Senin, 17 Agustus 2009

Ngawurisme dalam KOMEDI DIANTARA DONGENG DAN SEJARAH

 

Setelah gagal mempertahankan tesisnya – Boli adalah titik awal sejarah Lewoingu – Marselinus Sani Kelen masih mencoba meneruskan polemik melalui dua artikel - KOMEDI DiANTARA DONGENG DAN SEJARAH dan MENGINGKARI FAKTA REALITAS KEBOHONGAN. Jika anda membaca dengan teliti dua tulisannya itu, maka anda pun dengan mudah menemukan bahwa arah pembicaraannya bergeser ke hal-hal lain. Dia tidak lagi berusaha mempertahankan tesisnya itu.

Selain itu anda juga sekali lagi dengan mudah menemukan ngawurismenya. Memang sejak awal keterlibatannya dalam diskusi tentang sejarah Lewoingu maupun tentang konflik yang terjadi di Eputobi, ngawurisme secara konsisten dipertahankannya.

Di dalam tulisan ini saya coba menunjukkan ngawurisme yang muncul dalam KOMEDI DIANTARA DONGENG DAN SEJARAH. Saya memulainya dengan menunjuk pada beberapa hal yang kelihatan sederhana, yaitu yang berkaitan dengan gramatika, tata bahasa. Perhatikan judul KOMEDI DIANTARA DONGENG DAN SEJARAH. Cara penulisan kata diantara dalam judul tersebut tidak sesuai dengan tata bahasa Indonesia. Cara penulisannya yang benar adalah di antara.

Artikel tersebut dibuka dengan kata-kata sebagai berikut,

Masih juga belum selesai gelak tawa ceritera komedi dari dongeng sejarah Lewokoli, salah satu dari generasi kontemporer Lewoingu yang berceritera tentang pasar terkenal di Lewokoli tempo dulu.

Kata-kata yang tersusun di situ tidak berhasil membentuk suatu kalimat. Kalau anda menganggapnya sebagai suatu kalimat, coba tunjukkan mana term subjek dan mana term predikatnya. Tak jauh dari situ anda menemukan adanya kalimat tanya yang tidak diawali dengan huruf besar. Letak tanda tanya (?) pun mengambang. Dalam kalimat tanya tersebut tertulis kata memliki. Kata apa ini? Dalam kalimat tanya yang sama ditulis kata bekas – bekas. Seharusnya cara penulisannya adalah bekas-bekas. Kemudian dalam kalimat terakhir dari alinea pertama dalam artikel tersebut terdapat susunan kata ini: Ternyata ketika logika sehat melakukan analisa causalitas antara fakta dan ceritera. Benarkah yang melakukan analisa tersebut adalah logika sehat?  Dalam kalimat yang sama terdapat tanda koma (,) yang mengambang. Seharusnya tanda koma tersebut merapat ke huruf n dalam kata guyonan. Dalam kalimat tersebut terdapat pula kata jatu. Kata apa ini? Lalu alinea kedua diawali dengan kata rasah, yang sama sekali tidak dikenal dalam bahasa Indonesia. 

Cara penulisan kata atau pun kalimat serta tanda baca yang tidak sesuai dengan tata bahasa Indonesia semacam itu dengan mudah ditemukan dalam tulisan-tulisannya. Jika terjadi ketidaktelitian secara berulang dengan pola yang sama,  itu tentu bukan suatu kebetulan. Ketidaktelitian yang terjadi secara konsisten semacam itu mengandaikan adanya problem gramatis pada diri orang yang bersangkutan.

Selanjutnya saya akan menunjukkan ngawurismenya dalam hal yang lain. Coba perhatikan kalimatnya berikut ini,

Dari imajinasi dongengnya yang kosong, ia berceritera tentang fenomena pasar Lewoingu yang ramai, ada kereta kuda, ada dokar/ delman, ada ratusan bahkan ribuan orang hilir-mudik datang dan pergi ke Lewokoli, karena Lewokoli adalah pasar yang terkenal, kota dagang dan tempat strategis baik dari segi ekonomi, politik dan budaya.

Lalu dia pun bertanya,

Tapi apa faktanya ? apakah ceritera itu memliki bekas – bekas sejarah sehingga dapat diterima sebagai indikator untuk menilai sebuah fakta sejarah ?

