Kamis, 27 Agustus 2009

Menyikapi deburan gelombang ngawurisme dalam “JUJURLAH MENJADI DIRI SENDIRI”

Catatan untuk Marselinus Sani Kelen

Bagian terakhir dari dua tulisan

Oleh Rafael Raga Maran

 

Jika proses inventarisasi ngawurisme dilanjutkan, maka dengan mudah pula kita menemukan contoh lain dari ngawurisme dalam artikel berjudul “JUJURLAH MENJADI DIRI SENDIRI.” Dalam menanggapi ceritera saya tentang adik Gresituli bernama Keropong Ema, dia menggunakan istilah anonim untuk mengacu pada Keropong Ema. Ini aneh, karena istilah anonim itu berarti tidak bernama, orang yang namanya tidak diketahui oleh orang lain.

Kiranya jelas bahwa Keropong Ema adalah nama dari adik Gresituli. Kalau penulis artikel tersebut di atas tidak mampu membuka diri terhadap kenyataan keberadaan Keropong Ema, itu karena dia matian-matian mau membela dongeng tentang penemuan seorang bayi di tempat yang kemudian diberi nama Tana Beto itu. Tradisi lisan menyebutkan bahwa ceritera tentang adanya Keropong Ema itu berasal dari Gresituli sendiri. Ceritera itu kemudian diwariskan kepada anak-anaknya, kemudian kepada keturunannya selanjutnya dari generasi yang satu ke generasi yang lain hingga ke era kontemporer ini.

Kehadiran Keropong Ema itu historis. Karena Marselinus Sani Kelen nekad mempertahankan dongengnya, dan karena itu dia pun menilai orang lain berdongeng tentang perjalanan Gresituli dari tanah Jawa yang melibatkan Keropong Ema itu, maka dia pun perlu ditantang untuk membuat riset ke Hewa, tepatnya ke Wai’ Ula’ agar dia sendiri tidak terus-menerus asbun alias asal bunyi dalam hal ini, dan agar terjamin objektivitas isi ceritera tersebut. Dalam studi ilmiah, objektivitas itu dicapai melalui suatu proses dialogal, hasil kesepakatan para subjek yang berkompetensi dalam bidangnya. Kompetensi tersebut tidak akan anda miliki, jika anda mengandalkan dongengmu itu dan memujanya sebagai realitas historis. 

Jika yang bersangkutan menutup diri terhadap adanya tokoh bernama Keropong Ema, itu terserah dia. Tetapi membantah fakta sejarah tentang adanya Keropong Ema, itu merupakan suatu kekeliruan serius. Bantahan berdasarkan tidak adanya pengetahuan tentang tokoh yang bersangkutan mengindikasikan adanya kesesatan dalam pikiran si pembantah. Kesesatan semacam itu dapat diatasi, jika dia berusaha mempertebal modal pengetahuannya tentang sejarah yang terkait dengan tokoh pendiri Lewoingu itu, yaitu Gresituli. Untuk itu anda pun perlu membuat riset mandiri.

Selain mempertajam modal pengetahuan tentang sejarah Lewoingu, seseorang yang bersemangat menggebu menjadi pakar sejarah Lewoingu pun perlu mempertajam daya kritis rasionalnya. Dengan daya kritis yang tajam, dia akan mampu membedakan mana yang disebut dongeng, mana yang disebut sejarah, mana yang palsu dan mana yang bukan palsu, mana yang disebut premis dan mana yang bukan premis, mana yang dikatakan oleh orang lain dan yang mana dikatakan oleh dirinya sendiri, dan sebagainya.

Kalau ada yang mengatakan “gatak tidak dapat diartikan” sebagai premis pertama, dan “modiamu’ung kae… dst” sebagai premis kedua, itu namanya sembrono. Itu salah satu tanda bahwa orang yang bersangkutan tidak punya daya kritis rasional. Perlu diketahui bahwa kata premis itu berasal dari bahasa Latin praemissae, yang berarti titik pangkal atau titik tolak. Titik pangkal bagi apa? Titik pangkal bagi conclusio alias kesimpulan. Kesimpulan seperti apa yang dapat anda tarik dari kedua susunan kata tersebut? 

Yang baru saya singgung itu problem penalaran alias jalan pikiran alias proses berpikir. Dalam menyikapi urusan-urusan semacam ini, kecerdasan kita ikut ditantang. Kita ditantang untuk benalar secara logis. Suatu penalaran disebut logis, jika ia valid dan benar. Dengan perkataan lain, suatu penalaran disebut logis, jika ia benar secara formal dan benar secara material. Jika kebenaran formalnya ditentukan oleh kesesuaian hubungan antara kesimpulannya dengan premis-premisnya, kebenaran materialnya ditentukan oleh kesesuaian proposisi-proposisinya dengan fakta.

Tanggapan saya atas tulisan berjudul “JUJURLAH MENJADI DIRI SENDIRI” cukup sampai di sini. Dalam tulisan tersebut masih terdapat hal-hal lain yang dapat ditanggapi secara kritis, tetapi hal itu tidak perlu saya lakukan, karena sebagian dari persoalannya serupa dengan persoalan yang telah disinggung di atas. Sebagiannya lagi merupakan keluh kesahnya tentang peristiwa tertentu yang dianggapnya terjadi tetapi tidak dapat dibuktikannya. Sebagiannya lagi merupakan peristiwa yang sudah terjadi, tetapi dia ingin membongkarnya kembali dan menuntut pertanggungjawaban dari orang atau pihak yang tidak perlu dimintai pertanggungjawabannya.

Tuntutan semacam itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang berambisi untuk mengubah masa lampau agar klop dengan selera pribadinya. Tuntutan semacam itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang tidak tahu lagi status sosial dan perannya dalam konteks kehidupan sosial budaya di Lewoingu. Pergeseran dari tujuan semula mencari kebenaran rasional, ke tuntutan semacam itu mengindikasikan bahwa yang bersangkutan semakin tidak tahu lagi untuk apa dia terlibat dalam diskusi sejarah Lewoingu. Dalam hal ini, bukan hanya kecerdasannya yang ditantang tetapi kejujuran pada dirinya sendiri juga ditantang.***