Senin, 26 Oktober 2009

Dung Tana Pota Wato Pota Ile Hone Woka

Oleh Rafael Raga Maran

 

Judul di atas dikutip dari gata yang diucapkan oleh Gresituli setelah dia menemukan tempat yang dirasanya layak untuk dijadikan tempat tinggalnya yang permanen. Gata itu terdiri dari kata-kata yang berasal dari dua bahasa. Dung Tana itu berasal dari bahasa Jawa dum tana, yang secara harafiah berarti bagi tanah atau kebagian tanah. Berdasarkan studi yang kami lakukan, kami menemukan bahwa istilah dum ini diadopsi oleh orang Lamaholot tempo doeloe menjadi dung, yang berarti ikut serta atau bersama. Pengertian ini berkaitan dengan arti istilah dum dalam bahasa Jawa tersebut. Kita akan lihat bagaimana kaitannya dalam suatu alinea lain dalam tulisan ini.

Pota wato pota ile hone woka berasal dari bahasa Lamaholot, yang berarti dirikan batu tinggikan gunung dirikan bukit. Tapi yang perlu kita cari adalah arti simbolik yang berada di balik kata-kata tersebut. Rangkaian kata-kata itu merupakan cetusan rasa syukur dari dalam hati Gresituli setelah dia menemukan suatu tempat yang ideal untuk dijadikan tempat tinggal. Ya, di ile woka (gunung bukit) itulah Gresituli lantas membangun tempat tinggal yang kemudian berkembang menjadi suatu kampung.

Ile wokanya itu diberi nama Dung Tana. Nama itu ditandai dengan nubanara yang didirkan di muka rumahnya. Sekarang nubanara itu terletak di depan rumah suku Lewoleing. Ke nubanara itu persembahan  diantar. Hingga sekarang di antara keturunan Gresituli pun masih ada yang mengantar persembahan ke Dung Tana. Orang-orang Lewoingu yang tidak tahu sejarah penemuan ile woka itu oleh Gresituli tidak mengetahui adanya nubanara yang bernama Dung Tana itu.

Nubanara itu berfungsi sebagai altar persembahan bagi Yang Maha Kuasa yang telah memberi Gresituli dan keluarganya tempat yang layak dan aman untuk didiami. Maka di bukit itu pula rumahnya didirikan. Maka jadilah Dung Tana Pota Wato Pota Ile Hone Woka. Arti yang berada di balik untaian kata-kata indah dapat dijelaskan sebagai berikut,

Engkau telah dianugerahi tanah, maka dirikanlah di gunung itu altar syukurmu bagi Dia yang telah memberikan engkau tanah itu, dan dirikanlah pula di bukit itu rumah tempat kediaman yang aman bagimu.

Kiranya jelas bahwa Dung Tana Pota Wato Pota Ile Hone Woka memiliki makna yang sangat mendalam. Gresituli sangat menyadari bahwa ile woka itu milik Dia Yang Di Atas Sana, yang dianugerahkan kepadanya sebagai tempat yang aman baginya untuk didiami. Artinya pemilihan tempat itu sebagai tempat tinggalnya direstui oleh Yang Maha Kuasa. Apa yang dibutuhkannya selama ini kini dianugerahkan kepadanya dengan cuma-cuma.

Namun Gresituli juga menyadari bahwa dia hanyalah seorang pendatang baru di ile woka itu. Jauh sebelum kedatangannya ke situ, tanah itu sudah dianugerahkan kepada Subang Seng yang dijumpainya di situ. Dengan kata lain, ile woka itu milik Subang Seng. Dia tahu bahwa atas perkenan Subang Seng, maka dia dan keluarganya bisa ikut tinggal di situ bersamanya. Disadarinya juga bahwa perkenan semacam itu pun merupakan suatu anugerah dari Yang Maha Baik. Maka sejak saat itu dia pun menyadari dan berusaha agar kebaikan dari Yang Maha Baik melalui Subang itu perlu disyukuri, yaitu dengan mengajak keluarga-keluarga kenalan-kenalan dan sahabat-sahabatnya serta keluarga-keluarga atau suku-suku lain yang bermukim di dua’ dan ile woka sekitar untuk tinggal bersamanya di ile wokanya itu. Kebersamaan semacam itu diperlukan untuk menghadapi masalah dan tantangan real bersama. Dan masalah dan tantangan yang paling nyata pada masa itu adalah serangan musuh yang disebut Paji. Kebersamaan menjadi jaminan bagi terselenggaranya kehidupan yang aman, damai, sejahtera.

Kepada mereka yamg mau bergabung dengannya diberinya tanah untuk dijadikan tempat tinggal. Kepada mereka juga diberikan tanah untuk dijadikan sumber rejeki kehidupan sehari-hari. Tampak jelas di sini bahwa dung tana pun berarti bahwa sesamanya pun diberi kesempatan untuk ikut memiliki tanah sebagai sumber rejeki kehidupan sehari-hari mereka masing-masing. Tanpa memiliki tanah, seorang bisa hidup, tetapi terlantar. Maka tanah pun patut diberikan kepada mereka yang membutuhkannya. Kemurahan hati Gresituli itu terus dirawat hingga kini oleh suku Lewoleing, Doweng One’eng, dan Ata Maran.

