Rabu, 05 Agustus 2009

Suara siapakah itu?

Catatan untuk seorang oknum dari Suku Kebele’eng Kelen bernama Marselinus Sani Kelen

Oleh Rafael Raga Maran

Ketika Marselinus Sani Kelen mengatakan bahwa Raga adalah anak Hule, dia hanya menduplikasi apa yang telah dikatakan oleh Donatus Doni Kumanireng. Dalam tulisannya berjudul “Tanggapan atas tulisan saudara Rafael Raga Maran” dia bertanya dan berkata,

“Atas dasar apa Raga tampil sebagai pemimpin di rumah Limpati, apakah karena hak kesulungan? Memang Raga anak siapa? Apakah Sani adalah Bapaknya? TIDAK!! Raga adalah anak Hule dari keluarga Metinara. Raga adalah hasil dari nuhung tewo temong, alo’ boleng bola.”

Dengan mengatakan bahwa Raga adalah anak Hule, keberpihakannya pada pihak tertentu yang diingkarinya dalam tulisannya itu dibantahnya sendiri. Itu adalah salah satu contoh ketidakonsistenan yang dengan mudah dapat dilacak dalam rangkaian pemikirannya. Contoh lain dari ketidakkonsistenannya nampak ketika dia berbicara tentang Metinara yang dipandangnya sebagai penyebab prahara dan Hule yang dianggapnya sebagai bapak dari Raga. Di satu pihak dia menuduh Metinara sebagai penyebab prahara, karena itu yang bersangkutan bersama keluarganya hengkang dari Lewoingu, di lain pihak dia menuduh Hule dari keturunan Metinara sebagai penyebab masalah.

Metinara dan Hule adalah dua pribadi yang berbeda. Tetapi tuduhan terhadap mereka didasari pada kata-kata yang sama, yaitu nuhung tewo’ temong, alo’ boleng bola. Dalam tulisannya berjudul “Prahara apa itu” (catatan: judul ini dijiplak dari judul tulisan saya) dia melengkapi kata-kata itu dengan “Ile hingang gere lereka kae, tawa keseka kae’; Ile hingang leting boleng pepak ado girek; kriko rio-rio krako rao-rao.” Yang jadi pertanyaan ialah, Apakah kata-kata itu mengindikasikan terjadinya prahara seperti yang dimaksud oleh Marselinus Sani Kelen itu?

Parahara seperti yang dia maksudkan itu tidak terjadi. Dalam bahasa Jawa kata “prahara” berarti angin ribut, angin topan, badai. Dari situ kata “prahara” dipakai untuk mengacu pada keributan yang besar, kekacauan besar yang merusak tatanan sosial dan fisik yang ada. Hal itu tidak terjadi di kubu Demong di Lewoingu pada masa itu. Badai yang mengancam eksistensi Lewoingu pada masa itu adalah serangan Paji. Ancaman itu sangat nyata, maka suku-suku yang sebelumnya hidup terpencar-pencar mengikuti ajakan Gresituli untuk hidup bersama di Lewoingu. Ancaman itu sangat mengerikan, maka Gresituli pun memerintahkan pembangunan benteng batu (beliko) untuk menjamin keamanan dan keselamatan masyarakat Lewoingu. Waktu tinggal di Lewowato pun Gresituli sudah berusaha memagari rumahnya dengan beliko, tetapi lebih rendah, jika dibandingkan dengan beliko yang melindungi Lewoingu. Itulah sebabnya nama tempat tinggal Gresituli itu disebut Lewowato atau disingkat menjadi Lewato.