Bahwa di Lewokoli tempo dulu terdapat pasar yang ramai, itu jelas. Pengetahuan tentang adanya pasar tersebut dapat anda peroleh dari riset. Yang jelas di situ orang memperdagangkan barang-barang antara lain perhiasan berupa kalung emas, perak, piring dan mangkuk, dll. Tapi siapa yang pernah mengatakan bahwa pada masa itu di Lewokoli terdapat kereta kuda, dokar atau delman? Siapa pula yang pernah mengatakan bahwa ada ratusan bahkan ribuan orang yang hilir-mudik datang dan pergi ke Lewokoli? Siapa pula yang mengatakan bahwa Lewokoli adalah sebuah kota dagang?

Ceritera bahwa di Lewokoli terdapat kereta kuda, dokar atau delman dll seperti tersebut di atas itu berasal dari Marselinus Sani Kelen, bukan dari saya. Dan jangan lupa, istilah kereta kuda dan kota dagang itu dia pinjam dari Donatus Doni Kumanireng. Maka menjadi jelas bahwa dalam hal tersebut dia menanggapi apa yang tidak saya katakan. Lantas dia pun memberikan penilaian bahwa ceritera tentang adanya pasar di Lewokoli itu sebagai dongeng. Kalau anda sendiri berdongeng, lantas anda menilai orang lain yang berdongeng, itu tanda apa ya? 

Ngawurisme dalam artikel tersebut di atas berpuncak pada penilaiannya bahwa ceritera bahwa Gresituli berasal dari Jawa itu merupakan suatu dongeng. Penilaiannya itu didasari pada enam alasan yang dibuat-buat, sehingga gagal menjadi dasar bagi kebenaran penilaiannya tersebut.

Alasannya yang pertama didasari pada salah tafsirnya atas ……, belia gere go gere, belia lesa go lesa. Berdasarkan bahasa simbolik ini, Marselinus Sani Kelen mengandaikan bahwa Gresituli mengalami hidup dan mati secara bergantian dan berkesinambungan. Dengan kata lain, dia mengatakan bahwa Gresituli mengalami kehadiran dan kepergian berkali-kali mengikuti fenomena bintang besar (belia). Salah tafsir semacam itu bisa terjadi karena dia tidak berusaha mengerti arti sesungguhnya dari kata-kata simbolik tersebut. Yang diucapkan oleh Gresituli itu adalah suatu metafor, sehingga tak dapat ditafsirkan secara harafiah seperti yang dilakukan oleh Marselinus Sani Kelen itu. Lagi pula apakah belia itu pernah jatuh? Penggunaan metafor semacam itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Gresituli itu mengalami kehidupan dan kematian secara bergantian dan berkesinambungan. Dengan menunjukkan salah tafsirnya itu, saya berharap lawan debat saya itu dapat mengerti apa arti sesungguhnya metafor tersebut.

Alasannya yang kedua didasari pada pengingkarannya tentang kesedihan yang dialami Gresituli setelah adiknya bernama Keropong Ema mati karena dibunuh di Hewa. Peristiwa pembunuhan atas Keropong Ema di  Hewa itu dapat diverifikasi kebenarannya. Kalau anda tidak percaya pada sejumlah narasumber yang masih hidup di Lewoingu, anda coba pergi ke Hewa dan menanyakan kejadian tersebut pada narasumber yang ada di sana. Mudah-mudahan anda juga diberi akses untuk melihat dengan mata kepalamu sendiri  suatu barang milik Keropong Ema yang disimpan di sana. Riset semacam itu perlu anda lakukan agar anda tidak hanya asal bunyi.

Alasan ketiga didasari pada penilaiannya bahwa tidak masuk akal Gresituli menggunakan bahasa daerah khas Lewoingu. Kengawurannya itu bertolak dari pengandaian bahwa begitu menginjakkan kakinya di suatu daerah baru yang kemudian dikenal dengan Lewoingu, Gresituli langsung menceriterakan kisah perjalanannya bersama adiknya Keropong Ema dari tanah Jawa. Kiranya jelas bahwa ceritera itu beliau kemukakan setelah beliau fasih berbahasa Lamaholot versi Lewoingu. Kalau bukan Gresituli sendiri yang menceriterakannya, dari mana anak cucu keturunannya bisa mengetahui kisah perjalanannya itu. Perkawinan putra Gresituli bernama Doweng dengan seorang putri dari suku Hera di Wolo pun terkait dengan kisah perjalanan Gresituli dan Keropong Ema dari tanah Jawa itu. Putri yang dinikahi oleh Doweng adalah anak dari Hatang. Hatang adalah orang yang berjasa dalam membantu Gresituli dan Keropong Ema dalam memenangkan suatu pertempuran di Jawa.