Kemurahan hati dari Yang Maha Baik tersebut di atas menginspirasikan dia nama lewoingu bagi kampung yang didirikannya pada puncak ile wokanya itu. Lewoingu terdiri dari dua kata, yaitu kata lewo yang berasal dari bahasa Lamaholot, yang berarti kampung, dan kata ingu yang berasal dari bahasa Jawa, yang berarti pelihara, rawat. Di Lewoingu para warganya dapat menemukan tempat yang aman untuk merawat dan mengembangkan diri mereka sebagai manusia. Kiranya jelas bahwa pembangunan kampung itu murni berdasarkan suatu misi kemanusiaan yang disadarinya sebagai tugas panggilan hidupnya di dunia yang penuh dengan konflik berdarah itu.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dengan mudah melihat salah tafsir yang dilakukan oleh Donatus Doni Kumanireng atas Dung Tana Pota Wato Pota Ile Hone Woka. Baginya, kata-kata itu berkaitan dengan cara pembangunan rumah oleh Gresituli. Dikatakan bahwa “Dungtana adalah metode: tung tana pota wato (= latu wato tung tana).” Orang itu pun beranggapan bahwa sejak dulu hingga sekarang orang Lewoingu menggunakan metode itu untuk membangun rumah mereka.

Bahwa tafsir tersebut salah, itu nampak dari kenyataan bahwa yang dibangun Gresituli adalah rumah panggung, dengan tiang-tiangnya ditancapkan di tanah. Hingga kini model rumah panggung itu masih dipertahankan dalam pembangunan rumah suku Lewoleing dan Ata Maran di kampung lama. Untuk pembangunan rumah panggung tidak diperlukan apa yang disebut tung tana pota wato yang disamakannya dengan latu wato tung tana itu. Metode pembangunan rumah yang dia maksudkan itu baru muncul pada abad ke-20, dengan catatan bahwa hingga tahun 1960-an kita masih dengan mudah menemukan adanya rumah-rumah panggung di kawasan Lewoingu dan kampung-kampung sekitarnya.

Juga terjadi kekeliruan ketika Dung Tana Pota Wato Pota Ile Hone Woka dipasangkan dengan Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali, karena untaian kata-kata Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali itu digunakan hanya untuk menyebut nama-nama tempat dan merupakan tiruan dari gata raja Larantuka yang berbunyi Kota Sarabiti Gege Waihali. Dungbata berada di kampung Lewoingu. Sedangkan Sarabiti dan Waihali adalah nama tempat yang berada di luar kampung Lewoingu. Bahwa Dung Tana (Dungtana) berpasangan dengan Dumbata (Dungbata), itu ya. Tetapi sebagai gata dengan susunan kata masing-masing seperti tertera di atas, keduanya tak dapat dipasangkan, karena level maknanya tidak sama. Jika Dung Tana Pota Wato Pota Ile Hone Woka mempunyai arti yang sangat mendalam seperti telah dijelaskan di atas, Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali dipakai untuk menyebutkan bahwa Dungbata itu terletak di Lewoingu, tetapi jangan lupa bahwa di luar kampung itu ada Sarabiti (Wungung Kweng) dan Waihali (nama dua’ yang terletak tak jauh dari kampung Lewoingu. Disebut Waihali, karena dulu di situ terdapat air. Air yang muncul di situ disebut hali). Untaian kata-kata itu hanya ingin menekankan bahwa Sarabiti dan Waihali juga merupakan bagian dari Dungbata Lewoingu. 

Selanjutnya saya akan membuat sedikit catatan tentang latarbelakang penemuan ile woka tersebut. Penemuan ile woka tersebut bermula dari terbakarnya rumah Gresituli di Oring Penutu’ung. Oring Penutu’ung adalah rumah Gresituli setelah dia dan keluarganya berpindah dari Lewowato. Setelah mengalami musibah kebakaran itu, dia membangun suatu rumah tempat berteduh sementara. Karena Oring Penutu’ung dianggap tak layak huni lagi, maka Gresituli berusaha mencari tempat tinggal baru ke tempat yang lebih tinggi. Maka matanya pun memandang ke gunung bukit yang berada di atas sana.

Asap yang membubung ke atas dari ile woka tersebut mengundangnya naik ke atas untuk melihat siapa gerangan orang yang membuat apinya. Orang yang dijumpai Gresituli di atas sana adalah Subang Seng. Sebelumnya dia belum pernah bertemu dengan Subang Seng. Hanya Subang Seng yang dia jumpai di situ. Setelah mengetahui maksud kunjungan Gresituli ke situ, Subang Seng lalu memberi izin kepada Gresituli untuk memilih tempat yang kiranya layak untuk dijadikan tempat tinggal.

Setelah cukup lama tinggal di situ bersama Subang Seng barulah Gresituli mengumpulkan suku-suku yang tinggal di dua’ dan ile woka sekitar untuk tinggal bersama. Subang Seng tidak mempunyai keturunan. Gresituli dan keluarganya memandang dia sebagai anggota keluarga mereka.***