Terjadi kesalahan besar ketika, Marselinus Sani Kelen mengatakan bahwa Gresituli itu pernah tinggal di Mulawatohong dan di Lewopao. Mulawato itu terdapat di daerah Kawalelo sana. Dan Lewopao itu terdapat di Adonara Barat dekat Lite. Gresituli tidak pernah tinggal di kedua kampung tersebut. Beliau juga tidak pernah tinggal di Lewohari. Gresituli pernah tinggal di Lewokoli dan Lewokaha, Lewowato, Oring Penutu’ung, dan Dungtana-Lewoingu. Waktu tinggal di Lewowato itulah Gresituli dan pendukung-pendukung setianya berhasil meremukkan inti kekuatan Paji Lewokoli dan Lewokaha. Dari situlah awal ceritera tentang aksi Tekung Panji di daerah itu.

Perang antara Demong dan Paji berkobar-kobar, maka Gresituli dan keluarganya serta para pendukungnya perlu mencari tempat permukiman yang lebih aman. Maka berpindahlah mereka ke Oring Penutu’ung. Dari situ barulah mereka berpindah ke tempat yang lebih ideal, tempat yang kemudian disebutnya Dungtana. Perkampungan yang dibangunnya di situ disebutnya Lewoingu.

Kata-kata Dungtana pota wato pota ile hone (honi) woka diucapkan oleh Gresituli sebagai ungkapan kegembiraan sekaligus ucapan syukur atas keberhasilannya mendapatkan suatu tempat yang ideal bagi keluarganya dan para pendukung setianya untuk bermukim. Dia merasa gembira dan bersyukur, karena pada akhirnya dia berhasil kebagian tanah (Dungtana), tempat dia dan keluarga serta para pendukung setianya itu dapat melangsungkan kehidupan mereka secara aman dan damai. Maka di atas gunung dan bukit berbatu itu dia perlu membangun rumah, tempat kediaman yang aman dan nyaman itu (pota ile hone woka, dengan catatan kata hone sering juga disebut honi).

Secara spasial-fisik, ile dan woka (gunung dan bukit) milik Gresituli itu lebih rendah ketimbang ile dan woka orang lain. Tetapi ile dan wokanya itu dapat mengatasi ile dan woka yang lebih tinggi, dalam artian bahwa pada waktu itu, tak ada satu pun tokoh atau pun kelompok sosial dari pihak Demong pun dapat menandingi kekuatan dan kewibawaan Gresituli. Padahal Gresituli mereka pandang sebagai seorang pendatang baru.

Di atas sana, dekat Wato Krong, di Ile Hingang sana bermukim Metinara dan keluarganya. Mereka disebut Ata Ile Jadi. Mereka yang bermukim di puncak Ile Hingang itu terbilang kelompok Demong. Maka pada akhirnya mereka pun bersekutu dengan Gresituli dan mendukung pula upaya-upaya Gresituli untuk membangun Lewoingu yang aman dan damai, yang adil dan sejahtera. Untuk itulah, maka mereka yang tadinya bermukim di puncak Ile Hingang pun merasa perlu untuk turun dan bergabung dengan para Demong lainnya di Lewowerang-Lewoingu (Dumbata-Lewoingu).

Dari situlah muncul kata-kata seperti yang dilansir oleh Marselinus Sani Kelen, seperti tertera di atas, dengan catatan kata-kata kriko rio-rio krako rao-rao itu ciptaan Marselinus Sani Kelen sendiri. Yang dikenal dalam koda kiring di Lewoingu pada masa itu adalah Kiko rio-rio kayo’ bunga bali au’ matang wara. Itulah lukisan verbal tentang sering terjadinya keributan di Lewowerang-Lewoingu, karena masing-masing pihak yang bersangkutan keras dan secara kaku mempertahankan pendirian mereka. Kata kiko rio-rio itu dekat dengan kako rao-rao. Maka tak mengherankan bila ada pula penutur sejarah Lewoingu yang hidup di era kontemporer menyebutnya dengan kako rao-rao. Dituturkan bahwa kako-rao-rao itu terjadi setiap hari sejak pagi hingga sore. Maka keadaan kacau semacam itu perlu ditertibkan.

