rie Limang Wanang Koke Bale Dungbata-Lewoingu? Perlu dicatat bahwa dari suku Kebele’eng Kelen, bapak Gega Kelen, termasuk salah satu tokoh yang mampu memelihara hubungan kekeluargaan yang sangat baik dengan pihak Ata Maran. Begitu pula sebaliknya. Pemeliharaan hubungan itu dilakukan berdasarkan fakta sejarah tentang relasi Raga dan Boli sebagai kakak beradik kandung. Setelah Marselinus Sani Kelen mengikuti arus pemikiran yang membenturkan Raga dengan Boli, kini dia coba merusak hubungan keluarga Ata Maran dengan keluarga bapak Gega Kelen dengan membenturkan kedua tokoh yang sudah almarhum, seraya memfitnah orang tua kami. Dan tantangan dia untuk membicarakan masalah Rie Limang Wanang itu kecil. Kepada yang bersangkutan perlu diberitahukan secara gamblang di sini bahwa mayoritas anggota suku Kebele’eng Kelen yang mengerti sejarah berada di pihak Ata Maran. Mereka menentang keras berbagai upaya, termasuk upaya yang dilakukan oleh oknum suku mereka bernama Marselinus Sani Kelen itu, untuk merusak hubungan kekeluargaan kedua belah pihak. Mereka itu tahu koda kiring, gata, marang mukeng, sehingga mereka tidak mudah terkecoh oleh koda kiring, gata, penggalan marang mukeng, yang anda tampilkan di blog anda itu, tetapi anda sendiri tidak tahu konteks dan artinya. 

Dan apa yang disebutnya sanksi yang diterima oleh para pemangku adat ketika itu sebenarnya menyangkut isi kotbah yang disampaikan oleh Pater A. Van de Burg SVD di gereja Eputobi. Dalam kotbahnya itu Pater A. Van de Burg SVD menyampaikan ajaran Gereja Katolik bahwa orang Katolik tidak boleh menyembah berhala. Orang-orang yang menyembah berhala tidak boleh ke gereja untuk menyambut komuni. Lantas, benarkah ada sanksi khusus yang diberikan oleh Pater A. Van de Burg SVD kepada para pemangku adat yang dianggap menyembah berhala? Atau jangan-jangan, setelah mendengar kotbah tersebut, ada di antara mereka yang memutuskan untuk tidak ke gereja. Pada tahun 1974, hingga berakhirnya masa tugas Pater A. Van de Burg SVD di Paroki Lewolaga,  masih ada tuh orang-orang yang terbilang pemangku adat yang rajin ke gereja dan menyambut komuni.

Bantahan dari seorang oknum dari suku Kebele’eng Kelen itu dapat dimengerti, mengingat upaya verbal dia selama ini dimaksudkan untuk mempertahankan suatu tesis yang tidak teruji kebenarannya. Tesis termaksud berbunyi, “Boli adalah titik awal sejarah Lewoingu.” Di lain kesempatan dia juga mengatakan bahwa Boli adalah peletak dasar konstruksi sosial Lewoingu. Tesisnya itu dibangun berdasarkan dua alasan. Pertama, karena Boli adalah pemimpin dan menjadi tokoh utama dalam pembangunan Koke Bale Dungbata-Lewoingu. Kedua, karena Boli berhak atas Rie Limang Wanang pada Koke Bale Dungbata-Lewoingu. 

Agar lebih jelas, apa yang dikatakannya itu disusun dalam tiga proposisi kategoris sebagai berikut: Boli adalah pemimpin dan menjadi tokoh utama dalam pendirian Koke Bale Dungbata-Lewoingu. Boli berhak atas Rie Limang Wanang pada Koke Bale Dungbata-Lewoingu. Jadi, Boli adalah titik awal sejarah Lewoingu.

Meskipun dapat dihimpun dalam satu himpunan, tetapi ketiga proposisi tertera di atas tak dapat diperlakukan sebagai suatu argumen. Mengapa? Karena tidak ada kesesuaian hubungan antara proposisi ketiga dengan dua proposisi yang mendahuluinya. Proposisi pertama dan proposisi kedua pun tidak berhubungan secara valid, karena masing-masing proposisi berbicara tentang hal yang berbeda. Tidak ada terminus medius yang menghubungkan proposisi pertama dan proposisi kedua. Dengan demikian, kesimpulan bahwa Boli adalah titik awal sejarah Lewoingu tidak memiliki dasar. Kesimpulannya itu dibuat berdasarkan rangkaian ceritera yang tidak didukung dengan suatu penalaran yang valid.

