Senin, 24 Agustus 2009

Asbun dalam “SIAPAKAH RAGA ITU?”

Catatan khusus untuk Marselinus Sani Kelen

Bagian terakhir dari dua tulisan

Oleh Rafael Raga Maran

 

Dalam bagian pertama dari tulisan ini, saya telah menunjukkan 1) bahwa koda kiring dengan menggunakan kata-kata secara serampangan itu tidak mempunyai arti yang jelas, meskipun oleh Marselinus Sani Kelen kata-kata yang digunakannya itu dianggap mengandung nasihat yang semestinya dipegang teguh dalam kebersamaan hidup di lewotanah; 2) bahwa hingga kini Marselinus Sani Kelen tidak dapat membuktikan pernyataannya bahwa Raga itu bukan anak Sani. Baginya, Raga itu anak Hule; 3) bahwa untuk mempertahankan omong kosongnya itu dia pun tak segan-segan menghina leluhurnya sendiri; 4) bahwa dalam artikelnya berjudul “SIAPAKAH RAGA ITU?” terdapat pula ketidakkonsistenan dalam penyebutan koda kiring tertentu.

Tampak jelas pula dalam tulisannya itu bahwa apa yang dianggapnya sebagai nasihat itu hanya disampaikannya kepada orang lain agar dijadikan pegangan dalam kehidupan bersama di lewotanah, tetapi dia sendiri merasa tidak perlu untuk menjadikannya sebagai pegangan. Baginya, menyebarluaskan dongeng tentang Raga anak Hule itu dan karena itu Raga bukan Raya Lewowerang-Lewoingu itu lebih berharga ketimbang dengan rendah hati menerima fakta sejarah bahwa memang Raga itulah yang meneruskan kepemimpinan ayahnya, Sani, sebagai Raya Lewowerang-Lewoingu.

Melalui tiga pertanyaan dia berusaha membantah fakta sejarah tersebut. Tetapi rupanya dia sendiri tidak sadar bahwa di dalam bantahannya itu terkandung pengakuannya tentang fakta sejarah tersebut. Ada pun tiga pertanyaan dimaksud adalah sebagai berikut, 1) Apakah seorang anak ‘kenowa’ bisa jadi Raya Lewowerang? 2) Apakah anak tiri dapat mewariskan kekuasaan seorang bapak dan melupakan anak kandungnya sendiri? 3) Apakah budaya patriarkat menempatkan anak dari hasil perselingkuhan atau hasil dari ‘titipan’ orang lain dalam urusan adat istiadat yang demikian penting itu?

Dengan pertanyaan pertama, dia berusaha konsisten dengan dongeng yang dibelanya, yaitu dongeng tentang Raga anak Hule. Tapi apa arti pertanyaan kedua tertera di atas? Apa maksud dari “seorang anak tiri dapat mewariskan kekuasaan seorang bapak?” Jika yang dia maksud anak tiri adalah Raga, maka patut dipertanyakan bahwa Raga itu mewariskan kekuasaan bapaknya kepada …..? Lantas apa hubungan bagian pertama dari pertanyaan itu dengan bagian keduanya, “dan melupakan anak kandungnya sendiri?” Anak kandung siapakah yang dia maksud? Melihat alur pikirnya selama ini, dapat diduga bahwa rupanya yang dia maksud adalah anak kandung Sani. Yang jadi pertanyaan ialah, “orang itu sebenarnya bicara tentang siapa?”

Jika pertanyaan pertama dipaksakan untuk dimunculkan, pertanyaan kedua secara jelas mengindikasikan bahwa di dalam dirinya terjadi kebingungan. Maka dia pun tidak mengetahui lagi apa dan siapa yang dia bicarakan. Selanjutnya coba perhatikan pertanyaannya yang ketiga seperti tertera di atas. Seperti telah saya singgung dalam bagian pertama dari tulisan ini, pertanyaan tersebut bernada penghinaan terhadap leluhurnya sendiri.

Mudah ditebak bahwa terhadap pertanyaan pertama dia akan menjawab dengan kata tidak bisa, dan terhadap pertanyaan ketiga, dia akan menjawabnya dengan kata tidak. Tetapi apa jawabannya untuk pertanyaannya yang kedua? Pertanyaan yang kedua adalah pertanyaan yang gagal, karena itu diabaikan saja. Biarlah dia sendiri yang menjawabnya untuk dirinya sendiri demi kepuasan seleranya sendiri. Dengan menjawab tidak bisa untuk pertanyaan yang pertama, dan tidak untuk pertanyaan ketiga, dia sebenarnya mengakui bahwa Raga itu Raya Lewowerang, karena dia anak kandung dari Sani. Dengan perkataan lain, karena Raga itu bukan anak tiri dari Sani, karena Raga itu bukan anak dari hasil perselingkuhan, melainkan anak kandung pertama dari Sani, maka dialah yang berhak meneruskan posisi Sani sebagai Raya Lewowerang. Dan memang begitulah kenyataannya. Kenyataan itu dapat diverifikasi dalam perjalanan sejarah Lewowerang-Lewoingu.

Dengan ini saya ingin menegaskan bahwa pengingkaran Marselinus Sani Kelen atas pernyataan bahwa Raga adalah Raya Lewowerang-Lewoingu tidak berpengaruh sedikit pun terhadap fakta sejarah tersebut. Justru karena adanya kenyataan bahwa Raga itu Raya Lewowerang-Lewoingu, maka Marselinus Sani Kelen pun dapat membuat pengingkaran atasnya. Saya berharap anda pun dapat mengerti bahwa fakta tersebut mendahului pengingkaran atasnya. Karena itu pengingkaran atasnya tidak mungkin meniadakannya.

Selanjutnya saya akan membuat sedikit catatan tentang pembicaraannya tentang apa yang disebutnya dua parahara. Yang satu perang melawan Paji. Yang kedua adanya permusuhan dalam kehidupan bersama di Lewowerang-Lewoingu. Oleh Marselinus Sani Kelen kedua pernyataan ini diperlakukan sebagai premis, yang konon saling bertentangan, bahkan saling meniadakan. Untuk mencek layak atau tidaknya kedua pernyataan itu diperlakukan sebagai premis, dan untuk mencek apakah kedua pernyataan tersebut saling bertentangan atau bahkan saling meniadakan, kita perlu menyusun kedua pernyataan tersebut secara lebih jelas.

Gresituli dan sekutu-sekutunya melancarkan perang melawan Paji. Permusuhan terjadi dalam kehidupan bersama di Lewowerang-Lewoingu.

Jika kedua proposisi kategoris tersebut diperlakukan sebagai premis, maka keduanya menjadi titik pangkal bagi kesimpulan tertentu. Tetapi kesimpulan apa yang dapat ditarik dari dua proposisi yang tidak berhubungan secara valid semacam itu? Proposisi pertama berbicara tentang perang melawan Paji yang dilancarkan oleh Gresituli dan sekutu-sekutunya. Proposisi kedua berbicara tentang permusuhan yang terjadi dalam kehidupan bersama di Lewowerang-Lewoingu. Adakah hubungan yang logis antara kedua proposisi kategoris tersebut? Jawabannya jelas tidak ada. Karena kedua proposisi kategoris itu berbicara tentang dua hal yang berbeda, maka keduanya pun tidak saling bertentangan. Jelas pula bahwa kedua proposisi itu tidak saling meniadakan. Juga jelas bahwa kedua proposisi tersebut tidak dapat diperlakukan sebagai premis.

Rupanya dalam hal ini pun Marselinus Sani Kelen itu asbun alias asal bunyi. ***