Rabu, 28 Oktober 2009

Seuntai kata yang menyesatkan

Oleh Rafael Raga Maran

 

Masih ingat untaian kata-kata ini, Nuhung teme tewong alo boleng boto, bukan?

Jelas masih ingat. Itu adalah ayat kesukaan dari si pendongeng itu ‘kan?

Ya, itu adalah ayat kesukaannya. Sebelumnya dia pernah menggunakan rangkaian kata-kata seperti ini, Nuhung teme tewong alo boleng bola.

Seorang pembaca eputobi.net pernah berkesan bahwa orang yang memunculkan kata-kata tersebut dan knutu knata lain dalam polemik sejarah Lewoingu terbilang orang yang punya pengetahuan yang cukup memadai tentang sejarah Lewoingu. Tetapi setelah mengetahui bahwa untaian kata-kata itu ternyata tidak cocok dengan realitas sejarah yang dengan mudah dapat direkonstruksi, dia baru menyadari bahwa penilaiannya terhadap pengguna ayat tersebut keliru.

Telah saya katakan bahwa nuhung teme tewong alo boleng boto adalah penyingkatan secara keliru oleh penulis “Lango Limpati” atas kata-kata Gresituli dalam menyikapi kasus Plating Lela. Yang dikatakan oleh Gresituli adalah kata-kata berikut ini,

Nuhung teme ka’ ke’ teme ka’, alo boleng boto ka’ ke’ boto ka’. Ile nele tawa keseka’ woka nele gere lere ka’. Opa huleng di burak bubuk, gowayeng di taki’ toloreng.

Rangkaian kata-kata tertera di atas menggambarkan keadaan Ile Hingang dan sekitarnya yang buruk, yang perlu diperbaiki dan dibarui. Keadaan tersebut menjadi buruk karena kenakalan Plating Lela. Plating Lela itu menikah dengan puteri Gresituli bernama Golu Waleng. Kenakalan Plating Lela, yaitu mengganggu isteri orang, jelas membuat Gresituli perlu mengambil sikap yang tegas terhadapnya.

Secara bebas kita dapat menerjemahkan rangkaian kata-kata itu sebagai berikut,

Mau tenggelam ya tenggelam, mau melayang ya melayang, supaya dia jangan menjadi besar (sombong), karena pagi dan petang ia menyemburkan malapetaka.

Malapetaka yang disemburkan oleh Plating Lela selama itu ialah kerusakan kehidupan rumah tangga, baik rumah tangganya sendiri maupun rumah tangga orang lain. Agar kehidupan rumah tangga orang lain lagi tidak dirusak, maka pelakunya perlu dihukum menurut hukum adat yang berlaku pada masa itu. Hendaklah diingat bahwa mengganggu isteri orang merupakan suatu kejahatan besar yang perlu diganjari dengan hukuman mati.

Dari Nuhung teme ka’ ke’ teme ka’ kita bisa mengetahui bahwa Gresituli pun menyadari bahwa pelaksanaan hukuman mati itu akan membawa penderitaan bagi Golu Waleng, puterinya yang diperisteri oleh Plating Lela. Tapi karena Plating Lela telah berulang kali melakukan kesalahan besar, maka hukuman mati itu mau tidak mau diterapkan, dan karena itu penderitaan itu pun mau tidak mau ditanggung oleh puterinya itu.

Konteks dan latar historis dari rangkaian kata-kata yang diucapkan oleh Gresituli itu jelas. Maka artinya pun menjadi jelas pula bagi kita. Tapi apa konteks dan arti dari nuhung teme tewong alo boleng boto yang menjadi ayat favorite dari penulis “Lango Limpati?” Jawabannya, “Tau ah…. gelap.”

Ya, dengan untaian kata-kata itu, penulis “Lango Limpati” berusaha menggelapkan pikiran pembaca agar mereka tidak terbuka pada realitas sejarah sesungguhnya, khususnya realitas sejarah yang berkaitan dengan Raga anak Sani dan Ling Pati. Dengan untaian kata-kata itu, penulis tersebut berusaha menyesatkan para pembaca yang selama ini kurang atau tidak melek sejarah Lewoingu. Dikatakan menyesatkan, karena dengan kata-kata tersebut dia melakukan kebohongan publik. Isi kebohongannya ada dua, yaitu Raga anak Hule dan Ling Pati adalah milik eksklusif Kebele’eng Kelen. Upaya penyesatan itu coba dia lengkapi dengan kata-kata tertera di bawah ini,

Dunia lera wulang latala tanah ekang
teti wang pulu pito lali wade pulu lema
teti esang leing lodo, lali sorong limang gere
lodo hau tobo tukang, gere haka pae bawa
denge koda baing khiring, denge umeng baeng lamak
Kuru Sani Sedu Doweng
maung Boli Duru Moko
Tobo pi Limpati dang pukeng
pae pi gawe rage kenawe matang
Gurung koon suku matang pulo kaeng
gawa koon wokole lema kae.

Rangkaian kata-kata tersebut dia sebut sebagai preambul gatak lango Limpati. Yang jadi pertanyaan ialah “Apa arti rangkaian kata-kata tersebut? Dan untuk apa kata-kata itu digunakan?”

Kiranya jelas bahwa penulis “Lango Limpati” tidak menyadari empat hal. Pertama, kata wade dalam teti wang pulu pito lali wade pulu lema itu tidak punya arti apa-apa. Penggunaan kata itu justeru mengacaukan arti baris tersebut. Lantas pas-kah penggunaan kata baeng dan maung dalam konteksnya yang seperti itu?

Kedua, penulis “Lango Limpati” pun lupa bahwa kata-kata,

Tobo pi Limpati dang pukeng
pae pi gawe rage kenawe matang

itu merupakan ajakan kepada para leluhurnya yang disebut namanya dalam dua baris sebelumnya untuk hadir dalam suatu acara yang dia maksudkan itu. Ini merupakan lanjutan atas ajakan atau undangan atas kehadiran Lera Wulang dan Tana Ekang dalam suatu acara yang digelar entah di Ling Pati, entah pada tempat lain.

Ketiga, penulis “Lango Limpati” tidak menyadari bahwa kata Tobo pi Limpati dang pukeng pae pi gawe rage kenawe matang menunjukkan bahwa rangkaian kata-kata tersebut merupakan tambahan yang diucapkan setelah suku Kebele’eng Keleng kembali ke Ling Pati karena kasus ketihe’ yang pernah saya singgung. Dengan demikian menjadi jelas bahwa rangkaian kata-kata itu tidak menunjukkan bahwa Ling Pati adalah milik eksklusif Kebele’eng Keleng.

Keempat, penulis “Lango Limpati” juga lupa bahwa tanpa Ata Maran, tak ada satu pun ahi leang (pesta) yang dapat diadakan di Ling Pati. Coba tanyakan kepada penulis “Lango Limpati”, ahi leang apa yang dapat dia dan saudara-saudara sesukunya dapat lakukan di Ling Pati tanpa Ata Maran? 

Apa yang disebut preambul gatak lango limpati itu merupakan campuran antara pembukaan dari Marang Mukeng tertentu dan bagian tertentu dari knutu knata dari suku Kebele’eng Keleng. Jika knutu knata itu diucapkan di Ling Pati, maka kata-kata Tobo pi Limpati dang pukeng pae pi gawe rage kenawe matang itu mereka tambahkan.

Bagi saya, rangkaian kata-kata tersebut gagal menunjukkan bahwa Ling Pati adalah milik eksklusif suku Kebele’eng Keleng. ***