Jumat, 23 Oktober 2009

Rupanya ada Ling Pati versi imajiner

Oleh Rafael Raga Maran

 

Eh…. dia nongol lagi….?

Siapa dia?

Ya siapa lagi kalau bukan si pendongeng yang satu itu.

Kok baru sekarang dia nongol lagi? Ke mana saja dia selama ini?

Entahlah…. mungkin dia sibuk berselancar di dunia dongeng, atau mungkin karena dia bersibuk-sibuk saja. Entahlah….. Yang jelas, kali ini dia datang dengan ceritera tentang “Lango Limpati.”

Seperti apa ceriteranya?

Setelah saya membaca ceritera berjudul “Lango Limpati” dalam kolom sejarah di eputobi.net, saya berkesimpulan bahwa rupanya ada Ling Pati versi imajiner yang disebut Lango (Rumah) Limpati itu. Limpati imajiner itu yang selama ini dikleim oleh oknum-oknum suku Kebele’eng Keleng tertentu sebagai milik suku mereka. Ya, Limpati yang disinggung dalam tulisan tersebut berada dalam imajinasi penulisnya. Melalui ceritera fiktif itu, si penulis merepresentasikan suatu keinginan yang sudah lama terpendam dalam alam bawah sadarnya untuk menjadikan Ling Pati sebagai milik eksklusif sukunya.

Fiksi itu dibumbui-bumbui dengan koda kiring atau gata yang tidak jelas dari mana asal-usulnya. Gata yang dimaksud adalah Nuhung teme tewong alo boleng boto. Dia menempatkan gata tersebut dalam konteks tindakan asusila yang katanya dilakukan oleh Hule. Dia berceritera bahwa tindakan asusila Hule terhadap Kene itu melahirkan Raga. Baginya Raga itu anak Hule, Raga bukan anak Sani. Karena itu penulis “Lango Limpati” itu pun mati-matian beranggapan bahwa Raga itu bukan pemilik sah Ling Pati.

Tetapi sejarah Lewoingu tidak pernah berbicara seperti itu. Dari perspektif sejarah, Hule itu kelahiran Lewomuda, dekat Lamika. Selama tinggal di Lewoingu, Hule tidak melakukan tindakan asusila seperti yang dituduhkan kepadanya oleh penulis “Lango Limpati” itu. Dari segi usia, Hule itu lebih muda daripada Raga anak Sani. Kalau tuduhan itu benar, Hule sudah dihukum mati menurut hukum adat Lewoingu. Karena tidak melakukan perbuatan yang berkategori kejahatan, maka Hule pun memperoleh salah satu tiang di Koke Bale Lewowerang. Selain itu, Hule juga diberi tugas dalam upacara edeng.

Yang melakukan perbuatan berkategori asusila adalah Plating Lela, kakak kandung dari Metinara. Plating Lela menikah dengan anak perempuan Gresituli bernama Golu Waleng. Meskipun sudah beristeri, Plating Lela punya kebiasaan mengganggu isteri orang lain. Karena itu berdasarkan hukum adat Lewoingu Plating Lela dihukum mati, dengan cara diikat batu dilehernya lalu ditenggelamkan ke laut. Tetapi Plating Lela ternyata berhasil lolos dari jerat hukuman mati itu.

Menyikapi kasus Plating Lela itu Gresituli mengungkapkan kata-kata berikut ini,

Nuhung temeka’ ke’ temeka’, alo boleng botoka’ ke’ botoka’. Ile nele tawa kese’ka’ woka nele gere lere’ka’. Opa huleng di burak bubuk, gowayeng di taki’ toloreng.

Tampak jelas dalam fiksi yang dikemukakan oleh penulis “Lango Limpati” itu, bahwa kata-kata Gresituli tersebut disingkat secara keliru menjadi Nuhung teme tewong alo boleng boto. Kata-kata versi narasumber penulis “Lango Limpati” itu sama sekali tidak berbicara tentang tindakan asusila yang dilakukan Hule, karena Hule tidak pernah melakukan perbuatan tercela itu.

