Minggu, 23 Agustus 2009

Asbun dalam “SIAPAKAH RAGA ITU?”

Catatan khusus untuk Marselinus Sani Kelen

Bagian pertama dari dua tulisan

Oleh Rafael Raga Maran

 

“SIAPAKAH RAGA ITU?” adalah judul artikel yang diposting oleh Marselinus Sani Kelen pada hari Kamis, 20 Juli Agustus 2009. Karena belakangan ini sering terjadi gangguan pada aluran internet, maka saya pun baru membaca artikel tersebut di eputobi.net pada hari Minggu sore, 23 Agustus 2009. Ketika melihat judul tersebut, saya bertanya dalam hati: Adakah jurus baru yang dia keluarkan dalam persilatan kata-katanya dengan saya?

Ternyata tidak ada jurus baru yang dikeluarkannya. Jurusnya cuma itu-itu saja. Padahal yang saya harapkan dari dia adalah tantangan-tantangan baru yang disertai dengan argumen-argumen yang canggih untuk mempertahankan tesis-tesis pokoknya. Alih-alih mengemukakan argumen-argumen yang canggih, dalam mencatat koda kiring yang disebutnya nasihat itu saja tak beres. Coba perhatikan kata-kata berikut ini. Laga ahi niku kola. Huke kia baru buko. Balo kia baru napang. Wato pitang tanah bori.

Setelah membaca kata-kata tersebut, saya pun bertanya dalam diri saya dari mana kata-kata itu berasal. Reaksi yang sama pun mungkin terjadi pada diri para pembaca yang memiliki khasanah filologi Lamaholot, termasuk filologi Lewoingu, yang memadai. Soalnya, beberapa kata yang terpateri di situ kontan mengundang tanya, dari manakah kata-kata itu berasal. Perhatikan Laga ahi niku kola. Penggunaan kata ahi di situ membuat susunan kata-kata itu tidak memiliki arti yang jelas. Yang dikenal dalam penuturan Lewoingu adalah Laga ae’ niku kola.

Lalu coba perhatikan katabaru” dalam Huke kia baru buko dan dalam Balo kia baru napang. Kata “baru” itu tidak dikenal dalam koda kiring Lewoingu tempo doeloe. “Baru” adalah istilah bahasa Indonesia yang ditempelkan pada apa yang disebut koda kiring itu. Selain itu, penggunaan kata napang dalam Balo kia baru napang itu out of context. Yang cocok dalam konteks itu bukan kata napang tetapi napa.

Penggunaan kata-kata tersebut secara serampangan menunjukkan kekurangan pengetahuan penggunanya tentang koda kiring. Kekurangan pengetahuan tersebut termasuk salah satu dari problem-problem epistemis yang nampak dalam rangkaian tulisannya tentang sejarah Lewoingu.  

Berawal dari penggunaan kata-kata secara serampangan semacam itu dia berusaha mempertahankan pendapatnya bahwa Raga bukan anak Sani.  Tetapi kiranya perlu dicatat di sini, bahwa hingga kini Marselinus Sani Kelen belum mampu membuktikan bahwa Raga itu bukan anak Sani. Padahal bukti yang meyakinkan itu sangat saya harapkan selama ini. Tetapi saya pun menyadari bahwa bukti yang diharapkan itu tidak mungkin dapat disodorkan oleh Marselinus Sani Kelen, karena penilaiannya tentang Raga itu murni jiplakan dari pernyataan Donatus Doni Kumanireng. Hingga kini Donatus Doni Kumanireng sendiri pun belum mampu membuktikan bahwa Raga itu anak Hule. Sekedar ceritera, pada bulan Mei tahun 2008 di kampung Eputobi, ketika dihadirkan sebagai penutur sejarah dalam suatu pertemuan, Donatus Doni Kumanireng dibuat tidak bersuara oleh beberapa tokoh muda yang lebih mengetahui sejarah ketimbang dirinya. Padahal oleh kelompoknya, dia dianggap sebagai ahli sejarah Lewoingu.  

Karena tidak memiliki bukti otentik, maka Marselinus Sani Kelen pun menggunakan argumentum ad populum untuk membantah pernyataan saya bahwa Raga itu pun anak kandung Sani. Argumentum ad populum itu nampak dalam pernyataannya bahwa lewo gole roiro kae’ bahwa Raga itu anak Hule. Dalam hal ini dia pun mengikuti jejak Donatus Doni Kumanireng, yaitu mencatut nama rakyat Lewoingu untuk membenarkan segala macam omong kosong tersebut. Dengan argumentum ad populum semacam itu, Marselinus Sani Kelen berusaha menyesatkan pembaca.

Guna mempertahankan segala macam omong kosongnya itu, Marselinus Sani Kelen tak segan-segan melakukan penghinaan demi penghinaan. Dengan mengatakan bahwa Raga itu anak hasil perselingkuhan atau hasil dari “titipan” orang lain, dia tidak hanya menghina Raga, tetapi juga menghina Kene, Sani, dan Hule, bahkan dia juga menghina Boli yang lahir dari kandungan Kene. Di seluruh kawasan Lewoingu, baru kali ini saya menemukan adanya orang yang tidak segan-segan menghina leluhurnya sendiri demi membela kepentingan kelompok yang terkenal sibuk berkasak-kusuk untuk merusak persatuan dan keharmonisan kehidupan sosial budaya di kampung Eputobi.

Lantas ketidakkonsistenannya nampak lagi. Kali ini ia nampak jelas dalam kata-kata: nuhung teme tewong, alo boleng boto. Sebelum ini dia menggunakan kata-kata: nuhung tewo temong, alo boleng bola. Mana yang benar, ya? Yang jelas, ketidakkonsistenan itu dengan sendirinya menggiring dia masuk ke dalam kontak orang-orang yang asbun alias asal bunyi. Seseorang yang mengaku diri memiliki banyak referensi tentang sejarah Lewoingu, apalagi yang menganggap diri lebih tahu tentang sejarah Lewoingu daripada saya mestinya tidak boleh asbun seperti itu. (Bersambung)