Isi kesimpulan – Boli adalah titik awal sejarah Lewoingu – itu mudah dibantah. Sejarah menunjukkan bahwa bukan Boli yang menjadi titik awal sejarah Lewoingu, melainkan Gresituli. Gresituli adalah peletak dasar Lewoingu. Tanpa Gresituli tidak ada ceritera tentang Lewoingu. Dan yang disebut Lewoingu itu tidak hanya Dungbata. Yang disebut Lewoingu itu mencakup Dungtana dan Dumbata (Lewolein-Lewowerang). Lein-Werang itu ue’-matang, simbol persatuan sekaligus simbol keseimbangan kosmos. Lein-Werang itu term-term yang relatif. Artinya, kedua term itu senantiasa saling mengandaikan. Mereduksi Lewoingu pada Dungbata adalah suatu kekeliruan yang besar.

Kiranya perlu diperhatikan juga bahwa sebelum Koke Bale Dumbata dibangun, Koke Dungtana sudah lebih dahulu dibangun. Meskipun tidak menggunakan formasi Koten, Kelen, Hurit, Maran, tetapi perangkat-perangkat adatnya tersedia. Perangkat-perangkat adat itu tidak hanya diperlukan untuk upacara di Koke, tetapi juga untuk upacara yang berkaitan dengan kebun, pembangunan rumah, dll.

Lalu, kalau anda berbicara tentang sejarah Lewowerang-Lewoingu (Dumbata-Lewoingu), anda pun perlu ingat bahwa sejarah tersebut tidak bisa dimulai dari Boli. Sejarah Dumbata pun bertitikpangkal pada Gresituli, yang berusaha menghimpun seluruh kekuatan Demong di daerah itu dalam suatu tatanan sosial yang konkret. Dengan hidup bersama, berbagai komponen sosial terkait lebih terlindung dari serangan Paji. Dengan hidup sendiri-sendiri dan terpencar-pencar, mereka dapat menjadi mangsa empuk dari keganasan Paji.

Visi dan misi kemanusiaan Gresituli itu direalisasikan secara mantap oleh putra bungsunya bernama Sani. Sani adalah tokoh yang memperdamaikan mereka yang selama itu sering saling berkelahi, mempersatukan mereka, dan mengharmoniskan relasi antar-mereka. Dalam suasana semacam itulah Raga dan Boli serta tokoh-tokoh dari masing-masing suku yang berhimpun di Dumbata kemudian berkiprah melalui pelaksanaan tugas dan peran khas mereka masing-masing.

Semua komponen sosial yang ada di Dumbata berandil bagi pembangunan Koke Bale. Karena, Koke Bale dirasa sebagai kebutuhan bersama. Yang menentukan keberhasilan pembangunan Koke Bale itu kepemimpinan sosial, yaitu kepemimpinan para Kebele’eng (Kabelen), bukan kepemimpinan individual. Bahwa di antara para Kebele’eng ada yang menjadi pemimpin tertinggi, itu jelas. Dan masyarakat Lewowerang tahu siapa yang menjadi pemimpin tertingginya. Sejak dulu hingga sekarang, hal itu berlaku.

Bersama para Kebe’le’eng yang ada, pemimpin tertinggi itu menentukan pembagian hak masing-masing suku atas tiang-tiang Koke Bale, termasuk menentukan siapa yang berhak atas Rie Limang Wanang. Mula pertama hak atas Rie Limang Wanang itu diberikan kepada Kesowari Bereamang (wruing dari Kebele’eng Koten). Setelah Kesowari Bereamang meninggal, dan karena tidak ada keturunannya yang meneruskan tradisi pemegang hak tersebut, barulah hak tersebut diserahkan kepada Kebele’eng Kelen. Dan hak itu berlaku hingga kini. Tanpa pemimpin dari para pemimpin itu, orang bisa saling mengklaim dan merebut apa-apa yang dianggap menjadi haknya.

Yang tidak boleh dilupakan ialah bahwa hak itu mengandaikan kewajiban. Melalui pelaksanaan kewajiban hak terimplementasikan secara nyata. Hak atas Rie Limang Wanang dan hak atas rie-rie (tiang-tiang) lain pada Koke Bale Lewowerang-Lewoingu sekaligus mengandaikan tugas, kewajiban sosial budaya yang perlu diemban oleh masing pemilik tiang yang bersangkutan. Tugas-tugas penting antara lain menjaga persatuan dan harmoni sosial, menghormati hak hidup orang lain, memelihara dan mengembangkan nilai-nilai luhur, kearifan-kearifan warisan nenek moyang Lewoingu, berani membela yang benar, memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan serta kebaikan bersama, dll.