Alasannya yang keempat didasari pada ceriteranya tentang adanya daerah yang disebutnya Lewopao. Karena out of context, maka soal Lewopao itu tidak perlu ditanggapi. (Hanya perlu sedikit catatan, bahwa saya dulu juga pernah ikut memasang pipa air minum untuk kampung Eputobi. Dari keluarga kami, bapak saya adalah tokoh yang ikut menandatangani proposal untuk mencari dana dari Belanda bagi pemasangan instalasi air minum bagi kampung Eputobi. Lalu adik saya yang dibunuh oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu yang sering memperbaiki kerusakan saluran air ke Eputobi. Sebelum meninggal, dia dan rekan-rekannya memperbaiki kerusakan saluran air ke Eputobi dengan biaya dari urunan mereka. Apa sumbangan konkret anda untuk pengadaan instalasi air minum untuk kampung Eputobi?) 

Alasan kelima didasari pada penghinaannya terhadap kelompok masyarakat yang disebutnya tena mao. Bukankah masyarakat yang meninggalkan daerah asalnya dengan menggunakan perahu kemudian berlabuh di pantai-pantai di Flores Timur, kemudian ada dari kelompok itu yang bermukim pula di daerah yang kemudian dikenal dengan Lewoingu dan ada pula yang bermukim di sekitar Lewoingu itu adalah sesamamu juga? Logika apa yang anda pakai, sehingga anda bisa menilai bahwa saya menghina Gresituli dan semua keturunannya? Apakah ceritera tentang perjalanan Gresituli bersama Keropong Ema dari Jawa hingga Lewokoli, kemudian menjadi tokoh utama dalam pembangunan Lewoingu itu merupakan penghinaan terhadap Gresituli dan semua keturunannya? Coba anda cek sendiri, apakah jalan pikiranmu  itu sehat atau tidak sehat, valid atau tidak valid. Cara menceknya begini,

RRM berceritera bahwa Gresituli berasal dari Jawa. Tempat-tempat yang dilaluinya antara lain Bali, Labuan Bajo, Lio, dan Hewa. Dia kemudian tiba pernah tinggal di Lewokoli.’ Setelah berhasil mengalahkan Paji, Gresituli membangun Lewoingu. Sebagian penduduk Lewoingu berasal dari kelompok yang disebut tena mao. Jadi RRM menghina Gresituli dan semua keturunannya.

Kesimpulan tersebut tidak berkaitan secara logis dengan pernyataan-pernyataan yang mendahuluinya. Jalan pikiran semacam itu hanya dianggap valid oleh orang yang tidak memiliki kecakapan yang memadai untuk mengembangkan penalaran yang sehat.

Alasannya yang kelima didasari pada salah tafsirnya atas istilah Demong Pagong yang pernah saya gunakan dalam tulisan saya. Yang dia tafsir itu adalah istilah Demong Pagong versi dia. Dia mengira bahwa istilah Demong Pagong itu hanya dipakai dalam arti seperti yang dia maksudkan itu. Tapi biarlah dia sibuk menafsirkannya semaunya sendiri.

Kiranya jelas bahwa selain problem gramatis, dalam tulisan-tulisannya pun dengan mudah ditemukan problem epistemis dan hermeneutis. Mudah-mudahan orang yang bersangkutan sendiri mengerti apa yang dimaksudkan dengan problem epistemis dan problem hermeneutis dimaksud. Di dalam tulisan ini, saya hanya menyinggung adanya problem-problem tersebut. Lain kali saya akan menunjukkan problem-problem dimaksud secara lebih jelas.

Kian sering Marselinus Sani Kelen berpolemik dengan saya, kian jelas dia mempelihatkan diri sebagai orang yang sedang bertempur melawan dirinya sendiri. Dalam pertempuran melawan dirinya sendiri dia berusaha mengerahkan segala energi pikiran dan perasaannya guna mempertahankan dongengisme tentang sejarah Lewoingu. Dongengisme semacam itu adalah salah satu ideologi yang dipakai untuk mendukung kepentingan grupnya. ***