Kembalinya Marsel Sani Kelen ke panggung polemik sejarah Lewoingu disertai ambisi besar untuk membuktikan bahwa Raga itu bukan anak Sani. Tetapi sekali lagi kita menyaksikan kegagalannya. Ya, sejak pertama membicarakan hal itu, dia sudah menunjukkan kegagalannya. Dan kemunculannya kembali kali ini justru menggiring dia untuk jatuh ke jurang kegagalan yang kian sempurna. Risiko itu wajar diterima oleh seorang anak dari suku Kebele’eng Keleng seperti dia yang berusaha sekuat tenaga untuk memutarbalikkan fakta sejarah tentang Sani, Kene, Raga dan Boli.

Kalau anda ingin mengetahui sejarah perkawinan Sani dengan Kene, anda perlu mencari informasi dari pihak Lewoleing juga. Anda perlu ingat bahwa Kene itu anak puteri dari Doweng. Tokoh-tokoh Lewoleing tahu tentang sejarah perkawinan Sani dengan Kene tersebut. Tapi kalau anda memang terus ingin berdongeg, ya silahkan saja terus bedongeng berdasarkan apa-apa yang muncul dalam imajinasimu. 

Lantas anda pun perlu ingat bahwa di Lewowerang-Lewoingu pun terdapat Manu Jagong yang menjadi Lango’ Bele’eng (Rumah Induk) suku Kebele’eng Keleng. Rumah itu dibangun oleh Boli. Jangan karena anda asyik melakukan kleim hak kepemilikan eksklusif atas Ling Pati lalu anda lupa akan rumah sukumu sendiri. Lalu kalau anda mau menyusuri perjalanan sukumu setelah keluar dari Ling Pati, jangan lupa anda susuri pula kasus ketihe’ yang telah saya singgung itu. Kasus ketihe’ merupakan salah satu tahapan yang tidak boleh anda lupakan, karena tanpa kasus itu sukumu tidak kembali ke Ling Pati. Ketika kembali, siapa yang menerima sukumu di Ling Pati? Apakah ketika sukumu kembali ke sana, Ling Pati berada dalam keadaan kosong melompong tanpa penghuninya?

Kalau benar sukumu yang berhak secara eksklusif atas Ling Pati, coba jawab beberapa pertanyaan berikut ini: 1) Mengapa barang-barang pusakamu tidak ditemukan di Ling Pati?; 2) Upacara adat apa saja yang dapat dibuat oleh sukumu sendiri di Ling Pati?; 3) Ahi leang apa yang dapat anda selenggarakan sendiri di kampung lama (Lewookineng)?; 4) Dapatkah anda membuat sendiri upacara seba’ lirong di Ling Pati? 5) Dapatkah anda sendiri mengambil ilu’ dari Ling Pati untuk menyembuhkan orang sakit yang membutuhkan pertolongan? 6) Dll.

Sebagai tambahan hal berikut perlu saya ceriterakan. Karena sakit berat, beberapa waktu lalu, seorang mantan guru mengutus dua orang ke rumah seorang tokoh adat yang tinggal di bagian barat kampung Eputobi. Untuk apa? Si sakit meminta bantuan agar tokoh adat itu berkenan mengajak para pemuka adat untuk membuat upacara di di kampung lama demi kesembuhannya. Tetapi apa jawab tokoh adat yang dihubungi itu? Jawabnya begini, “Mengapa kamu tidak minta bantuan dari Mikhael Torangama Kelen saja untuk membuat upacara dimaksud itu di kampung lama? Selama ini kalian menjadi pendukung setianya. Mengapa kalau giliran susah baru kamu datang minta bantuan ke pihak kita?”

Mendengar itu, dua utusan itu pun mundur teratur tanpa membawa khabar baik bagi si sakit. Seandainya ada tokoh adat di luar Ata Maran dapat membawa tokoh-tokoh adat terkait lainnya ke kampung lama, tepatnya ke Ling Pati untuk memenuhi permintaan si sakit itu, tetapi jika tidak ada tokoh adat dari suku Ata Maran, maka upacara tersebut tidak dapat dilaksanakan. Soalnya, wewenang untuk itu ada di Ata Maran.

Di bagian akhir tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa kembalinya penulis “Lango Limpati” ke panggung polemik sejarah Lewoingu pada dasarnya tidak menghadirkan tantangan baru bagi saya. Dia hanya mengulang dongeng-dongeng lamanya. Dia hanya bergerak dari fiksi yang satu ke fiksi lain seraya membumbuinya dengan penggalan-penggalan gata versi narasumbernya. ***