Sabtu, 10 Oktober 2009

Ling Pati dan Manu Jagong di Lewoingu

Oleh Rafael Raga Maran

 

Ling Pati adalah nama yang terbilang terkenal di Lewoingu. Itulah nama rumah Sani, putera ketiga Gresituli. Sani memang memerlukan sebuah rumah setelah dia mendapat tugas dari ayahnya untuk menjalankan misi kemanusiaan di Lewowerang. Tujuan utama penugasan Sani ke Lewowerang adalah menciptakan perdamaian dan persatuan bagi komunitas Lewowerang, yang selama itu sering dilanda pertikaian dan konflik. Untuk itu Sani memerlukan sebuah rumah yang berperan sebagai suatu oase perdamaian, persatuan, dan kebaikan. Oleh Gresituli rumah itu diberi nama Ling Pati.

Kita dengan mudah dapat membayangkan bahwa Gresituli dan kedua puteranya yang lain serta para tetangga mereka pun berpartisipasi aktif dalam pembangunan rumah yang diperuntukkan bagi Sani itu. Dan upacara adat dengan doa (Marang Mukeng) yang terkait dengan pembangunan rumah itu pun tentu dijalani. Ling Pati adalah rumah panggung, dengan empat tiang yang cukup tinggi sebagai pilar-pilar utama penopang keberadaannya. Ujung bawah keempat tiang itu ditancapkan cukup dalam ke tanah guna memperkokoh posisi rumah. Keempat tiangnya dibuat dari kayu terbaik agar tidak mudah keropos.

Di Ling Pati itulah Sani dan Kene tinggal. Di situ lahir Raga dan Boli serta dua orang saudari mereka, yaitu Geyong dan Yedo. Setelah menikah dengan orang Leworook, Geyong berpindah ke sana. Di kemudian hari, Yedo pun menyusul ke Leworook dan tinggal di sana. Raga dan Boli tinggal bersama di Ling Pati hingga masa pembangunan Koke Bale Lewowerang.

Setelah pembagian tugas dan tanggungjawab sosial adat, dan setelah sistem suku menemukan bentuknya yang jelas di Lewowerang, Boli membangun rumah yang dikenal dengan Manu Jagong, yang terletak di sebelah utara Ling Pati. Manu Jagong adalah rumah induk suku Kebele’eng Kelen. Sedangkan Ling Pati adalah rumah Induk suku Atamarang (Ata Maran). Jika kita berjalan masuk melalui Mada Lewowerang, maka dua rumah yang pertama kita jumpai adalah rumah suku Wungung Kweng di sebelah kiri jalan dan rumah suku Kumanireng Blikololong di sebelah kanan jalan. Setelah itu kita akan bertemu dengan Ling Pati di sebelah kiri jalan dan Manu Jagong di sebelah kanan jalan.

Di Manu Jagong keturunan Boli tinggal untuk masa yang cukup lama. Di situ mereka tinggal hingga tiba waktu terjadinya kasus ketihe’ (sejenis ulat yang dapat dimakan) di kebang arang (pondok) mereka yang terletak sedikit di luar bliko (benteng batu) yang melindungi kampung Lewoingu. Karena dirubungi oleh ketihe’ dalam jumlah sangat banyak, maka kebang arang mereka itu pun mau tidak mau dibakar guna menghalau serbuan ketihe’.

Kasus serbuan ketihe’ itu menimbulkan kepanikan dan kekhawatiran tersendiri bagi anggota-anggota keluarga Kebele’eng Kelen. Kasus tersebut membuat mereka meninggalkan Manu Jagong. Mereka kembali ke Ling Pati. Kembali ke Ling Pati berarti kembali ke rumah Ata Maran. Kembalinya mereka ke Ling Pati diterima dengan baik oleh Ata Maran. Kepada mereka diberi tempat yang layak. Maka dong di Ling Pati pun dibagi dua, sebagian untuk Ata Maran, sebagian untuk Kebele’eng Kelen. Setelah kembali ke Ling Pati, mereka tidak lagi mengurusi rumah mereka di Manu Jagong. Hingga kini, Manu Jagong tinggal nama.

Oknum-oknum suku Kebele’eng Kelen generasi kontemporer, yang kurang atau tidak tahu tentang perjalanan sejarah sukunya sendiri, dengan mudah mengkleim bahwa sukunya menjadi pemilik sah Ling Pati. Oknum suku Kebele’eng Kelen sebangsa Marselinus Sani Kelen bahkan berusaha menghapus hak otentik Ata Maran atas Ling Pati berdasarkan alasan yang tidak sesuai dengan fakta-fakta sejarah. Upaya verbalnya itu tampak selaras dengan upaya praktis yang dilakukan oleh kakak-kakaknya di kampung Eputobi, seperti Ditu Kelen dan Mikhael Torangama Kelen dkk yang belakangan ini berkasak-kusuk untuk menyerobot urusan-urusan di Ling Pati.

Kini pihak Ata Maran coba menyaksikan saja dulu, sampai di mana orang-orang yang tidak tahu diri itu, termasuk si kepala komplotan pembunuh salah satu putera keturunan dari Ling Pati itu mampu merecoki urusan-urusan di rumah tersebut. Tapi anda harus ingat bahwa akan tiba saat di mana tata tertib adat istiadat perlu ditegakkan kembali secara nyata agar rumah Ling Pati tidak ternoda oleh tangan-tangan yang berlumuran darah orang yang tidak bersalah itu.***