Jumat, 02 Oktober 2009

Raga Itu Anak Kandung Sani

Oleh Rafael Raga Maran

 

Terjadi kebohongan dan fitnah besar ketika Donatus Doni Kumanireng mengatakan bahwa sebelum menikah dengan Sani, Kene sudah dihamili oleh Hule. Dengan penuh semangat, dia berkampanye bahwa Raga itu anak Hule. Kebohongan dan fitnah itu pun disebarkan oleh salah seorang “murid kesayangannya” bernama Marselinus Sani Kelen. Melalui beberapa tulisannya, si “murid kesayangannya itu” secara sengit membela pendapat bahwa Raga itu anak Hule. Secara terang-terangan dia pernah mengatakan bahwa Raga itu anak hasil perselingkuhan. Tetapi pernyataan mereka tentang Raga itu tidak didukung dengan argumen-argumen yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. 

Hingga kini kedua orang itu belum juga mampu membuktikan bahwa Raga itu anak Hule. Memang mustahil bagi mereka untuk dapat membuktikannya. Dikatakan mustahil, karena mereka tidak memiliki data-data historis yang dapat diandalkan. Isi kampanye mereka tentang Raga itu bertentangan dengan data-data sejarah yang dapat dihimpun dari berbagai sumber tradisi lisan yang terdapat di Lewoingu.

Melalui tulisan ini, saya sekali lagi ingin menegaskan bahwa Raga itu anak kandung Sani. Raga itu lahir dari rahim Kene yang secara resmi menikah dengan Sani. Pernikahan Sani dengan Kene itu sama sekali tidak berkaitan dengan apa yang oleh Marselinus Sani Kelen disebut prahara itu. Pernikahan Sani dengan Kene terjadi sebelum seseorang bernama Hule itu muncul di Lewowerang-Lewoingu. Hule itu kelahiran Lewomuda, dekat Lamika. Ayah Hule adalah Metinara. Ibu Hule berasal dari suku Hera di Lewomuda.

Dalam hitungan generasi, Hule itu berada di bawah generasi Sani. Dari segi usia, Hule itu lebih muda daripada Raga. Dalam pembagian tugas untuk upacara adat di Koke Bale Lewowerang-Lewoingu, Hule diserahi tugas memegang tali yang diikat pada leher, bagian kepala hewan korban. Dari tugasnya itu dia disebut Hule Kebele’eng Koten.  

Hule kemudian terlibat aktif dalam perang melawan Paji. Dalam perjalanan perang melawan Paji dia terdampar di Lomblen (Lembata). Dia kemudian menetap di sana. Dari Hule inilah lahir suku Kotan di sana. Hingga kini anggota-anggota suku Kotan menyadari bahwa leluhur mereka itu berasal dari Lewoingu. Maka mereka pun memiliki kedekatan batin dengan saudara-saudara mereka dari Lewoingu.

Selama berada di Lewoingu, Hule tidak menimbulkan prahara apa pun. Ayah Hule bernama Metinara pun tidak menimbulkan prahara. Yang sempat berulah buruk adalah salah seorang kakak dari Metinara bernama Plating Lela. Plating Lela menikah dengan salah seorang puteri Gresituli bernama Goluwaleng. Meskipun sudah menikah, Plating Lela sempat mengganggu isteri orang. Perbuatan mengganggu isteri orang itu sering dia lakukan di malam hari dengan sasaran yang berbeda. Dua orang yang ketahuan diganggunya adalah Tanalema dan Watogae. Maka kepadanya dikenakan sanksi adat berupa hukuman mati. Tetapi hukuman mati itu gagal dilaksanakan. Setelah berhasil lolos dari jerat hukuman mati, Plating Lela tidak tinggal di Lewoingu. Karena tak kuat menanggung rasa malu dia sempat bersembunyi di Newa Gelara’ang di Etang Wolo. Dari situ dia pindah ke Lewokluo dan tinggal di sana hingga ajal datang menjemputnya. Dari pernikahannya dengan Goluwaleng lahir Liting Boleng dan Waleng Pihok. Meskipun Plating Lela gagal dihukum mati, Goluwaleng berpisah dengan suaminya itu. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, Goluwaleng bersama Liting Boleng, dan seorang anak dalam rahimnya diungsikan ke Lewokung.

Hule mempunyai seorang kakak bernama Buge, dan dua orang adik bernama Blawa dan Bura. Buge menurunkan Amalubur. Hule menurunkan Kebele’eng Koten. Empat bersaudara itu disebut Buge Hule Blawa Bura. Keturunan Hule di Lewoingu antara lain bapak Koli Koten dan bapak Pius Keluang Koten.

Sebelum Hule lahir, Raga sudah lahir. Jadi jelas bahwa pernyataan bahwa Raga itu anak Hule merupakan suatu omong kosong besar dalam pembicaraan tentang sejarah Lewoingu. Omong kosong besar semacam itu disebarluaskan oleh Donatus Doni Kumanireng dan salah seorang “murid kesayangannya” bernama Marselinus Sani Kelen. Ketika berbicara tentang Raga, orang bernama Marselinus Sani Kelen itu hanya menduplikasi pernyataan-pernyataan “gurunya” itu. Karena berpegang teguh pada ajaran sesat “gurunya” si murid yang satu ini pun tidak segan-segan menghina dan memfitnah leluhurnya sendiri. ***