Rabu, 19 Agustus 2009

Tesis mana yang berhasil dipatahkan dalam MENGINGKARI FAKTA REALITAS KEBOHONGAN?

Suatu catatan khusus untuk Marselinus Sani Kelen

Oleh Rafael Raga Maran

 

Maksud hati menguji segala tesis saya, tapi apa daya tak ada satu pun dari tesis saya yang berhasil ditunjukkannya. Maksud hati mematahkan segala tesis saya, apa daya tangannya tak kuat. Itu yang terjadi dalam tulisan Marselinus Sani Kelen berjudul MENGINGKARI FAKTA REALITAS KEBOHONGAN. Karena tidak ada satu pun tesis saya yang bisa ditunjukkannya, maka menjadi tidak jelas pula arah pembicaraannya. Karena tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan, maka penulis artikel tersebut menyeret pembaca kembali ke apa yang disebutnya kasus 20 Juli 1974, yang hingga kini tak dapat dibuktikan kebenarannya. Kemudian dia pun menyasar ke Koke yang terbakar, ke pesa, ke kelompok tena mao, lalu ke persoalan denda terhadap suku Openg di Tenawahang. 

Apa yang dianggapnya kasus 20 Juli 1974 itu diandalkannya sebagai senjata pamungkas untuk mematahkan segala tesis saya. Tetapi apa yang disebutnya sebagai kasus 20 Juli 1974 sendiri masih gelap hingga kini. Kalau peristiwa itu berkaitan dengan pembukaan kebun baru, di mana anda sendiri sebagai salah satu saksinya, coba tunjukkan pembukaan kebun baru yang mana? Saya berharap memori seorang anak yang pada tahun 1974 berumur di bawah sepuluh tahun masih menyimpan dengan baik suatu peristiwa yang konon disaksikannya itu.

Dengan menjawab pertanyaan tersebut secara jelas, bobot tuduhannya terhadap bapak saya yang sudah almarhum dan bobot penilaiannya tentang pribadi saya dapat ditakar oleh para pembaca. Jika jawabannya tidak jelas, apalagi kalau dia tidak bisa menjawabnya, maka dia mengukuhkan dirinya sebagai pendongeng besar.

Lantas ngawurismenya pun muncul pula dalam tulisannya berjudul MENGINGKARI FAKTA REALITAS KEBOHONGAN itu. Ngawurismenya  nampak jelas dalam tuduhannya bahwa saya menempatkan suku Kebele’eng Kelen sebagai pelaku kejahatan. Dalam kasus pembunuhan atas bapak Biku Lein dan anaknya bernama Tube Lein, saya mengatakan bahwa pelakunya adalah oknum-oknum dari suku Kebele’eng Kelen. Oknum-oknum yang dimaksud adalah Bei Kelen, Sedu dan Doweng Kelen, dan Keba Kelen. Lalu dalam kasus pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran saya menyebut Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya sebagai pelakunya. Apakah si Mikhael Torangama Kelen dan beberapa bapak kecilnya itu identik dengan suku Kebele’eng Kelen?

Jadi siapa yang menempatkan suku Kebele’eng Kelen sebagai pelaku kejahatan? Anda yang bernama Marselinus Sani Kelen ‘kan yang menempatkannya demikian? Kengawuran semacam itu dapat terjadi, karena anda kurang teliti dalam membaca tulisan-tulisan saya. Kekurangtelitian semacam itu pula yang sempat membuat anda sibuk menanggapi apa-apa yang tidak pernah saya katakan di dalam tulisan-tulisan saya. Tidak sadarkah anda bahwa anda sendiri yang menuduh suku anda sendiri sebagai pelaku kejahatan, lalu anda sendiri pula yang menanggapinya? Ini adalah salah satu contoh kasus yang membuat saya pun menilai anda sebagai orang yang sedang bertempur melawan diri anda sendiri.

Lalu coba anda sebutkan siapa yang menggelapkan pesa (meriam kecil tempo dulu itu)? Hingga kini pesa itu ada dan tidak ada orang yang menggelapkannya. Pernah pesa itu dicuri orang, tetapi justru pihak Ata Maran yang berhasil menemukannya kembali. Yang jadi pertanyaan bagi saya ialah apa relevansi pembicaraan anda tentang pesa itu dengan upaya anda untuk mematahkan segala tesis saya atau dengan upaya anda untuk mempertahankan tesis anda? Tesis saya yang mana yang dapat anda patahkan dengan pembicaraan anda tentang pesa itu?

Tesis saya yang mana yang ingin anda patahkan dengan pembicaraan anda tentang kelompok tena mao? Tidakkah anda sadar bahwa yang anda paparkan di situ itu merupakan suatu penghinaan terhadap kelompok tersebut? Benarkah derajat anda sebagai manusia tidak sama dengan derajat orang-orang yang disebut tena mao itu? Apakah dalam perjalanannya dari Jawa hingga Flores, Gresituli tidak pernah menggunakan sarana angkutan laut yang disebut perahu? Gresituli sendiri dan anak-anaknya tidak bersikap seperti itu terhadap kelompok masyarakat tersebut. Justru bersama mereka itulah, Gresituli membangun suatu model kehidupan bersama yang khas di Lewoingu. Selain Marselinus Sani Kelen, keturunan Gresituli lainnya pun tidak bersikap semacam itu terhadap kelompok masyarakat tersebut.

Tesis saya yang mana pula yang ingin anda patahkan dengan pembicaraan anda tentang Koke yang dibakar oleh serdadu-serdadu Belanda itu? Mengapa anda tidak tanyakan saja ke pihak Belanda, mengapa Koke dibakar? Mengapa anda menuntut saya untuk berbicara tentang persoalan tersebut? Jelas bahwa anda salah alamat. 

Lalu tesis saya yang mana lagi yang ingin anda patahkan dengan pembicaraan anda tentang denda terhadap suku Openg di Tenawahang itu? Urusan yang berbuntut pada denda itu sudah diselesaikan dengan baik. Kelakekelama dari Lewoingu, yang terlibat langsung dalam penyelesaian masalah tersebut saja tidak mempersoalkannya, kok sekarang anda yang sewot? Apakah anda punya otoritas adat untuk mempersoalkan kembali suatu masalah yang sudah berhasil diselesaikan dengan baik oleh para pemuka adat dari kedua desa yang bersangkutan?

Setelah menelusuri pembicaraan anda dari alinea ke alinea dalam artikel berjudul MENGINGKARI FAKTA REALITAS KEBOHONGAN, saya berkesimpulan bahwa tak ada satu pun dari tesis saya berhasil anda patahkan. Isi tulisan anda kali ini secara gamblang menampakkan bahwa anda telah kehilangan kemampuan untuk berargumentasi secara rasional. Untuk menutupi kelemahan itu, anda lalu menggunakan cara tidak rasional, antara lain menyuruh saya diam dan terus diam. Apakah anda punya hak untuk melarang saya berbicara? Kearifan macam apa yang anda miliki sehingga anda merasa berhak dan berwenang untuk melarang saya berbicara? ***