Setiap pemegang hak atas tiang-tiang Koke Bale mestinya tidak boleh menghasut orang-orang di kampung untuk melanggar adat istiadat, tidak boleh menghasut orang-orang di kampung untuk menyerobot batas tanah orang lain, tidak boleh membunuh orang lain hanya karena rasa iri benci dan berbeda pandangan politik, tidak boleh beramai-ramai pergi ke Tobi Bele’eng dan Blou untuk menghadang, mengeroyok, menganiaya hingga tewas orang yang tidak bersalah, tidak boleh menutup-nutupi dengan segala macam cara perbuatan jahat, termasuk yang dilakukan oleh orang dari suku sendiri, dll.

Dalam perjalanan sejarah keturunan Gresituli, sejauh ini, hanya oknum-oknum tertentu dari suku Kebele’eng Kelen ‘kan yang melakukan pembunuhan secara sadis atas sesama keturunan Gresituli. Siapakah yang membantai secara sadis bapak Biku Lein dan anaknya Tube Lein di kebun dekat Wairewo? Lalu siapakah yang mengkoordonir aksi kejahatan besar pada Senin malam 30 Juli 2007 di Blou? Terpujikah perbuatan jahat oknum-oknum dari suku Kebele’eng Kelen itu? Jangan-jangan oknum-oknum dari suku itu sudah lupa bahwa sukunya adalah pemegang hak atas Rie Limang Wanang.

Lantas proses pengalihan hak atas Rie Limang Wanang dari Kesowari Bereamang kepada Kebele’eng Kelen itu dapat terjadi berdasarkan kesepakatan adat dalam menyikapi masalah atau situasi yang ada pada masa itu. Melalui pengukuhan adat itu, Kebele’eng Kelen memiliki legitimasi atas Rie Limang Wanang tersebut. Dengan itu bobot Boli sebagai salah satu pemimpin dalam sistem kepemimpinan kolektif di Dumbata bertambah. Tetapi Boli bukan menjadi titik pangkal sejarah Lewoingu.

Yang perlu diperhatikan ialah bahwa Rie Limang Wanang itu bukan merupakan simbol kepemimpinan, tetapi simbol kebaikan. Simbolisasi semacam itu berlaku di seluruh dunia. Adalah baik kalau memberi sesuatu kepada orang lain atau menerima sesuatu dari orang lain dengan tangan kanan. Anda dibilang kurang ajar bila memberi atau menerima sesuatu dari orang lain dengan tangan kirimu. Adalah baik kalau edu nuo dimulai dari posisi mata kanan orang yang punya kubur. Adalah baik kalau pembangunan Koke Bale dimulai dari Rie Limang Wanang. Tapi anda juga perlu ingat bahwa setiap tiang di Koke Bale itu sama pentingnya. Simbolisasi yang keliru seperti yang dilakukan oleh Marselinus Sani Kelen itu merupakan bentuk lain dari upayanya untuk menafsirkan sejarah sesuai selera pribadinya. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa Rie Limang Wanang itu simbol kebaikan, bukan simbol kepemimpinan.

Karena terlalu asyik mempertahankan tesis yang tidak teruji kebenarannya itu, Marselinus Sani Kelen malah menuduh leluhurnya Boli sebagai pemberontak yang melawan orang tua dan saudaranya sendiri. Memang jadi lucu, orang-orang lain menghormati Boli, salah seorang keturunannya malah menilainya seperti itu.

Karena terlalu asyik menari bergoyang mengikuti irama genderang yang ditabuh oleh orang lain, dia menyepelekan Gresituli dan Sani, lalu dia menghina Raga, dll. Seorang raja Larantuka pun memberikan respek yang tinggi terhadap Gresituli, yang dengan mudah menumpas Paji di Lewokoli dan sekitarnya, sehingga raja itu tak perlu mengerahkan pasukan tersendiri lagi untuk menumpas Paji di daerah itu. Respek itu ditunjukkan dalam pengakuan Lewoingu sebagai mitra kerajaan Larantuka, bukan sebagai daerah taklukan.Tetapi seorang keturunan Gresituli malah melecehkan bapak pendiri Lewoingu itu.***