Maklum, di antara mereka yang baru bergabung di Lewowerang-Lewoingu pada masa itu ada yang membawa serta ilmu kuno (mitos) dan teknik kuno (magic) mereka masing-masing. Mitos dan magic itu diperlukan dalam iklim peperangan pada masa itu. Maka tak mengherankan bila masing-masing mereka pun saling menguji kekuatan dan kemampuan. Saling busung dada dalam hal itu ikut pula menjadi penyebab terjadinya kiko rio-rio itu tadi. Dalam konteks itu mudah bagi kita untuk mengerti mengapa ada kata-kata seperti yang dilansir oleh Marselinus Sani Kelen itu. Kata-kata semacam itu dipakai lebih sebagai ledekan terhadap Metinara dan anggota-anggota keluarganya, yang dianggap sebagai Ata Ile Jadi, dan karena itu dipandang sebagai penguasa Ile Hingang tetapi akhirnya turun juga dan bermukim di Dumbata-Lewoingu. Dan ledekan itu pun merupakan bagian dari apa yang disebut kiko rio-rio itu tadi.

Salah tafsir terjadi, jika anda tidak tahu konteks penggunaan kata-kata tersebut. Salah tafsir terjadi, jika anda tidak tahu arti kata-kata “keren” yang anda gunakan. Salah tafsir terjadi jika anda hanya berusaha menjadi penyambung lidah orang yang memelintir sejarah untuk memenuhi ambisi politik destruktifnya di kampung, tanah kelahirannya sendiri.

Nah, bagaimana dengan penilaiannya bahwa Raga itu anak Hule? Jawaban atas tuduhan itu sudah saya berikan dalam tulisan saya berjudul “Dari sejarah palsu ke kejahatan kemanusiaan.” Di sini, saya hanya ingin menambahkan apa-apa yang saya tulis di sana dengan pertanyaan-pertanyaan semacam ini, “Masa kalau Raga itu anak Hule, dia bisa menjadi Raya Lewowerang? Masa dalam urusan yang berkaitan dengan kekuasaan pada masa itu, seorang adik yang memberi legitimasi tradisional bagi kekuasaan kakaknya? Masa’ dalam budaya patriarkat yang menekankan hak yang sulung (wruing) atas kekuasaan adat seperti yang berlaku di Lamaholot termasuk di Lewoingu, seorang adik berhak mengatur-ngatur kakaknya dalam urusan adat istiadat yang demikian penting itu?

Dalam sejarah Lewowerang-Lewoingu, Boli adik kandung Raga itu mengikuti tradisi budaya yang ada. Maka beliau itu pun tidak mungkin mengambilalih kewenangan adat untuk mengatur-ngatur yang lebih tua. Sebagai salah seorang tokoh yang disegani dalam komunitasnya, Boli tidak mungkin bertindak seperti dikira oleh Marselinus Sani Kelen itu. Orang-orang, termasuk Boli, yang hidup pada zaman itu sangat menjunjung tinggi sopan-santun, tatakrama adat istiadat. Penilaian dia tentang Boli itu merupakan proyeksi dari suatu ambisi politik kontemporer yang hidup dalam diri orang-orang tertentu yang berkepentingan untuk diakui sebagai penguasa tertinggi adat Lewoingu.

Ceritera Raga anak Hule itu merupakan suatu dongeng murahan yang ditempa oleh orang-orang Lewoingu kontemporer yang haus dan lapar akan kekuasaan tertinggi dalam urusan adat di Lewowerang-Lewoingu. Ingatlah ini. Jika haus dan lapar dalam artian harafiah itu tanda kekurangan makanan dan minuman yang diperlukan oleh tubuh, haus dan lapar akan kekuasaan adat tersebut adalah tanda kekurangmampuan dalam hal menerima posisi sosial adat dan peranannya seperti yang telah disepakati oleh para leluhur Lewowerang-Lewoingu.

Jadi suara siapakah itu, yang mengatakan bahwa Raga itu anak Hule? ***